Minggu, 04 Agustus 2024

31 ALAM KEHIDUPAN VERSI BUDDHA GOTAMA.

 








Ibarat terbenamnya surya di ufuk langit yang berarti terbitnya mentari di bagian lain dunia ini, demikian pula kematian makhluk hidup di suatu alam berarti kelahiran kembali di alam yang sama atau alam lainnya. Ini berlangsung terus hingga makhluk itu meraih Pembebasan Sejati dari daur Samsara atau kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. Dalam Agama Buddha dipercayai adanya 31 Alam Kehidupan yang secara garis besarnya terbagi atas:

 

1.    Empat Alam Kemerosotan (apâyabhûmi)

2.    Satu Alam Manusia (manussabhûmi)

3.    Enam Alam Dewa (dewabhûmi)

4.    Enam Belas Alam Brahma Berbentuk (rûpabhûmi)

5.    Empat Alam Brahma Nirbentuk (arûpabhûmi)

 

I.         Empat Alam Kemerosotan (Apâyabhûmi)

 

Istilah 'apâyabhûmi' terbentuk dari tiga kosakata, yakni 'apa' yang berarti 'tanpa, tidak ada', 'aya' yang berarti 'kebajikan', dan 'bhûmi' yang berarti 'alam tempat tinggal makhluk hidup'. Apâyabhûmi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Delapan jenis suciwan tidak akan terlahirkan di alam ini, dan tidak ada satu makhluk pun dalam alam ini yang mampu meraih kesucian dalam kehidupan sekarang. Alam ini juga sering disebut sebagai 'dugga-tibhûmi'.

 

'Duggati' terbentuk dari dua kosakata, yakni 'du' yang berarti 'jahat, buruk, sengsara', dan 'gati' yang berarti 'alam tujuan bagi suatu makhluk yang akan bertumimbal lahir'.

 

Duggatibhûmi adalah suatu alam kehidupan yang buruk, menyengsarakan. Walaupun kerap dipakai sebagai suatu padanan, duggatibhûmi sesungguhnya tidaklah sama persis cakupannya dengan apâyabhûmi. Apâyabhûmi terdiri atas empat alam, yakni:

 

a) Alam Neraka (Niraya),

b) Binatang (Tiracchâna),

c) Setan (Peta),

d) Iblis/Raksasa (Asurakâya).

 

Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam duggatibhûmi secara tidak menyeluruh dan langsung.

 

Empat Alam Kemerosotan, alam manusia dan enam alam dewa termasuk sebagai Alam Nafsu Inderawi (kâmabhûmi).

 

a) Alam Neraka 'Niraya'

 

Terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'ni' yang berarti 'bukan, tidak ada' dan 'aya' yang berarti 'kebajikan, kebahagiaan, perkembangan'. Niraya atau neraka adalah suatu alam kehidupan yang penuh derita dan siksaan, tanpa kesempatan untuk berbuat kebajikan, tanpa kebahagiaan, tanpa perkembangan. Neraka dalam pandangan Agama Buddha bukanlah suatu alam kehidupan yang bersifat kekal. Apabila akibat buruk dari suatu kejahatan telah terlunasi, mereka yang terjatuh ke alam neraka akan dapat terlahirkan kembali di alam-alam lain yang lebih tinggi tergantung perbuatan-perbuatan lain yang pernah mereka lakukan sepanjang kehidupan lampaunya.

 

Konon dikisahkan bahwa Mallikâ, yang pernah melakukan perzinahan dengan seekor anjing, berada di alam neraka hanya dalam waktu tujuh hari. (Mallikâ adalah permaisuri kesayangan Raja Pasenadi Kosala). Atas kematiannya, Raja bertanya kepada Buddha; ke alam manakah gerangan istrinya terlahirkan kembali. Beliau tidak menjawab meskipun ditanya setiap hari selama seminggu penuh karena khawatir kalau Raja akan bersedih hati mengetahui penderitaan yang harus ditanggung oleh Mallikâ. Baru setelah Mallikâ keluar dari neraka Avîci dan terlahirkan kembali di Alam Surga Tusita, Beliau memberikan jawaban.)

 

Tidaklah 'adil' untuk menjebloskan makhluk sepanjang hidup (selamanya) di alam neraka, hanya karena suatu kejahatan yang pernah dilakukannya dengan mengabaikan semua kebajikannya, dan tanpa memberi peluang sedikit pun untuk memperbaiki kehidupannya. Neraka bukanlah suatu tempat pelampiasan kesewenang-wenangan Makhluk Pencipta Adikodrati yang murkah karena diabaikan atau dikhianati oleh makhluk-makhluk ciptaannya.

 

Neraka terbagi menjadi dua bagian, yaitu Neraka Besar (Mahâ-niraya) dan Neraka Kecil (Ussadaniraya).

