Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006 serie Ke-2
Prakata
DUA KUTIPAN INI, masing-masing berasal dari teks-teks yang penting, menyoroti
perbedaan yang radikal terhadap perspektif perpecahan aliran Buddhis. Apakah
kita melihat aliran-aliran yang berkembang sebagai kerusakan dari suatu kesatuan
yang murni awal mulanya, atau sebagai hamparan unik dari sifat potensial
Dhamma?[1] Keyakinan saya sendiri bahwa kedua perspektif ini mungkin mengandung
beberapa kebenaran, namun tidak ada dari keduanya yang mengandung kebenaran
seluruhnya.
Jika kita merenungkan isu dasar yang memecah belah aliran-aliran, kita
menemukan banyak yang mengingatkan pada dialog Buddhis saat ini. Adalah hal
yang sama bahwa rumit dan mendalamnya sejarah pemikiran filosofis Buddhis
menjadi sangat mudah dikecilkan menjadi penolakan yang gencar dari
aliran-aliran lain hanya karena mereka tidak setuju dengan penafsiran dari
kelompok yang dipilih sendiri. Sebanyak yang dapat kita bayangkan bahwa semua
jawaban terselubung, sifat filosofi adalah sedemikian sehingga isu dasar yang dihasilkan
aliran-aliran pemikiran tetap ada, dan muncul kembali dalam berbagai kedok
dalam pembicaraan di dalam aliran itu sendiri.
Sebagai contoh, tesis dasar Mahāsaṅghika adalah sifat Sang Buddha yang
melampaui manusia biasa. Kita mungkin menganggap beberapa ekstrem pandangan ini
dengan candaan – seperti halnya gagasan bahwa kotoran tidak pernah lengket pada
tubuh Sang Buddha, tetapi Beliau membersihkannya sesuai dengan kebiasaan
sehari-hari – tetapi ini menunjukkan perhatian Buddhis yang asli: bagaimana
kita membayangkan sifat Kebuddhaan, dengan sangat manusiawi tetapi juga
sepenuhnya di luar kehidupan kita dengan kecemasan dan ketakutan? Inilah isu
hidup dalam Theravāda modern. Sementara posisi “resmi” (baca “rasionalis,
modernis, kelas menengah”) adalah bahwa Sang Buddha adalah manusia yang
sempurna, perspektif yang penuh ketaatan dari mayoritas Theravādin melihat Sang
Buddha sebagai sesuatu yang agak berbeda.
Sama halnya, Sarvāstivādin mendukung suatu realisme filosofis yang cenderung
memperlakukan objek-objek luar sebagai “ada” dalam dan dari dirinya sendiri,
sehingga bahkan sebuah hubungan abstrak seperti “kepemilikan” dianggap sebagai
substansi yang nyata. Ini menjadi naïf, tetapi dalam membentuk filosofinya
mereka menunjukkan suatu kesadaran terhadap masalah metafisik yang fundamental:
jika kita mengizinkan “keberadaan” satu hal, ini akan sulit untuk menyangkal
keberadaan segala hal. Maka Sarvāstivādin menganggap bahwa masa lampau dan masa
depan “ada” persis dalam pengertian yang sama seperti masa sekarang.
Sarvāstivādin dengan sempurna menyadari bahwa ini kelihatannya menyalahi
aksioma dasar Buddhis tentang ketidakkekalan. Namun mereka berusaha menemukan
penafsiran filosofis yang masih berkaitan atas ketidakkekalan tidak berdasarkan
ontologi, tetapi berdasarkan kemanjuran sebab akibat: masa sekarang “ada”
seperti halnya masa lampau dan masa depan “ada”, tetapi masa depan dibedakan
dalam hal ia bersifat operatif atau fungsional. Mengambil analogi modern,
bandingkan hal ini dengan tombol-tombol pada dokumen Word yang sedang saya
ketik; mereka semuanya “ada”, tetapi hanya menjadi operatif ketika saya
melayangkan kursor di atas mereka: saat itulah “masa sekarang”. Kita dapat
bertanya tentang rumusan gagasan ini, tetapi kita harus melakukannya seperti
yang dilakukan Sarvāstivādin sendiri, yaitu, dalam konteks Buddhis, mencari
cara terbaik untuk menyampaikan kebenaran Buddhis dengan jelas. Kita akan perlu
menyampaikan pertanyaan yang sama yang dihadapi Sarvāstivādin; jika semuanya
tidak kekal, apakah yang terdapat di sana yang menghubungkan masa lampau, masa
depan, dan masa sekarang? Pertanyaan ini lebih banyak dari suatu candaan
abstrak. Dalam agama yang penuh ketaatan seperti Buddhisme, ini penting sekali
dalam membentuk sikap emosional kita terhadap Sang Guru yang kita cintai, yang
hadir dalam kesadaran kita, tetapi sangat jauh dalam waktu. Theravādin walaupun
kerasnya ajaran resmi tentang kesementaraan yang berakar kuat, masih dengan
populer menganggap Sang Buddha entah bagaimana masih ada, yang mengakibatkan
dikotomi yang tidak mudah antara perspektif yang resmi dan yang populer.
Pendekatan Sarvāstivādin akan mengizinkan pemahaman yang sedikit patah di
seluruh komunitas, yang dapat menjadi salah satu alasan di belakang
keberhasilan luar biasa mereka di India kuno.
Sebagai contoh lainnya, Puggalavādin mengambil posisi mereka berdasarkan pada
tesis bahwa terdapat suatu “pribadi” yang tidak sama ataupun bukan tidak sama
dengan lima kelompok unsur kehidupan yang membentuk keberadaan empiris kita.
“Pribadi” ini tidak dapat digambarkan, tetapi bukan “diri” dari penganut ajaran
non-Buddhis. Ini adalah “pribadi” yang merasakan buah kamma dan yang mencapai
pencerahan. Puggalavādin tidak buta terhadap kesulitan dalam mendamaikan teori
ini dengan ajaran “bukan-diri”. Agak bertentangan; upaya filosofis utama mereka
masuk ke dalam penjelasan yang rumit tentang bagaimana “pribadi” sesungguhnya
adalah pemahaman yang benar atas “bukan-diri”. Sekali lagi, ini adalah isu
kunci dalam dialog Buddhis modern. Bagaimana kita mendamaikan realitas “atomik”
atas pengalaman empiris kita dengan pengertian identitas pribadi yang tak dapat
disangkal? Masalah ini terutama genting dalam hubungan antara pemikiran Buddhis
dan pemikiran psikologis. Banyak psikologi terkait dengan pembangunan suatu
“diri” yang menyatu dan terpadu, suatu proyek yang terkutuk bagi penafsiran
harfiah dari Buddhisme tradisional. Tetapi pendekatan psikologis telah
berkembang dalam menanggapi suatu masalah sesungguhnya, jiwa modern yang patah
dan terasing. Ini adalah suatu konteks yang berbeda dengan apa yang dihadapi
Sang Buddha ketika ia mengkritik ajaran Brahmanis atau Jainis tentang suatu
inti yang kekal dan berlangsung terus yang bertahan saat kematian. Karena kita
mengembangkan tanggapan yang modern pada pertanyaan semacam ini, tampaknya akan
masuk akal untuk mengenali bahwa kita bukan generasi pertama yang bergulat
dengan bagaimana menerapkan Buddhisme dalam suatu konteks historis yang jauh
terpisah dari generasi Sang Buddha sendiri.
Dalam mengejar pertanyaan historis sepanjang karya ini, maka, saya membenarkan
bahwa berbagai aliran semuanya berusaha menjelaskan dan menjalankan penafsiran
yang sungguh-sungguh atas ajaran Sang Buddha. Ketika diselidiki dengan dekat,
ajaran aliran-aliran tersebut tidak dapat dijelaskan sebagai kesalahan
sederhana, atau penyusupan asing, atau kerusakan yang disengaja. Ini akan
mengikuti perspektif yang lebih simpatik dan lembut tentang aliran-aliran
mungkin akan lebih objektif daripada catatan-catatan pendukung kuat yang
sengit.
Tampaknya bagi saya terlalu banyak bobot yang telah diberikan pada Dīpavaṁsa,
kronologi Sri Lanka yang paling awal. Versi kejadian ini, walaupun memperkuat
kredibilitas dalam hampir setiap hal, terus menggunakan pengaruh yang kuat pada
pengertian Theravādin atas identitas bersama. Kenyataannya bahwa beberapa
sarjana modern telah memperlakukannya dengan baik hanya menambah kekuatan bagi
kecenderungan ini.
Penelitian yang terkandung dalam karya ini terutama diinspirasi oleh
keterlibatan saya dalam reformasi Sangha bhikkhuni dalam Theravāda. Sementara
kita hanya akan memandang sepintas terhadap isu ini di sini, salah satu
pertanyaan utama dalam pembangkitan kembali silsilah bhikkhuni dari perspektif
Theravādin adalah keabsahan silsilah penahbisan dalam aliran lain. Pandangan
Theravādin tradisional akan mengatakan bahwa para bhikkhuni yang ada sekarang
adalah “Mahāyāna”. Mahāyāna, diklaim diturunkan dari Mahāsaṅghika, dan Dīpavaṁsa
menyatakan bahwa Mahāsaṅghika tidak lain daripada para Vajjiputtaka yang
“jahat”, yang menganjurkan penggunaan uang oleh para bhikkhu, dan yang
dikalahkan pada Konsili Kedua, tetapi kemudian bereformasi dan membuat
pembacaan baru. Oleh sebab itu Mahāyāna adalah perwakilan dari suatu tradisi
yang prinsip dasarnya mendorong kelalaian dalam Vinaya. Mereka “bersifat
memecah belah” dan tidak mungkin untuk menerima mereka sebagai bagian dari
komunitas yang sama.
Tampaknya bagi saya bahwa pandangan ini, yang asalnya diinspirasi oleh Dīpavaṁsa,
mendasari posisi yang diambil oleh banyak Theravādin aliran utama saat ini.
Saya hendak menunjukkan bagaimana posisi Dīpavaṁsa tidak sesuai dan jelas
tidak masuk akal, dan bahwa lebih masuk akal penggambaran asal mula aliran
Buddhis dapat dibentuk dari pembacaan yang simpatik terhadap semua sumber.
Baru-baru ini saya sedang berada dalam suatu pertemuan di mana isu ini dibahas.
Seorang bhikkhu Vietnam mengakui silsilahnya berasal dari Vinaya Dharmaguptaka;
seorang bhikkhu Tibet mencatat warisannya dari Vinaya Mūlasarvāstivāda; tetapi
Theravādin terus-menerus mengatakan seakan-akan mereka semata-mata “Mahāyāna”.
Situasi ini, walaupun patut disesali, dapat dipahami karena kebanyakan
Theravādin tidak pernah mendengar tentang “Dharmagupta” atau
“Mūlasarvāstivāda”. Sekali 17 aliran telah dijauhkan sebagai “yang bersifat
memecah belah” dan “duri” oleh Dīpavaṁsa, dan ajaran mereka telah disangkal
oleh Kathāvatthu, tidak perlu lagi diberitahukan tentang aliran-aliran lain.
Tetapi kenyataannya bahwa tidak pernah ada secara khusus Vinaya atau silsilah
penahbisan “Mahāyāna”. Alih-alih, beberapa bhikkhu dan bhikkhuni, setelah
ditahbiskan dalam salah satu silsilah aliran awal, memilih untuk mempelajari
dan menjalankan beberapa teks dan cita-cita etis yang dikenal sebagai
“Mahāyāna”. Inilah, sejauh yang dapat kita katakan, masalah di India kuno dan
ia tetap menjadi masalah saat ini. Saat ini, para bhikkhu dan bhikkhuni dari
tradisi Asia Timur mengikuti aliran Dharmaguptaka, sedangkan tradisi Asia
Tengah mengikuti Mūlasarvāstivāda. Oleh sebab itu, tidak ada seorang bhikkhu
atau bhikkhuni “Mahāyāna” dari sudut pandang Vinaya. Vinaya sendiri diam
sepenuhnya atas pertanyaan tentang aliran-aliran. Jika kita berharap untuk
memahami hubungan antara Sangha yang masih ada dari berbagai aliran, maka kita
harus menyelidiki hubungan antara aliran Buddhisme awal di mana Vinaya dan
silsilah penahbisan berasal.
Salah satu cara melakukan hal ini adalah dengan menyelidiki asal mula
aliran-aliran yang dipertanyakan. Di sini kita memasuki dunia mitologi yang
berputar-putar dan tidak tentu, di mana penafsiran memerintah tak terbatas, dan
prasangka sektarian tidak semata-mata diharapkan, tetapi merupakan motivasi
yang menggerakan. Dengan pertimbangan sifat yang kontradiksi, tidak lengkap,
dan meragukan dari sumber-sumber tertulis, tidak jelas apakah kita dapat
mengharapkan untuk menemukan bahkan secercah cahaya redup kebenaran. Tetapi
bukti kita yang paling pasti berasal dari kebetulan yang menggembirakan dari
kisah sejarah/mistik dan penemuan arkeologis, dan di sinilah kita memulai
pencarian kita.
Saya telah menetapkan diri saya kemungkinan tugas yang tidak mungkin dalam
upaya mengkomunikasikan gambar yang lebih realistis atas pembentukan
aliran-aliran kepada para praktisi Buddhis. Walaupun saya menggunakan metode
dan hasil dari kesarjanaan modern, saya tidak berharap untuk berbicara pada
seorang pendengar akademik murni. Saya harap terdapat beberapa Buddhis yang
bermaksud untuk menghabiskan waktu untuk meneliti sejarah sedikit dengan lebih
hati-hati, dan tidak hanya menerima polemik dari aliran mereka berdasarkan
persaingan sektarian kuno.
Akan lebih baik jika saya dapat mencerna karya mengagumkan dari para peneliti
modern tentang topik ini dan hanya menyajikannya dalam suatu bentuk yang
sesuai. Tetapi sayangnya, saya menemukan diri saya sendiri tidak dapat menerima
banyak penemuan dari para peneliti modern, lebih banyak daripada saya dapat
menerima tradisi aliran-aliran. Kelihatannya bagi saya bahwa kebanyakan karya
modern, sementara ia telah menyelesaikan suatu masalah besar, terhambat oleh masalah-masalah
yang mengganggu studi Buddhis secara umum: penerimaan yang tidak kritis
terhadap bukti tekstual atas penemuan arkeologis; prasangka dalam mendukung
salah satu dari tradisi selatan atau utara; kepercayaan pada pembacaan yang
tidak tepat atau salah dari karya dan terjemahan sekunder; gagasan yang
sederhana atau tidak realistis atas kehidupan beragama secara umum dan
kehidupan monastic secara khusus; kurangnya pemahaman atas Vinaya;
membaca kembali situasi yang belakangan ke dalam masa yang lebih awal; dan
mungkin yang paling penting, kurangnya penghargaan terhadap mitos, sehinggi
informasi “historis” terpisahkan dari konteks mitos yang memberinya makna.
Pembaca dapat menilai sendiri sampai tingkat mana saya telah dapat mengatasi
masalah-masalah ini.
Terima kasih yang luar biasa kepada Bhikkhuni Samacitta, untuk bantuan beliau
dalam terjemahan Mandarin, dan Bhikkhu Santidhammo yang membantu saya memahami
sifat perpecahan dan komunitas. Terima kasih juga kepada Bhikkhu Bodhi, yang
telah memberikan waktunya untuk membaca karya saya dan memberikan komentarnya.
Marcus Bingenheimer, Bhikkhuni Thubten Chodren, Bhikkhuni Chi Kwang Sunim,
Bhikkhuni Jampa Tsedron, Terry Waugh, Mark Allon, Rod Bucknell dan banyak lagi
yang lainnya telah memberikan umpan balik dan dukungan. Saya juga ingin
menyampaikan penghargaan saya kepada banyak donator yang telah mendukung
kehidupan kebhikkhuan saya, dengan memberikan kebutuhan-kebutuhan fisik yang
memungkinkan terciptanya karya ini: sādhu, sādhu, anumodāmi!
Sepanjang penelitian ini saya telah mendatangi beberapa wilayah yang bermanfaat
bagi penelitian, walaupun bersinggungan dengan argumen utama buku ini. Dalam
beberapa kasus ini hanya pernyataan teknis, sedangkan yang lain mengkritik
beberapa penafsiran khusus dari isu-isu yang berkaitan, dan yang lain lagi
merupakan sketsa terhadap studi yang lebih jauh. Esai ini, bersama dengan teks
dari buku yang sekarang, dapat ditemukan pada situs jaringan:
http://sectsandsectarianism.googlepages.com
Catatan Kaki:
[1] Ini tanpa mengatakan bahwa klaim Śāriputraparipṛcchā tentang warna jubah
dari berbagai aliran tidak seharusnya diartikan secara harfiah.
« Last
Edit: 26 January 2013, 10:23:39 PM by ariyakumara »
Logged
"Holmes once said not to allow your
judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are
antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa
seniya
·
Global
Moderator
·
KalyanaMitta
·
·
Posts:
3.469
·
Reputasi:
169
·
Gender:
·
Om muni
muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply
#3 on: 26 January 2013, 06:49:58 PM
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda