Selasa, 05 Juli 2022

Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006 serie Ke-2

 

Prakata


DUA KUTIPAN INI, masing-masing berasal dari teks-teks yang penting, menyoroti perbedaan yang radikal terhadap perspektif perpecahan aliran Buddhis. Apakah kita melihat aliran-aliran yang berkembang sebagai kerusakan dari suatu kesatuan yang murni awal mulanya, atau sebagai hamparan unik dari sifat potensial Dhamma?[1] Keyakinan saya sendiri bahwa kedua perspektif ini mungkin mengandung beberapa kebenaran, namun tidak ada dari keduanya yang mengandung kebenaran seluruhnya.

Jika kita merenungkan isu dasar yang memecah belah aliran-aliran, kita menemukan banyak yang mengingatkan pada dialog Buddhis saat ini. Adalah hal yang sama bahwa rumit dan mendalamnya sejarah pemikiran filosofis Buddhis menjadi sangat mudah dikecilkan menjadi penolakan yang gencar dari aliran-aliran lain hanya karena mereka tidak setuju dengan penafsiran dari kelompok yang dipilih sendiri. Sebanyak yang dapat kita bayangkan bahwa semua jawaban terselubung, sifat filosofi adalah sedemikian sehingga isu dasar yang dihasilkan aliran-aliran pemikiran tetap ada, dan muncul kembali dalam berbagai kedok dalam pembicaraan di dalam aliran itu sendiri.




Sebagai contoh, tesis dasar Mahāsaṅghika adalah sifat Sang Buddha yang melampaui manusia biasa. Kita mungkin menganggap beberapa ekstrem pandangan ini dengan candaan – seperti halnya gagasan bahwa kotoran tidak pernah lengket pada tubuh Sang Buddha, tetapi Beliau membersihkannya sesuai dengan kebiasaan sehari-hari – tetapi ini menunjukkan perhatian Buddhis yang asli: bagaimana kita membayangkan sifat Kebuddhaan, dengan sangat manusiawi tetapi juga sepenuhnya di luar kehidupan kita dengan kecemasan dan ketakutan? Inilah isu hidup dalam Theravāda modern. Sementara posisi “resmi” (baca “rasionalis, modernis, kelas menengah”) adalah bahwa Sang Buddha adalah manusia yang sempurna, perspektif yang penuh ketaatan dari mayoritas Theravādin melihat Sang Buddha sebagai sesuatu yang agak berbeda.

Sama halnya, Sarvāstivādin mendukung suatu realisme filosofis yang cenderung memperlakukan objek-objek luar sebagai “ada” dalam dan dari dirinya sendiri, sehingga bahkan sebuah hubungan abstrak seperti “kepemilikan” dianggap sebagai substansi yang nyata. Ini menjadi naïf, tetapi dalam membentuk filosofinya mereka menunjukkan suatu kesadaran terhadap masalah metafisik yang fundamental: jika kita mengizinkan “keberadaan” satu hal, ini akan sulit untuk menyangkal keberadaan segala hal. Maka Sarvāstivādin menganggap bahwa masa lampau dan masa depan “ada” persis dalam pengertian yang sama seperti masa sekarang. Sarvāstivādin dengan sempurna menyadari bahwa ini kelihatannya menyalahi aksioma dasar Buddhis tentang ketidakkekalan. Namun mereka berusaha menemukan penafsiran filosofis yang masih berkaitan atas ketidakkekalan tidak berdasarkan ontologi, tetapi berdasarkan kemanjuran sebab akibat: masa sekarang “ada” seperti halnya masa lampau dan masa depan “ada”, tetapi masa depan dibedakan dalam hal ia bersifat operatif atau fungsional. Mengambil analogi modern, bandingkan hal ini dengan tombol-tombol pada dokumen Word yang sedang saya ketik; mereka semuanya “ada”, tetapi hanya menjadi operatif ketika saya melayangkan kursor di atas mereka: saat itulah “masa sekarang”. Kita dapat bertanya tentang rumusan gagasan ini, tetapi kita harus melakukannya seperti yang dilakukan Sarvāstivādin sendiri, yaitu, dalam konteks Buddhis, mencari cara terbaik untuk menyampaikan kebenaran Buddhis dengan jelas. Kita akan perlu menyampaikan pertanyaan yang sama yang dihadapi Sarvāstivādin; jika semuanya tidak kekal, apakah yang terdapat di sana yang menghubungkan masa lampau, masa depan, dan masa sekarang? Pertanyaan ini lebih banyak dari suatu candaan abstrak. Dalam agama yang penuh ketaatan seperti Buddhisme, ini penting sekali dalam membentuk sikap emosional kita terhadap Sang Guru yang kita cintai, yang hadir dalam kesadaran kita, tetapi sangat jauh dalam waktu. Theravādin walaupun kerasnya ajaran resmi tentang kesementaraan yang berakar kuat, masih dengan populer menganggap Sang Buddha entah bagaimana masih ada, yang mengakibatkan dikotomi yang tidak mudah antara perspektif yang resmi dan yang populer. Pendekatan Sarvāstivādin akan mengizinkan pemahaman yang sedikit patah di seluruh komunitas, yang dapat menjadi salah satu alasan di belakang keberhasilan luar biasa mereka di India kuno.

Sebagai contoh lainnya, Puggalavādin mengambil posisi mereka berdasarkan pada tesis bahwa terdapat suatu “pribadi” yang tidak sama ataupun bukan tidak sama dengan lima kelompok unsur kehidupan yang membentuk keberadaan empiris kita. “Pribadi” ini tidak dapat digambarkan, tetapi bukan “diri” dari penganut ajaran non-Buddhis. Ini adalah “pribadi” yang merasakan buah kamma dan yang mencapai pencerahan. Puggalavādin tidak buta terhadap kesulitan dalam mendamaikan teori ini dengan ajaran “bukan-diri”. Agak bertentangan; upaya filosofis utama mereka masuk ke dalam penjelasan yang rumit tentang bagaimana “pribadi” sesungguhnya adalah pemahaman yang benar atas “bukan-diri”. Sekali lagi, ini adalah isu kunci dalam dialog Buddhis modern. Bagaimana kita mendamaikan realitas “atomik” atas pengalaman empiris kita dengan pengertian identitas pribadi yang tak dapat disangkal? Masalah ini terutama genting dalam hubungan antara pemikiran Buddhis dan pemikiran psikologis. Banyak psikologi terkait dengan pembangunan suatu “diri” yang menyatu dan terpadu, suatu proyek yang terkutuk bagi penafsiran harfiah dari Buddhisme tradisional. Tetapi pendekatan psikologis telah berkembang dalam menanggapi suatu masalah sesungguhnya, jiwa modern yang patah dan terasing. Ini adalah suatu konteks yang berbeda dengan apa yang dihadapi Sang Buddha ketika ia mengkritik ajaran Brahmanis atau Jainis tentang suatu inti yang kekal dan berlangsung terus yang bertahan saat kematian. Karena kita mengembangkan tanggapan yang modern pada pertanyaan semacam ini, tampaknya akan masuk akal untuk mengenali bahwa kita bukan generasi pertama yang bergulat dengan bagaimana menerapkan Buddhisme dalam suatu konteks historis yang jauh terpisah dari generasi Sang Buddha sendiri.

Dalam mengejar pertanyaan historis sepanjang karya ini, maka, saya membenarkan bahwa berbagai aliran semuanya berusaha menjelaskan dan menjalankan penafsiran yang sungguh-sungguh atas ajaran Sang Buddha. Ketika diselidiki dengan dekat, ajaran aliran-aliran tersebut tidak dapat dijelaskan sebagai kesalahan sederhana, atau penyusupan asing, atau kerusakan yang disengaja. Ini akan mengikuti perspektif yang lebih simpatik dan lembut tentang aliran-aliran mungkin akan lebih objektif daripada catatan-catatan pendukung kuat yang sengit.

Tampaknya bagi saya terlalu banyak bobot yang telah diberikan pada Dīpavaṁsa, kronologi Sri Lanka yang paling awal. Versi kejadian ini, walaupun memperkuat kredibilitas dalam hampir setiap hal, terus menggunakan pengaruh yang kuat pada pengertian Theravādin atas identitas bersama. Kenyataannya bahwa beberapa sarjana modern telah memperlakukannya dengan baik hanya menambah kekuatan bagi kecenderungan ini.

Penelitian yang terkandung dalam karya ini terutama diinspirasi oleh keterlibatan saya dalam reformasi Sangha bhikkhuni dalam Theravāda. Sementara kita hanya akan memandang sepintas terhadap isu ini di sini, salah satu pertanyaan utama dalam pembangkitan kembali silsilah bhikkhuni dari perspektif Theravādin adalah keabsahan silsilah penahbisan dalam aliran lain. Pandangan Theravādin tradisional akan mengatakan bahwa para bhikkhuni yang ada sekarang adalah “Mahāyāna”. Mahāyāna, diklaim diturunkan dari Mahāsaṅghika, dan Dīpavaṁsa menyatakan bahwa Mahāsaṅghika tidak lain daripada para Vajjiputtaka yang “jahat”, yang menganjurkan penggunaan uang oleh para bhikkhu, dan yang dikalahkan pada Konsili Kedua, tetapi kemudian bereformasi dan membuat pembacaan baru. Oleh sebab itu Mahāyāna adalah perwakilan dari suatu tradisi yang prinsip dasarnya mendorong kelalaian dalam Vinaya. Mereka “bersifat memecah belah” dan tidak mungkin untuk menerima mereka sebagai bagian dari komunitas yang sama.

Tampaknya bagi saya bahwa pandangan ini, yang asalnya diinspirasi oleh Dīpavaṁsa, mendasari posisi yang diambil oleh banyak Theravādin aliran utama saat ini. Saya hendak menunjukkan bagaimana posisi Dīpavaṁsa tidak sesuai dan  jelas tidak masuk akal, dan bahwa lebih masuk akal penggambaran asal mula aliran Buddhis dapat dibentuk dari pembacaan yang simpatik terhadap semua sumber.

Baru-baru ini saya sedang berada dalam suatu pertemuan di mana isu ini dibahas. Seorang bhikkhu Vietnam mengakui silsilahnya berasal dari Vinaya Dharmaguptaka; seorang bhikkhu Tibet mencatat warisannya dari Vinaya Mūlasarvāstivāda; tetapi Theravādin terus-menerus mengatakan seakan-akan mereka semata-mata “Mahāyāna”. Situasi ini, walaupun patut disesali, dapat dipahami karena kebanyakan Theravādin tidak pernah mendengar tentang “Dharmagupta” atau “Mūlasarvāstivāda”. Sekali 17 aliran telah dijauhkan sebagai “yang bersifat memecah belah” dan “duri” oleh Dīpavaṁsa, dan ajaran mereka telah disangkal oleh Kathāvatthu, tidak perlu lagi diberitahukan tentang aliran-aliran lain.

Tetapi kenyataannya bahwa tidak pernah ada secara khusus Vinaya atau silsilah penahbisan “Mahāyāna”. Alih-alih, beberapa bhikkhu dan bhikkhuni, setelah ditahbiskan dalam salah satu silsilah aliran awal, memilih untuk mempelajari dan menjalankan beberapa teks dan cita-cita etis yang dikenal sebagai “Mahāyāna”. Inilah, sejauh yang dapat kita katakan, masalah di India kuno dan ia tetap menjadi masalah saat ini. Saat ini, para bhikkhu dan bhikkhuni dari tradisi Asia Timur mengikuti aliran Dharmaguptaka, sedangkan tradisi Asia Tengah mengikuti Mūlasarvāstivāda. Oleh sebab itu, tidak ada seorang bhikkhu atau bhikkhuni “Mahāyāna” dari sudut pandang Vinaya. Vinaya sendiri diam sepenuhnya atas pertanyaan tentang aliran-aliran. Jika kita berharap untuk memahami hubungan antara Sangha yang masih ada dari berbagai aliran, maka kita harus menyelidiki hubungan antara aliran Buddhisme awal di mana Vinaya dan silsilah penahbisan berasal.

Salah satu cara melakukan hal ini adalah dengan menyelidiki asal mula aliran-aliran yang dipertanyakan. Di sini kita memasuki dunia mitologi yang berputar-putar dan tidak tentu, di mana penafsiran memerintah tak terbatas, dan prasangka sektarian tidak semata-mata diharapkan, tetapi merupakan motivasi yang menggerakan. Dengan pertimbangan sifat yang kontradiksi, tidak lengkap, dan meragukan dari sumber-sumber tertulis, tidak jelas apakah kita dapat mengharapkan untuk menemukan bahkan secercah cahaya redup kebenaran. Tetapi bukti kita yang paling pasti berasal dari kebetulan yang menggembirakan dari kisah sejarah/mistik dan penemuan arkeologis, dan di sinilah kita memulai pencarian kita.

Saya telah menetapkan diri saya kemungkinan tugas yang tidak mungkin dalam upaya mengkomunikasikan gambar yang lebih realistis atas pembentukan aliran-aliran kepada para praktisi Buddhis. Walaupun saya menggunakan metode dan hasil dari kesarjanaan modern, saya tidak berharap untuk berbicara pada seorang pendengar akademik murni. Saya harap terdapat beberapa Buddhis yang bermaksud untuk menghabiskan waktu untuk meneliti sejarah sedikit dengan lebih hati-hati, dan tidak hanya menerima polemik dari aliran mereka berdasarkan persaingan sektarian kuno.

Akan lebih baik jika saya dapat mencerna karya mengagumkan dari para peneliti modern tentang topik ini dan hanya menyajikannya dalam suatu bentuk yang sesuai. Tetapi sayangnya, saya menemukan diri saya sendiri tidak dapat menerima banyak penemuan dari para peneliti modern, lebih banyak daripada saya dapat menerima tradisi aliran-aliran. Kelihatannya bagi saya bahwa kebanyakan karya modern, sementara ia telah menyelesaikan suatu masalah besar, terhambat oleh masalah-masalah yang mengganggu studi Buddhis secara umum: penerimaan yang tidak kritis terhadap bukti tekstual atas penemuan arkeologis; prasangka dalam mendukung salah satu dari tradisi selatan atau utara; kepercayaan pada pembacaan yang tidak tepat atau salah dari karya dan terjemahan sekunder; gagasan yang sederhana atau tidak realistis atas kehidupan beragama secara umum dan kehidupan monastic secara khusus; kurangnya pemahaman atas Vinaya;  membaca kembali situasi yang belakangan ke dalam masa yang lebih awal; dan mungkin yang paling penting, kurangnya penghargaan terhadap mitos, sehinggi informasi “historis” terpisahkan dari konteks mitos yang memberinya makna. Pembaca dapat menilai sendiri sampai tingkat mana saya telah dapat mengatasi masalah-masalah ini.

Terima kasih yang luar biasa kepada Bhikkhuni Samacitta, untuk bantuan beliau dalam terjemahan Mandarin, dan Bhikkhu Santidhammo yang membantu saya memahami sifat perpecahan dan komunitas. Terima kasih juga kepada Bhikkhu Bodhi, yang telah memberikan waktunya untuk membaca karya saya dan memberikan komentarnya. Marcus Bingenheimer, Bhikkhuni Thubten Chodren, Bhikkhuni Chi Kwang Sunim, Bhikkhuni Jampa Tsedron, Terry Waugh, Mark Allon, Rod Bucknell dan banyak lagi yang lainnya telah memberikan umpan balik dan dukungan. Saya juga ingin menyampaikan penghargaan saya kepada banyak donator yang telah mendukung kehidupan kebhikkhuan saya, dengan memberikan kebutuhan-kebutuhan fisik yang memungkinkan terciptanya karya ini: sādhu, sādhu, anumodāmi!

Sepanjang penelitian ini saya telah mendatangi beberapa wilayah yang bermanfaat bagi penelitian, walaupun bersinggungan dengan argumen utama buku ini. Dalam beberapa kasus ini hanya pernyataan teknis, sedangkan yang lain mengkritik beberapa penafsiran khusus dari isu-isu yang berkaitan, dan yang lain lagi merupakan sketsa terhadap studi yang lebih jauh. Esai ini, bersama dengan teks dari buku yang sekarang, dapat ditemukan pada situs jaringan:

http://sectsandsectarianism.googlepages.com


Catatan Kaki:

[1] Ini tanpa mengatakan bahwa klaim Śāriputraparipṛcchā tentang warna jubah dari berbagai aliran tidak seharusnya diartikan secara harfiah.

« Last Edit: 26 January 2013, 10:23:39 PM by ariyakumara »

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/ip.gif Logged

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

·        Global Moderator

·        KalyanaMitta

·        *****

·        https://dhammacitta.org/forum/avatarsc/avatar_3667_1513473972.png

·        Posts: 3.469

·        Reputasi: 169

·        Gender: Male

·        Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/post/xx.gif

Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

« Reply #3 on: 26 January 2013, 06:49:58 PM 

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda