Kālāma Sutta atau biasa disebut Kesamutti Sutta adalah sebuah khotbah Sang Buddha yang tercantum di dalam Anguttara Nikaya dari Tipiṭaka,[1] yang merupakan instruksi kepada suku Kalama. Sutta ini sering disebut oleh kalangan tradisi Theravada dan Mahayana sebagai "piagam kebebasan untuk menyelidik" dari Buddha.[2] Sutta ini menunjukkan ajaran yang bebas dari fanatisme, keyakinan membuta, dogmatisme, dan intoleransi.[3] Selain itu, sutta ini berisi tentang penerapan sikap ehipassiko seperti yang diajarkan sang Buddha di dalam menerima ajaran-Nya. Sang Buddha
dalam sutta ini mengajarkan untuk "datang dan buktikan" ajaran-Nya,
bukan "datang dan percaya". Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah
satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran
lainnya.[4]
Kalama Sutta memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh
pencari kebenaran dan berisikan standar yang digunakan untuk menilai
segala sesuatu. Kalama Sutta merupakan kerangka dasar Dhamma.
Empat penghiburan yang diajarkan dalam sutta ini yaitu menyebutkan
batasan yang diizinkan Sang Buddha untuk meragukan penilaian mengenai
hal-hal di luar kognisi pada umumnya. Penghiburan itu menunjukkan bahwa
alasan bagi kehidupan yang bermoral tidak harus bergantung atas
kepercayaan terhadap kelahiran-kembali atau sebab-akibat, melainkan atas
kesejahteraan mental yang diperoleh setelah mengatasi keserakahan,
kebencian, dan kebodohan batin.[5]
Latar Belakang
Stupa Kesariya diyakini sebagai tempat Buddha menyampaikan khotbah kepada para Kalama
Para Kalama, penduduk kota Kesaputta, telah dikunjungi oleh berbagai
guru spiritual dengan beragam pandangan. Setiap dari mereka akan
menjunjung ajarannya sendiri dan merendahkan ajaran-ajaran dari para
guru spiritual sebelumnya yang telah datang. Hal ini menimbulkan
kebingungan bagi para Kalama, dan karenanya, saat sang Buddha,
yang digelari sebagai Ia Yang Sadar, tiba di kota mereka, para Kalama
mendekatinya dengan harapan bahwa Sang Buddha mungkin dapat
menghilangkan kebingungan mereka.
Sang Buddha
memulai khotbahnya dengan meyakinkan para Kalama bahwa dalam situasi
seperti demikian adalah hal yang wajar bagi mereka untuk bimbang, sebuah
ketenangan yang membangkitkan kebebasan menyelidik. Dia selanjutnya
membabarkan pesan berikut, menasihati para Kalama untuk meninggalkan
hal-hal yang mereka ketahui sendiri adalah buruk dan mengambil hal-hal
yang mereka ketahui sendiri adalah baik.
‘‘Etha tumhe, kālāmā, mā
anussavena, mā paramparāya, mā itikirāya, mā piṭakasampadānena, mā
takkahetu, mā nayahetu, mā ākāraparivitakkena, mā
diṭṭhinijjhānakkhantiyā, mā bhabbarūpatāya, mā samaṇo no garūti. Yadā
tumhe, kālāmā, attanāva jāneyyātha – ‘ime dhammā akusalā, ime dhammā
sāvajjā, ime dhammā viññugarahitā, ime dhammā samattā samādinnā ahitāya
dukkhāya saṃvattantī’’’ti, atha tumhe, kālāmā, pajaheyyātha.[6]
“Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma,
adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan
telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang
membingungkan. Marilah, O penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi
lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika,
penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan,
pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir:
‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma, kalian
mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak
bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para
bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah
menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.[7]
— Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 4.65
Instruksi kepada Suku Kalama
Instruksi
kepada Suku Kalama sebagaimana tercantum dalam Kalama Sutta secara
garis besar dapat dirangkum sebagai berikut (istilah Pali dalam kurung):[8]
- Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali didengar (anussava);
- atau yang berdasarkan tradisi (paramparā);
- atau yang berdasarkan desas-desus (itikirā);
- atau yang ada di kitab suci (piṭaka-sampadāna);
- atau yang berdasarkan dugaan (takka-hetu);
- atau yang berdasarkan aksioma (naya-hetu);
- atau yang berdasarkan penalaran yang tampaknya bagus (ākāra-parivitakka);
- atau yang berdasarkan kecondongan ke arah dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali (diṭṭhi-nijjhān-akkh-antiyā);
- atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang (bhabba-rūpatāya);
- atau yang berdasarkan pertimbangan, 'Bhikkhu itu adalah guru kita' (samaṇo no garū).
- Para Kalama, bila kalian sendiri mengetahui: 'Hal-hal ini buruk;
hal-hal ini salah; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; bila
dilakukan dan dijalankan, hal-hal ini akan menuju pada keburukan dan
kerugian', tinggalkanlah hal-hal itu.
Hal-hal yang bila dilakukan akan menuju kepada keburukan dan kerugian adalah keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
- Para Kalama, bila kalian sendiri mengetahui: 'Hal-hal ini baik;
hal-hal ini tidak dapat disalahkan; hal-hal ini dipuji oleh para
bijaksana; bila dilakukan dan dijalankan, hal-hal ini akan menuju pada
keuntungan dan kebahagiaan', masuklah dan berdiamlah di dalamnya.
Hal-hal yang bila dilakukan akan menuju kepada keuntungan dan
kebahagiaan adalah hapusnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.
- Empat Kediaman Luhur, yakni kasih sayang, welas asih, kegembiraan dalam berempati, dan keseimbangan batin. Dengan berdiam–setelah dengan pemikiran kasih sayang, welas asih, sukacita dalam berempati, dan keseimbangan batin
meliputi satu penjuru; demikian pula penjuru kedua, demikian pula
ketiga, demikian pula keempat; demikian pula ke atas, bawah, dan ke
sekeliling; dia berdiam, setelah meliputi–karena di dalamnya ada
kehidupan semua makhluk hidup–di mana pun, di seluruh dunia, dengan
pemikiran ketenangseimbangan yang luhur, agung, tanpa batas, yang
terbebas dari kebencian maupun kedengkian.
- Empat Penghiburan, dengan memiliki pikiran yang bebas dari
kebencian seperti itu, pikiran yang bebas dari kedengkian seperti itu,
pikiran yang bebas dari kekotoran seperti itu, dan pikiran yang
dimurnikan seperti itu, merupakan orang yang olehnya empat penghiburan
itu ditemukan, di sini, dan kini.
- Penghiburan Pertama: "Andaikan saja ada kehidupan di
masa-depan dan ada buah, ada hasil, dari perbuatan-perbuatan baik maupun
buruk yang telah dilakukan. Maka mungkin saja setelah hancurnya tubuh
setelah kematian, aku terlahir kembali di alam surga, yang mempunyai
keadaan kebahagiaan".
- Penghiburan Kedua: "Andaikan saja tidak ada kehidupan di
masa-depan dan tidak ada buah, tidak ada hasil, dari perbuatan-perbuatan
baik maupun buruk yang telah dilakukan. Walaupun demikian, di dunia
ini, di sini dan kini, karena bebas dari kebencian, bebas dari
kedengkian, aku menjaga diriku aman dan sehat, serta bahagia".
- Penghiburan Ketiga: "Andaikan saja (hasil-hasil) kejahatan
jatuh pada pelaku kejahatan. Namun, aku tidak memiliki pemikiran untuk
melakukan perbuatan buruk pada siapa pun juga. Maka, bagaimana
(hasil-hasil) kejahatan dapat mempengaruhi aku yang tidak melakukan
perbuatan buruk apa pun ?"
- Penghiburan Keempat: "Andaikan saja (hasil-hasil) kejahatan
tidak akan jatuh pada pelaku kejahatan. Maka aku melihat diriku
dimurnikan dalam semua hal".
Pemahaman dan Pendalaman Sutta
Khotbah
dalam Kalama Sutta telah digambarkan sebagai "Piagam/Apresiasi Sang
Buddha atas Kebebasan Menyelidik", sebagaimana dinyatakan oleh Soma Thera:
Instruksi pada Suku Kalama (Kalama
Sutta) memang pantas terkenal karena memberikan dorongan bagi
penyelidikan bebas. Semangat sutta ini memang menunjukkan Ajaran yang
bebas dari fanatisme, keyakinan membuta, dogmatisme, dan
ketidaktoleranan.[3]
Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Bhikkhu Bodhi, ajaran tersebut tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap skeptisisme secara radikal ataupun kebenaran personal yang tidak masuk akal:
Dengan basis suatu pesan tunggal,
dikutip keluar dari konteks, Sang Buddha telah menjadi seorang empiris
pragmatis yang menghilangkan seluruh doktrin dan kepercayaan, dan Ajaran
Buddha (Dhamma) secara sederhana adalah alat berpikir bebas terhadap
kebenaran yang mengundang setiap orang untuk menerima dan menolak apapun
yang dikehendakinya.[3]
Daripada mendukung skeptisisme atau kebenaran subjektif, dalam sutta, Buddha terus menyatakan bahwa tiga akar kejahatan,
yakni keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, menyebabkan hasil
negatif yang berlawanan, yaitu mereka menjadi tidak terampil, tercela,
dan lain-lain. Oleh karena itu, perilaku yang didasarkan pada tiga akar
kejahatan ini harus ditinggalkan. Penilaian moral dari tindakan,
karenanya dapat disimpulkan dengan menganalisis apakah tindakan ini
didasarkan pada akar kejahatan atau tidak.
Pesan dalam sutta ini, sebagaimana pesan-pesan lainnya yang
diucapkan oleh Sang Buddha, telah dinyatakan dalam suatu keadaan
tertentu— dengan pendengar dan keadaan tertentu saat itu—dan karenanya
haruslah dipahami sehubungan dengan keadaan tersebut.
Lihat pula
Referensi
AN 3.65; PTS: A.i.188; Thai III.66
"Kalama Sutta, The Buddha's Charter of Free Inquiry" by Soma Thera
Soma, Thera; Bhikkhu, Bodhi; Larry, Rosenberg; Willy, Yandi Wijaya (Februari 2010). Kalama Sutta (PDF). Yogyakarta: Vidyasena Production. hlm. 2.
"Ehipassiko – Datang dan Lihatlah". Bhagavant. Diakses tanggal 23 Desember 2018. Prinsip ehipassiko ini menjadi salah satu ajaran yang membedakan antara ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
https://pustaka.dhammacitta.org/ebook/theravada/Kalama%20Sutta.pdf
https://storage.googleapis.com/sariputta/pdf/tipitaka/593/Tikanipatapali.pdf
https://www.sariputta.com/sutta-pitaka/3450-kesaputti-klma/indonesia
Pranala luar