 

Neraka besar terdiri atas delapan alam:

 

1)   Sañjîwa.

Alam kehidupan bagi makhluk yang secara bertubi-tubi dibantai dengan pelbagai senjata; begitu mati langsung terlahirkan kembali di sana secara berulang-ulang hingga habisnya akibat kamma yang ditanggung. Mereka yang suka mempergunakan kekuasaan yang dimiliki untuk menyiksa makhluk lain yang lebih lemah atau rendah kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

2)   lasutta.

Alam kehidupan bagi makhluk yang dicambuk dengan cemeti hitam dan kemudian dipenggal-penggal dengan parang, gergaji dan sebagainya. Mereka yang suka menganiaya atau membunuh bhikkhu, sâmanera atau pertapa; atau para bhikkhu-sâmanera yang suka melanggar winaya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

3)   Sanghâta.

Alam kehidupan bagi makhluk yang ditindas hingga luluh lantak oleh bongkahan besi berapi. Mereka yang tugas atau pekerjaannya melibatkan penyiksaan terhadap makhluk-makhluk lain, misalnya pemburu, penjagal dan lain-lain kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

4)   Dhûmaroruva.

Alam kehidupan bagi makhluk yang disiksa oleh asap api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga menjerit-jerit kepengapan. Mereka yang membakar hutan tempat tinggal binatang; atau nelayan yang menangkap ikan dengan mempergunakan racun dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

5)   Jâlaroruva.

Alam kehidupan bagi makhluk yang diberangus dengan api melalui sembilan lubang dalam tubuh hingga meraung-raung kepanasan. Mereka yang suka mencuri kekayaan orangtua atau barang milik bhikkhu, sâmanera atau pertapa; atau mencoleng benda-benda yang dipakai untuk pemujaan kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

6)   Tâpana

Alam kehidupan bagi makhluk yang dibentangkan di atas besi membara. Mereka yang membakar kota, wihâra, sekolahan dan sebagainya kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

7)   Patâpana

Alam kehidupan bagi makhluk yang digiring menuju puncak bukit membara dan kemudian dihempaskan ke tombak-tombak terpancang di bawah. Mereka yang menganut pandangan sesat bahwa pemberian dâna tidak membuahkan pahala, pemujaan kepada Tiga Mestika tidak berguna. Penghormatan kepada dewa tidak berakibat, tidak ada akibat dari perbuatan baik maupun buruk, ayah-ibu tidak berjasa. Menilai bahwa tidak ada kehidupan sekarang maupun mendatang, dan tidak ada makhluk yang terlahirkan dengan seketika kebanyakan akan terlahirkan di alam ini.

 

8)   Awîci.

Alam kehidupan bagi makhluk yang direntangkan dengan besi membara di empat sisi dan dibakar dengan api sepanjang waktu. Mereka yang pernah melakukan kejahatan terberat, yakni membunuh ayah, ibu atau Arahanta (orang Suci), melukai Sammâsambuddha, atau memecah-belah pasamuan Sangha niscaya akan terlahirkan di alam ini. Awîci kerap dianggap sebagai alam kehidupan yang paling rendah.

 

Neraka kecil terdiri atas delapan alam:

 

1)   Angârakâsu: Alam neraka yang terpenuhi oleh bara api.

 

2)   Loharasa: Alam neraka yang terpenuhi oleh besi mencair.

 

3)   Kukkula: Alam neraka yang terpenuhi oleh abu bara.

 

4)   Aggisamohaka: Alam neraka yang terpenuhi oleh air panas.

 

5)   Lohakhumbhî: Alam neraka yang merupakan panci tembaga.

 

6)   Gûtha: Alam neraka yang terpenuhi oleh tahi membusuk.

 

7)   Simpalivana: Alam neraka yang merupakan hutan pohon ber-duri.

 

8)   Vettaranî: Alam neraka yang merupakan air garam berisi duri rotan.

 

 

 

b)   Alam Binatang 'Tiracchâna'.

 

Terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'tiro' yang berarti 'melintang, membujur', dan 'acchâna' yang berarti 'pergi, berjalan'. Tiracchâna atau binatang adalah makhluk yang umumnya berjalan dengan melintang atau membujur, bukan berdiri tegak seperti manusia.

 

Dengan pengertian lain, binatang disebut Tiracchâna karena merintangi jalan menuju pencapaian Jalan dan Pahala. Binatang sesungguhnya tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri melainkan hidup di alam manusia. Binatang memiliki hasrat untuk menikmati kesenangan inderawi serta berkembang-biak; naluri untuk mencari makan, bersarang, dan sebagainya; dan perasaan takut mati, mencintai kehidupannya.

 

Binatang tidak mempunyai kemampuan untuk membedakan kebajikan dari kejahatan, kebenaran dari kesesatan, dan sebagainya (dhammasaññâ, conscience) kecuali kalau terlahirkan sebagai calon Buddha (Bodhisatta) yang sedang memupuk kesempurnaan. Bodhisatta tidak akan terlahirkan sebagai binatang yang lebih kecil dari burung puyuh [semut misalnya] atau lebih besar dari gajah [dinosaurus misalnya].

 

Binatang mempunyai banyak jenis yang tak terhitung jumlahnya, namun secara garis besarnya dapat dibedakan menjadi Empat Macam, yakni:

 

1. Yang tak berkaki seperti ular, ikan, cacing dan lain-lain (apada),

2. Yang berkaki dua seperti ayam, bebek, burung dan lain-lain (dwipada),

3. Yang berkaki empat seperti gajah, kuda, kerbau dan lain-lain (catuppada),

4. Yang berkaki banyak seperti kelabang, udang, kepiting dan lain-lain (bahuppada).

 

Dalam pandangan Kristiani serta beberapa agama Theistik lainnya, semua binatang akan musnah setelah kematian. Binatang tidak mempunyai roh. Binatang hanya diakui memiliki naluri (instinct), tanpa akal budi. Karena itu, mereka tidak perlu mempertanggung-jawabkan perbuatan mereka. Kebahagiaan maupun penderitaan yang dialami bukan ditentukan oleh perbuatan mereka, baik dalam kehidupan sekarang maupun kehidupan kehidupan yang lampau; melainkan merupakan wewenang serta kehendak Tuhan. Binatang diciptakan semata-mata untuk kepentingan umat manusia yang lebih luhur. Tidak ada surga maupun neraka bagi binatang. Ini menimbulkan dilemma bagi umat Kristiani yang menginginkan agar binatang peliharaannya dapat hidup bersama lagi di surga sebagaimana di bumi.

 

c)   Alam Setan 'Peta'.

 

Terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'pa' yang berarti 'ke depan, menyeluruh', dan 'ita' yang berarti 'telah pergi, telah meninggal'. Berbeda dengan makhluk yang berada di alam neraka yang menderita karena tersiksa, peta atau setan hidup sengsara karena kelaparan, kehausan dan kekurangan. Kejahatan yang membuat suatu makhluk terlahirkan sebagai setan ialah pencurian dsb.

 

Seperti binatang, setan tidak mempunyai alam khusus milik mereka sendiri. Mereka berada di dunia ini dan bertinggal di tempat-tempat seperti hutan, gunung, tebing, lautan, kuburan, dan sebagainya. Beberapa jenis setan mempunyai kemampuan untuk menyalin rupa dalam wujud seperti dewa, manusia, pertapa, binatang, atau hanya menampakkan diri secara samar-samar seperti bayang-bayang gelap dan lain-lain.

 

Setan terbagi menjadi empat jenis, yakni:

 

1. Yang hidup bergantung pada makanan pemberian orang lain dengan cara penyaluran jasa dan sebagainya (paradattupajîwika),

2. Yang senantiasa kelaparan, kehausan dan kekurangan (khuppîpâsika),

3. Yang senantiasa terberangus (nijjhâmatanhika),

4. Yang tergolong sebagai iblis atau makhluk yang suram (kâlakañcika).

 

Jenis yang pertama itu dapat menerima penyaluran jasa karena mereka bertinggal di sekitar atau di dekat manusia, sehingga dapat mengetahui pemberian ini dan beranumodanâ [menyatakan kenuragaan atas kebajikan yang diperbuat oleh makhluk lain]. Apabila tak tahu dan tak beranumodanâ, penyaluran jasa ini tidak dapat diterima. Orang yang pada saat-saat menjelang kematian mempunyai ke-31 melekatan yang amat kuat pada kekayaan, harta benda, sanak-keluarga, dan sebagainya niscaya akan terlahirkan di alam setan ini.

 

Dalam Vinaya dan Lakkhaóa-samyutta, disebutkan adanya 21 macam setan, yaitu:

 

1.    Yang hanya bertulang tanpa daging (annhisankha-sika),

2.      Yang hanya berdaging tanpa tulang (mansapesika),

3.      Yang berdaging benjol (mansapinna),

4.      Yang tak berkulit (nicchawirisa),

5.      Yang berbulu seperti pisau (asiloma),

6.      Yang berbulu seperti tombak (sat-tiloma),

7.      Yang berbulu seperti anak panah (usuloma),

8.      Yang berbulu seperti jarum (sûciloma),

9.      Yang berbulu seperti jarum jenis kedua (duti-yasûciloma),

10.  Yang berpelir besar (kumbhanna),

11.  Yang terbenam dalam tahi (gûthakûpanimugga),

12.  Yang makan tahi (gûthakhâdaka),

13.  Yang berjenis betina tanpa kulit (nicchawitaka),

14.  Yang berbau busuk (duggandha),

15.  Yang bertubuh bara api (ogilinî),

16.  Yang tak berkepala (asîsa),

17.  Yang berperawakan seperti bhikkhu,

18.  Yang berperawakan seperti bhikkhunî,

19.  Yang berperawakan seperti calon bhikkhunî(sikkhamâna),

20.  Yang berperawakan seperti sâmanera,

21.  Yang berperawakan seperti sâmanerî.

 

Sementara itu, Kitab Lokapaññatti serta Chagatidîpanî menyebutkan adanya 12 macam setan, yaitu:

 

1.      Yang makan ludah, dahak dan muntahan (wantâsikâ),

2.      Yang makan mayat manusia atau binatang (kunpâsa),

3.      Yang makan tahi (gûthakhâdaka),

4.      Yang berlidah api (ag-gijâlamukha),

5.      Yang bermulut sekecil lubang jarum (sûcimukha),

6.      Yang terdorong keinginan tiada habis (tanhannita),

7.      Yang bertubuh hitam pekat (sunijjhâmaka),

8.      Yang berkuku panjang dan runcing (satthanga),

9.      Yang bertubuh sangat besar (pabbatanga),

10.  Yang bertubuh seperti ular piton (ajagaranga),

11.  Yang menderita di siang hari tetapi menikmati kesenangan surgawi di malam hari (wemânika),

12.  Yang memiliki kesaktian (mahiddhika).

 

d)   Alam Iblis 'Asurakâya' (Raksasa).

 

Terbentuk atas tiga kosakata, yaitu 'a' yang merupakan unsur pembalik, 'sura' yang berarti 'cemerlang, gemilang', dan 'kâya' yang berarti 'tubuh'. Namun, yang dimaksud dengan 'tak cemerlang' di sini bukanlah tidak adanya cahaya yang memancar dari tubuh. 


Melainkan suatu kehidupan yang merana dan serba kekurangan sehingga membuat batin tidak berceria. Istilah 'asura' mungkin juga berasal dari kisah kejatuhan dari alam Surga Tâwatimsa [terkalahkan oleh Sakka dan pengikutnya] akibat minuman memabukkan (surâ). Sejak itu, mereka bersumpah untuk tidak meminumnya lagi. Karena sebelumnya pernah bertinggal di alam kedewaan, asurakâya kadangkala juga disebut sebagai 'pubbadevâ'.

 

Asurakâya atau iblis terbagi menjadi tiga macam, yaitu:

 

1. Iblis berupa dewa(dewa-asurâ)

2. Iblis berupa setan (peti-asurâ),

3. Iblis berupa penghuni neraka (niraya-asurâ).

 

Dewa-asurâ terdiri atas wepacitti, râhu, subali, pahâra, sambaratî, dan winipâtika. Peti-asurâ terdiri atas kâlakañcika,wemânika, dan âwuddhika. Niraya-asurâ hanya terdiri atas satu jenis, yaitu yang menderita kelaparan dan hidupnya bergelantungan seperti kelelawar.

 

II.       Satu Alam Manusia (manussabhûmi).

 

Manussa' terbentuk atas dua kosakata, yaitu 'mano' yang berarti 'pikiran, batin' dan 'ussa' yang berarti 'tinggi, luhur, meningkat, berkembang'. Manussa atau manusia adalah suatu makhluk yang berkembang serta kukuh batinnya [mano ussanti etesanti=manussâ], yang tahu serta memahami sebab yang layak [kâranâkaranam manatijânâtîti=manusso], Yang tahu serta memahami apa yang bermanfaat dan tak bermanfaat [atthânattam manati jânâtîti=manusso], yang tahu serta memahami apa yang merupakan kebajikan dan kejahatan [kusalâkusalam manati jânâtîti=manusso].

 

Manusia bertinggal di empat tempat, yaitu Uttarakurudîpa, Pubbawidehadîpa, Aparagoyânadîpa, dan Jambudîpa. Umat manusia yang berada di Uttarakurudîpa berusia sampai seribu tahun, yang berada di Pubbawidehadîpa berusia sampai tujuh ratus tahun, yang berada di Aparagoyânadîpa berusia sampai lima ratus tahun. 


Sedangkan yang berada di Jambudîpa berusia tidak menentu, tergantung kadar kebajikan serta kesilaan yang dimiliki. Pernah terjadi bahwa umat manusia tidak begitu mengindahkan kebajikan serta kesilaan sehingga usia rata-rata umat manusia menjadi sependek 10 tahun. 


Pada zaman Buddha Gotama, usia rata-rata umat manusia ialah 80-100 tahun. Diprakirakan bahwa setiap satu abad, usia manusia memendek selama satu tahun. Karena Buddha Go-tama telah mangkat sejak dua puluh lima abad yang lampau, usia rata-rata umat manusia pada saat sekarang ini ialah 75 tahun.




0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda