Rabu, 31 Mei 2023

Borobudur-Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Untuk kegunaan lain, lihat Borobudur (disambiguasi). Borobudur-ꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ-Stupa Borobudur.jpg-Bagian Arupadhatu dari Candi Borobudur-16 Juni 1998-13 Oktober 2014 Pengelola Balai Konservasi Borobudur-TWC Indonesia Heritage Management Kabupaten Magelang-Nama sebagaimana tercantum dalam-Sistem Registrasi Nasional






Cagar Budaya Candi Borobudur (Jawa: ꦕꦟ꧀ꦝꦶꦧꦫꦧꦸꦝꦸꦂ, translit. Candhi Båråbudhur) adalah sebuah candi Buddha yang terletak di Borobudur, Magelang, Jawa Tengah, Indonesia. Candi ini terletak kurang lebih 100 km di sebelah barat daya Semarang, 86 km di sebelah barat Surakarta, dan 40 km di sebelah barat laut Yogyakarta. Candi dengan banyak stupa ini didirikan oleh para penganut agama Buddha Mahayana sekitar tahun 800-an Masehi pada masa pemerintahan wangsa Syailendra. 

Borobudur adalah candi atau kuil Buddha terbesar di dunia,[1][2] sekaligus salah satu monumen Buddha terbesar di dunia.[3] Monumen ini terdiri atas enam teras berbentuk bujur sangkar yang di atasnya terdapat tiga pelataran melingkar, pada dindingnya dihiasi dengan 2.672 panel relief dan aslinya terdapat 504 arca Buddha.[4] Borobudur memiliki koleksi relief Buddha terlengkap dan terbanyak di dunia.

[3] Stupa utama terbesar teletak di tengah sekaligus memahkotai bangunan ini, dikelilingi oleh tiga barisan melingkar 72 stupa berlubang yang di dalamnya terdapat arca Buddha tengah duduk bersila dalam posisi teratai sempurna dengan mudra (sikap tangan) Dharmachakra mudra (memutar roda dharma).  

Monumen ini merupakan model alam semesta dan dibangun sebagai tempat suci untuk memuliakan Buddha sekaligus berfungsi sebagai tempat ziarah untuk menuntun umat manusia beralih dari alam nafsu duniawi menuju pencerahan dan kebijaksanaan sesuai ajaran Buddha.

[5] Para peziarah masuk melalui sisi timur dan memulai ritual di dasar candi dengan berjalan melingkari bangunan suci ini searah jarum jam, sambil terus naik ke undakan berikutnya melalui tiga tingkatan ranah dalam kosmologi Buddha. Ketiga tingkatan itu adalah Kāmadhātu (ranah hawa nafsu), Rupadhatu (ranah berwujud), dan Arupadhatu (ranah tak berwujud). Dalam perjalanannya para peziarah berjalan melalui serangkaian lorong dan tangga dengan menyaksikan tak kurang dari 1.460 panel relief indah yang terukir pada dinding dan pagar langkan. Menurut bukti-bukti sejarah, Borobudur ditinggalkan pada abad ke-10 seiring dipindahnya pusat Kerajaan Mataram Kuno ke Jawa Timur oleh Pu Sindok.

[6] Dunia mulai menyadari keberadaan bangunan ini sejak ditemukan 1814 oleh Sir Thomas Stamford Raffles, yang saat itu menjabat sebagai Gubernur Jenderal Inggris atas Jawa. Sejak saat itu Borobudur telah mengalami serangkaian upaya penyelamatan dan pemugaran (perbaikan kembali). Proyek pemugaran terbesar digelar pada kurun waktu 1975 hingga 1982 atas upaya Pemerintah Republik Indonesia dan UNESCO, kemudian situs bersejarah ini masuk dalam daftar Situs Warisan Dunia.

[3] Borobudur kini masih digunakan sebagai tempat ziarah keagamaan; tiap tahun umat Buddha yang datang dari seluruh Indonesia dan mancanegara berkumpul di Borobudur untuk memperingati Trisuci Waisak. 

Terkait kepariwisataan, Borobudur adalah objek wisata tunggal di Indonesia yang paling banyak dikunjungi wisatawan.[7][8][9] Pada 11 Februari 2022, pemerintah meresmikan status Candi Borobudur kembali sebagai tempat peribadatan umat Buddhis di Indonesia dan dunia.[10]

 

 

Mengenal Candi, Menapak Tilas Sejarah Hindu-Budha Berita / 28/01/2021 / Oleh-Admin SMP

 




Dilihat 23,884 pengunjung

Terletak di jalur perdagangan dunia membuat Indonesia banyak disinggahi oleh para pedagang asing. Mayoritas pedagang yang datang ke Indonesia berasal dari Cina, India, dan Arab. Tidak hanya sekadar berdagang, para pedagang tersebut juga menetap dalam waktu cukup lama. Dari hubungan itulah secara tidak langsung pengaruh agama Hindu dan Budha mulai masuk ke tanah air.

Agama Hindu-Budha memberikan banyak pengaruh di berbagai sisi, salah satunya pada sisi budaya. Lahir berbagai karya arsitektur, sastra, seni ukir, dan seni wayang yang kental dengan nuansa Hindu-Budha. Maka tidak mengherankan, bila terdapat banyak sekali bangunan candi yang tersebar di Indonesia. Tetapi, apakah sobat SMP sudah mengetahui candi-candi tersebut? 

1. Candi Prambanan

Sumber gambar: http://sejarahsenidanbudaya.blogspot.com/

Terletak di daerah Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta, Candi Prambanan juga dikenal dengan nama Candi Loro Jonggrang. Komplek Candi Prambanan merupakan area candi Hindu terbesar di Indonesia. Candi ini dibangun sekitar pada abad ke-9 oleh Raja Rakai Pikatan dari Kerajaan Mataram Kuno. 

2. Candi Penataran 

Sumber gambar: https://wisatabagus.com/candi-penataran/

Candi ini merupakan candi peninggalan Kerajaan Kediri yang dibangun pada masa pemerintahan Raja Srengga yakni sekitar tahun 1200 Masehi. Candi ini Penataran berlokasi di daerah Blitar, Provinsi Jawa Timur. Bangunan Candi Penataran terbuat dari bata merah. 

3. Candi Borobudur 

Sumber gambar: https://maritim.go.id/

Bila sebelumnya ada Candi Prambanan yang merupakan candi Hindu terbesar, maka Candi Borobudur merupakan candi Budha terbesar di Indonesia bahkan dunia. Candi ini dibangun pada masa pemerintahan Raja Samaratungga dari Kerajaan Mataram Kuno sekitar abad ke-9. Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. 

4. Candi Muara Takus 

Sumber gambar: https://candi.perpusnas.go.id/

Tidak hanya ditemukan di tanah Jawa, candi bercorak Budha juga ditemukan di wilayah Sumatera. Terletak di Kabupaten Kampar, Provinsi Riau, candi ini merupakan peninggalan kerajaan Sriwijaya. Sama halnya dengan Candi Penataran, Candi Muara Takus juga dibangun menggunakan material bata merah. 

Selain keempat candi di atas, masih banyak candi-candi yang menarik untuk dikunjungi. Candi Gedong Songo yang bercorak Hindu, dan Candi Mendut yang bercorak Budha adalah beberapa di antaranya. Jadi, Sobat SMP bisa menikmati keindahan sekaligus menambah pengetahuan sejarah mengenai Hindu-Budha dengan bertandang ke salah satu candi tersebut, lho

Penulis: Pengelola Web Direktorat SMP

Referensi: Modul IPS SMP Terbuka Kelas VII Direktorat SMP

Senin, 29 Mei 2023

ID 0:00 / 2:48:55 SUDAH SAATNYA!!! UMAT BUDDHA MENGENAL TIPITAKA / KITAB SUCI AGAMA BUDDHA LEBIH MENDALAM...

 

 





 

SEJARAH MUNCUL DAN BERKEMBANGNYA TIPITAKA (Kitab Suci Agama Buddha) II Bhikkhu Santacitto BUDDHA DHAMMA INDONESIA 38,1 rb subscriber 5.143 x ditonton 9 Feb 2022 PADEPOKAN DHAMMADIPA ARAMA

Tipiṭaka Bagian dari seri tentang Agama Buddha Dharma Wheel.gif Sejarah dan Penyebaran Garis waktu • Sidang agung • Asia Tenggara • Asia Timur • Tibet • Asia Tengah • Indonesia • Dunia Barat Aliran Theravāda • Mahāyāna • Vajrāyāna • Sthaviravāda • Mahāsāṃghika Konsep Utama Tiga Permata • Ketuhanan • Lima Hukum Alam • Puasa • Saṃsāra • Tiga Corak Umum • Lima Agregat • Hukum Sebab Musabab • Tumimbal lahir • Alam Kehidupan • Karma • Kebajikan • Kesempurnaan • Sifat Luhur • Nirwana • Parinirwana Buddha Bodhisatta • Kebuddhaan • Dua puluh delapan Sammāsambuddha • Siddhartha Gautama • Keluarga Siddhartha Gautama • Daftar para Buddha Dhamma Kitab Suci Tripitaka • Sutta Piṭaka • Vinaya Piṭaka • Abhidhamma Piṭaka • Paritta • Empat Kebenaran Mulia • Jalan Utama Berunsur Delapan • Jalan Tengah • Etika Buddhis • Pañcasīla • Aṭṭhaṅgasīla • Meditasi • Kebijaksanaan Saṅgha Sāvaka • Umat Perumahtangga • Monastik • Aturan Monastik • Calon Biksu • Biksu • Biksuni • Sepuluh siswa utama • Empat tingkat pencerahan • Sotāpanna • Sakadāgāmi • Anāgāmi • Arahant Dharma Wheel.svgPortal Buddhisme l b s Tripiṭaka (bahasa Pali: Tipiṭaka; bahasa Sanskerta: Tripiṭaka) merupakan istilah yang digunakan oleh agama Buddha untuk menggambarkan berbagai naskah kanon mereka.[1] Sesuai dengan

 


 


 

makna istilah tersebut, Tripiṭaka pada mulanya mengandung makna "tiga keranjang" atau "tiga kelompok" pengajaran: Sūtra Piṭaka (Sanskrit; Pali: Sutta Pitaka), Vinaya Piṭaka (Sanskrit & Pali) dan Abhidharma Piṭaka (Sanskrit; Pali: Abhidhamma Piṭaka).

Sutta Pitaka berisi kotbah-kotbah Buddha selama 45 tahun membabarkan Dharma berjumlah 84.000 sutta. Vinaya Pitaka berisi peraturan Bhikkhu/ni, sedangkan Abhidhamma Pitaka berisi ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha.

Sejarah

Beberapa minggu setelah Sang Buddha wafat (483 SM) seorang Bhikkhu tua yang tidak disiplin bernama Subhaddha berkata : "Janganlah bersedih kawan-kawan, janganlah meratap, sekarang kita terbebas dari Pertapa Agung yang tidak akan lagi memberitahu kita apa yang sesuai untuk dilakukan dan apa yang tidak, yang membuat hidup kita menderita, tetapi sekarang kita dapat berbuat apa pun yang kita senangi dan tidak berbuat apa yang tidak kita senangi" (Vinaya Pitaka II,284). Maha Kassapa Thera setelah mendengar kata-kata itu memutuskan untuk mengadakan Pesamuhan Agung (Konsili) di Rajagaha.

Dengan bantuan Raja Ajatasattu dari Magadha, 500 orang Arahat berkumpul di Gua Sattapanni dekat Rajagaha untuk mengumpulkan ajaran Sang Buddha yang telah dibabarkan selama ini dan menyusunnya secara sistematis. Yang Ariya Ananda, siswa terdekat Sang Buddha, mendapat kehormatan untuk mengulang kembali khotbah-khotbah Sang Buddha dan Yang Ariya Upali mengulang Vinaya (peraturan-peraturan). Dalam Pesamuhan Agung Pertama inilah dikumpulkan seluruh ajaran yang kini dikenal sebagai Kitab Suci Tripiṭaka (Pali). Mereka yang mengikuti ajaran Sang Buddha seperti tersebut dalam Kitab Suci Tripiṭaka (Pali) disebut Pemeliharaan Kemurnian Ajaran sebagaimana sabda Sang Buddha yang terakhir: "Jadikanlah Dhamma dan Vinaya sebagai pelita dan pelindung bagi dirimu".

Pada mulanya Tripiṭaka (Pali) ini diwariskan secara lisan dari satu generasi ke genarasi berikutnya. Satu abad kemudian terdapat sekelompok Bhikkhu yang berniat hendak mengubah Vinaya. Menghadapi usaha ini, para Bhikkhu yang ingin mempertahankan Dhamma - Vinaya sebagaimana diwariskan oleh Sang Buddha Gotama menyelenggarakan Pesamuhan Agung Kedua dengan bantuan Raja Kalasoka di Vesali, di mana isi Kitab Suci Tripiṭaka (Pali) diucapkan ulang oleh 700 orang Arahat. Kelompok Bhikkhu yang memegang teguh kemurnian Dhamma - Vinaya ini menamakan diri Sthaviravada, yang kelak disebut Theravãda. Sedangkan kelompok Bhikkhu yang ingin mengubah Vinaya menamakan diri Mahasanghika, yang kelak berkembang menjadi mazhab Mahayana. Jadi, seabad setelah Sang Buddha Gotama wafat, Agama Buddha terbagi menjadi 2 mazhab besar Theravãda dan Mahayana.

Pesamuhan Agung Ketiga diadakan di Pataliputra (Patna) pada abad ketiga sesudah Sang Buddha wafat (249 SM) dengan pemerintahan di bawah Kaisar Asoka Wardhana. Kaisar ini memeluk Agama Buddha dan dengan pengaruhnya banyak membantu penyebarkan Dhamma ke suluruh wilayah kerajaan. Pada masa itu, ribuan gadungan (penyelundup ajaran gelap) masuk ke dalam Sangha dangan maksud meyebarkan ajaran-ajaran mereka sendiri untuk meyesatkan umat. Untuk mengakhiri keadaan ini, Kaisar menyelenggarakan Pesamuhan Agung dan membersihkan tubuh Sangha dari penyelundup-penyelundup serta merencanakan pengiriman para Duta Dhamma ke negeri-negeri lain.

Dalam Pesamuhan Agung Ketiga ini 100 orang Arahat mengulang kembali pembacaan Kitab Suci Tripiṭaka (Pali) selama sembilan bulan. Dari titik tolak Pesamuhan inilah Agama Buddha dapat tersebar ke suluruh penjuru dunia dan terhindar lenyap dari bumi asalnya.

Pesamuhan Agung keempat diadakan di Aluvihara (Srilanka) di bawah lindungan Raja Vattagamani Abhaya pada permulaan abad keenam sesudah Sang Buddha wafat (83 SM). Pada kesempatan itu Kitab Suci Tripiṭaka (Pali) dituliskan untuk pertama kalinya. Tujuan penulisan ini adalah agar semua orang mengetahui kemurnian Dhamma Vinaya.

Selanjutnya Pesamuhan Agung Kelima diadakan di Mandalay (Burma) pada permulaan abad 25 sesudah Sang Buddha wafat (1871) dengan bantuan Raja Mindon. Kejadian penting pada waktu itu adalah Kitab Suci Titpitaka (Pali) diprasastikan pada 727 buah lempengan marmer (batu pualam) dan diletakkan di bukit Mandalay.

Persamuan Agung keenam diadakan di Rangoon pada hari Visakha Puja tahun Buddhis 2498 dan berakhir pada tahun Buddhis 2500 (tahun Masehi 1956). Sejak saat itu penterjemahan Kitab Suci Tripiṭaka (Pali) dilakukan ke dalam beberapa bahasa Barat.

Sebagai tambahan pengetahuan dapat dikemukakan bahwa pada abad pertama sesudah Masehi, Raja Kaniska dari Afganistan mengadakan Pesamuhan Agung yang tidak dihadiri oleh kelompok Theravãda. Bertitik tolak pada Pesamuhan ini, Agama Buddha mazhab Mahayana berkembang di India dan kemudian meyebar ke negeri Tibet dan Tiongkok. Pada Pasamuan ini disepakati adanya kitab-kitab suci Buddhis dalam Bahasa Sanskerta dengan banyak tambahan sutra-sutra baru yang tidak terdapat dalam Kitab Suci Tripiṭaka (Pali).

Dengan demikian, Agama Buddha mazhab Theravãda dalam pertumbuhannya sejak pertama sampai sekarang, termasuk di Indonesia, tetap mendasarkan penghayatan dan pembabaran Dhamma - Vinaya pada kemurnian Kitab suci Tripiṭaka (Pali) sehingga dengan demikian tidak ada perbedaan dalam hal ajaran antara Theravãda di Indonesia dengan Theravada di Thailand, Srilanka, Burma maupun di negara-negara lain.

Sampai abad ketiga setelah Sang Buddha wafat mazhab Sthaviravada terpecah menjadi 18 sub mazhab, antara lain: Sarvastivada, Kasyapiya, Mahisasaka, Theravãda dan sebagainya. Pada dewasa ini 17 sub mazhab Sthaviravada itu telah lenyap. Yang masih berkembang sampai sekarang hanyalah mazhab Theravãda (ajaran para sesepuh). Dengan demikian nama Sthaviravada tidak ada lagi. Mazhab Theravãda inilah yang kini dianut oleh negara-negara Srilanka, Burma, Thailand, dan kemudian berkembang di Indonesia dan negara-negara lain.

Sidang Agung I (Konsili I)

Sidang Agung I diadakan pada tahun 543 SM (3 bulan setelah bulan Mei) dan berlangsung selama 2 bulan. Sidang ini dipimpin oleh YA. Maha Kassapa dan dihadiri oleh 500 orang Bhikkhu yang semuanya Arahat. Sidang diadakan di Goa Satapani di kota Rajagaha. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Ajatasatu.

Tujuan dari sidang pertama ini adalah untuk menghimpun ajaran Sang Buddha yang diajarkan kepada orang yang berlainan, di tempat yang berlainan dan dalam waktu yang berlainan. Mengulang Dhamma dan Vinaya agar ajaran Sang Buddha tetap murni, kuat, melebihi ajaran-ajaran lainnya. Y.A. Upali mengulang Vinaya dan Y.A. Ananda mengulang Dhamma.

Kesimpulan dari sidang pertama ini adalah Sangha tidak akan menetapkan hal-hal mana yang perlu dihapus dan hal-hal mana yang harus dilaksanakan, juga tidak akan menambah apa-apa yang telah ada. Mengadili Y.A. Ananda. Mengucilkan Chana. Agama Buddha masih utuh.

Sidang Agung II (Konsili II)

Sidang Agung II diadakan pada tahun 443 SM (100 tahun sesudah yang I) dan berlangsung selama 4 bulan. Dipimpin oleh YA. Revata dan dibantu oleh YA. Yasa serta dihadiri oleh 700 Bhikkhu. Sidang diadakan di Vesali. Sponsor sidang agung ini adalah Raja Kalasoka.

Sidang kedua ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha (Mahasanghika) menghendaki untuk memperlunak Vinaya yang sangat keras (tetapi gagal).

Dalam sidang kedua ini kesalahan-kesalahan Bhikkhu-Bhikkhu dari suku Vajjis yang melangggar pacittiya dibicarakan, diakui bahwa mereka telah melanggar Vinaya dan 700 Bhikkhu yang hadir menyatakan setuju. Pengulangan Vinaya dan Dhamma, yang dikenal dengan nama "Satta Sati" atau "Yasathera Sanghiti" karena Bhikkhu Yasa dianggap berjasa dalam bidang pemurnian Vinaya.

Sidang Agung III (Konsili III)

Diadakan pada tahun +/- 313 SM (230 tahun setelah sidang I). Dipimpin oleh Y.A. Tissa Moggaliputta. Sidang diadakan di Pataliputta. Sponsor Sidang Agung ini adalah Raja Asoka dari Suku Mauriya.

Tujuan sidang ini adalah untuk menertibkan perbedaan pendapat yang mengaktifkan perpecahan Sangha. Memeriksa dan menyempurnakan Kitab Suci Pali (memurnikan Ajaran Sang Buddha). Raja Asoka meminta agar para Bhikkhu mengadakan upacara Uposatha setiap bulan, agar Bhikkhu Sangha bersih dari oknum-oknum yang bermaksud tidak baik.

Sidang ini menghasilkan keputusan untuk menghukum Bhikkhu-Bhikkhu selebor. Ajaran Abhidhamma diulang tersendiri oleh Y.A. Maha Kassapa, sehingga lengkaplah pengertian Tripiṭaka (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Jadi pengertian Tripiṭaka mulai lengkap (timbul) pada Konsili III. Y.A. Tissa memilih 10.000 orang Bhikkhu Sangha yang benar-benar telah memahami Ajaran Sang Buddha untuk menghimpun Ajaran tersebut menjadi Tripiṭaka dan perhimpunan tersebut berlangsung selama 9 bulan.

Pada saat itu Sangha sudah terpecah dua, yaitu : Theravãda (Sthaviravada) dan Mahasanghika. Sementara itu ada ahli sejarah yang mengatakan bahwa pada Konsili III ini bukan merupakan konsili umum, tetapi hanya merupakan suatu konsili yang diadakan oleh Sthaviravada.

Sidang Agung IV (Konsili IV)

Diadakan pada masa pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya (tahun 101 - 77 SM). Dipimpin oleh Y.A. Rakhita Mahathera dan dihadiri oleh +/- 500 Bhikkhu. Sidang diadakan di Alu Vihara (Aloka Vihara) di Desa Matale.

Tujuan dari sidang keempat ini adalah mencari penyelesaian karena melihat terjadinya kemungkinan-kemungkinan yang mengancam Ajaran-ajaran dan kebudayaan-kebudayaan Agama Buddha oleh pihak-pihak lain.

Keputusan sidang ini adalah supaya Tripiṭaka disempurnakan komentar dan penjelasannya serta menuliskan Tripiṭaka dan komentarnya di atas daun lontar.

Konsili ini diakui sebagai konsili yang ke IV oleh sekte Theravãda.

Referensi


  1. "Buddhist Books and Texts: Canon and Canonization." Lewis Lancaster, Encyclopedia of Religion, 2nd edition, pg 1252

Lihat pula

Tripitaka: Sejarah dan Isinya Kompas.com - 08/02/2022, 09:00 WIB Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Lihat Foto Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka(Wikipedia Commons) Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Penulis Lukman Hadi Subroto | Editor Widya Lestari Ningsih KOMPAS.com



Kitab Tripitaka adalah sebuah naskah kuno yang berisi ajaran bagi pemeluk Agama Buddha. Kata Tripitaka berasal dari bahasa Sanskerta, tri yang berarti tiga, dan pitaka yang artinya keranjang. Sehingga arti Tripitaka adalah tiga keranjang.

Istilah "tiga keranjang" pada awalnya diartikan sebagai wadah manuskrip dari daun lontar yang berisi tiga Kanon Buddhis (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Dalam perkembangannya Tripitaka atau Tipitaka adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tiga bagian/wadah/himpunan Kitab Suci Agama Buddha.

Masing-masing aliran Buddhis awal kemungkinan memiliki versi Tripitaka sendiri. Kanon Pali, Kanon Buddhis Tiongkok, dan Kanon Buddhis Tibet adalah beberapa Tripitaka terpenting di dalam ajaran Buddha kontemporer. Baca juga: Kitab Weda: Sejarah, Bagian, Isi, dan Sifatnya Isi Tripitaka Isi dari Kitab Tripitaka mengandung tiga kelompok pengajaran, yaitu Vinaya Pitaka, Sutta atau Sutra Pitaka, dan Abhidharma Pitaka.

Berikut ini isi dari masing-masing tiga bagian dari Kitab Tripitaka. Vinaya Pitaka adalah bagian pertama Tripitaka yang berisi tentang peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni.

Sutra Pitaka berisi tentang khotbah-khotbah Buddha selama 45 tahun yang membabarkan Dharma sejumlah 84.000 ajaran. Abhidharma Pitaka berisi tentang ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha.

Baca juga: Masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara

Sejarah Tripitaka Awalnya, Tripitaka diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi yang lainnya. Namun, satu abad setelah Sang Buddha meninggal, terjadi perdebatan terkait Vinaya Pitaka. Dalam perdebatan tersebut disinggung apakah peraturan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka dapat diubah dan disesuaikan. Setelah melalui perdebatan panjang dan tidak menemui titik terang, diadakan sebuah Sidang Agung I pada 542 SM.

Sidang Agung ini berlangsung selama dua bulan. Tujuan utamanya adalah menghimpun ajaran Sang Buddha agar tetap murni dan kuat. Satu abad setelah Sidang Agung I, diadakan lagi Sidang Agung II pada 443 SM, yang berlangsung selama empat bulan. Sidang ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha ingin mengubah dan merevisi isi dari Vinaya Pitaka yang dinilai terlalu keras.

Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya Kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya Pitaka ini akhirnya menjadi aliran Mahayana.

Sedangkan para Bhikku yang memegang teguh kemurnian Vinaya Pitaka dinamakan Sthaviravada yang kelak disebut dengan aliran Theravada. Setelah Sidang Agung II terlaksana, ajaran Buddha kembali berjalan hingga 200 tahun lebih.

Kemudian, diadakan lagi Sidang Agung III yang diperkirakan berlangsung pada 313 SM. Sidang Agung III berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu, agama Buddha menyebar ke seluruh penjuru dunia.

Selang beberapa abad, Sidang Agung IV diadakan, tepatnya saat pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya dari Srilanka. Dalam Sidang Agung IV ini, untuk pertama kalinya Kitab Suci Tripitaka dituliskan ke dalam bahasa Pali. Pada 1956 atau Buddhis 2498, Kitab Tripitaka diterjemahkan dari bahasa Pali ke beberapa bahasa Barat.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tripitaka: Sejarah dan Isinya", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/08/090000579/tripitaka--sejarah-dan-isinya?page=all.
Penulis : Lukman Hadi Subroto
Editor : Widya Lestari Ningsih

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6




Tripitaka: Sejarah dan Isinya Kompas.com - 08/02/2022, 09:00 WIB Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Lihat Foto Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka(Wikipedia Commons) Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Penulis Lukman Hadi Subroto | Editor Widya Lestari Ningsih KOMPAS.com - Kitab Tripitaka adalah sebuah naskah kuno yang berisi ajaran bagi pemeluk Agama Buddha. Kata Tripitaka berasal dari bahasa Sanskerta, tri yang berarti tiga, dan pitaka yang artinya keranjang. Sehingga arti Tripitaka adalah tiga keranjang. Istilah "tiga keranjang" pada awalnya diartikan sebagai wadah manuskrip dari daun lontar yang berisi tiga Kanon Buddhis (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Dalam perkembangannya Tripitaka atau Tipitaka adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tiga bagian/wadah/himpunan Kitab Suci Agama Buddha. Masing-masing aliran Buddhis awal kemungkinan memiliki versi Tripitaka sendiri. Kanon Pali, Kanon Buddhis Tiongkok, dan Kanon Buddhis Tibet adalah beberapa Tripitaka terpenting di dalam ajaran Buddha kontemporer. Baca juga: Kitab Weda: Sejarah, Bagian, Isi, dan Sifatnya Isi Tripitaka Isi dari Kitab Tripitaka mengandung tiga kelompok pengajaran, yaitu Vinaya Pitaka, Sutta atau Sutra Pitaka, dan Abhidharma Pitaka. Berikut ini isi dari masing-masing tiga bagian dari Kitab Tripitaka. Vinaya Pitaka adalah bagian pertama Tripitaka yang berisi tentang peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Sutra Pitaka berisi tentang khotbah-khotbah Buddha selama 45 tahun yang membabarkan Dharma sejumlah 84.000 ajaran. Abhidharma Pitaka berisi tentang ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha. Baca juga: Masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara Sejarah Tripitaka Awalnya, Tripitaka diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi yang lainnya. Namun, satu abad setelah Sang Buddha meninggal, terjadi perdebatan terkait Vinaya Pitaka. Dalam perdebatan tersebut disinggung apakah peraturan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka dapat diubah dan disesuaikan. Setelah melalui perdebatan panjang dan tidak menemui titik terang, diadakan sebuah Sidang Agung I pada 542 SM. Sidang Agung ini berlangsung selama dua bulan. Tujuan utamanya adalah menghimpun ajaran Sang Buddha agar tetap murni dan kuat. Satu abad setelah Sidang Agung I, diadakan lagi Sidang Agung II pada 443 SM, yang berlangsung selama empat bulan. Sidang ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha ingin mengubah dan merevisi isi dari Vinaya Pitaka yang dinilai terlalu keras. Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya Kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya Pitaka ini akhirnya menjadi aliran Mahayana. Sedangkan para Bhikku yang memegang teguh kemurnian Vinaya Pitaka dinamakan Sthaviravada yang kelak disebut dengan aliran Theravada. Setelah Sidang Agung II terlaksana, ajaran Buddha kembali berjalan hingga 200 tahun lebih. Kemudian, diadakan lagi Sidang Agung III yang diperkirakan berlangsung pada 313 SM. Sidang Agung III berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu, agama Buddha menyebar ke seluruh penjuru dunia. Selang beberapa abad, Sidang Agung IV diadakan, tepatnya saat pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya dari Srilanka. Dalam Sidang Agung IV ini, untuk pertama kalinya Kitab Suci Tripitaka dituliskan ke dalam bahasa Pali. Pada 1956 atau Buddhis 2498, Kitab Tripitaka diterjemahkan dari bahasa Pali ke beberapa bahasa Barat.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tripitaka: Sejarah dan Isinya", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/08/090000579/tripitaka--sejarah-dan-isinya?page=all.
Penulis : Lukman Hadi Subroto
Editor : Widya Lestari Ningsih

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Tripitaka: Sejarah dan Isinya Kompas.com - 08/02/2022, 09:00 WIB Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Lihat Foto Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka(Wikipedia Commons) Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Penulis Lukman Hadi Subroto | Editor Widya Lestari Ningsih KOMPAS.com - Kitab Tripitaka adalah sebuah naskah kuno yang berisi ajaran bagi pemeluk Agama Buddha. Kata Tripitaka berasal dari bahasa Sanskerta, tri yang berarti tiga, dan pitaka yang artinya keranjang. Sehingga arti Tripitaka adalah tiga keranjang. Istilah "tiga keranjang" pada awalnya diartikan sebagai wadah manuskrip dari daun lontar yang berisi tiga Kanon Buddhis (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Dalam perkembangannya Tripitaka atau Tipitaka adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tiga bagian/wadah/himpunan Kitab Suci Agama Buddha. Masing-masing aliran Buddhis awal kemungkinan memiliki versi Tripitaka sendiri. Kanon Pali, Kanon Buddhis Tiongkok, dan Kanon Buddhis Tibet adalah beberapa Tripitaka terpenting di dalam ajaran Buddha kontemporer. Baca juga: Kitab Weda: Sejarah, Bagian, Isi, dan Sifatnya Isi Tripitaka Isi dari Kitab Tripitaka mengandung tiga kelompok pengajaran, yaitu Vinaya Pitaka, Sutta atau Sutra Pitaka, dan Abhidharma Pitaka. Berikut ini isi dari masing-masing tiga bagian dari Kitab Tripitaka. Vinaya Pitaka adalah bagian pertama Tripitaka yang berisi tentang peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Sutra Pitaka berisi tentang khotbah-khotbah Buddha selama 45 tahun yang membabarkan Dharma sejumlah 84.000 ajaran. Abhidharma Pitaka berisi tentang ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha. Baca juga: Masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara Sejarah Tripitaka Awalnya, Tripitaka diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi yang lainnya. Namun, satu abad setelah Sang Buddha meninggal, terjadi perdebatan terkait Vinaya Pitaka. Dalam perdebatan tersebut disinggung apakah peraturan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka dapat diubah dan disesuaikan. Setelah melalui perdebatan panjang dan tidak menemui titik terang, diadakan sebuah Sidang Agung I pada 542 SM. Sidang Agung ini berlangsung selama dua bulan. Tujuan utamanya adalah menghimpun ajaran Sang Buddha agar tetap murni dan kuat. Satu abad setelah Sidang Agung I, diadakan lagi Sidang Agung II pada 443 SM, yang berlangsung selama empat bulan. Sidang ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha ingin mengubah dan merevisi isi dari Vinaya Pitaka yang dinilai terlalu keras. Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya Kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya Pitaka ini akhirnya menjadi aliran Mahayana. Sedangkan para Bhikku yang memegang teguh kemurnian Vinaya Pitaka dinamakan Sthaviravada yang kelak disebut dengan aliran Theravada. Setelah Sidang Agung II terlaksana, ajaran Buddha kembali berjalan hingga 200 tahun lebih. Kemudian, diadakan lagi Sidang Agung III yang diperkirakan berlangsung pada 313 SM. Sidang Agung III berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu, agama Buddha menyebar ke seluruh penjuru dunia. Selang beberapa abad, Sidang Agung IV diadakan, tepatnya saat pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya dari Srilanka. Dalam Sidang Agung IV ini, untuk pertama kalinya Kitab Suci Tripitaka dituliskan ke dalam bahasa Pali. Pada 1956 atau Buddhis 2498, Kitab Tripitaka diterjemahkan dari bahasa Pali ke beberapa bahasa Barat.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tripitaka: Sejarah dan Isinya", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/08/090000579/tripitaka--sejarah-dan-isinya?page=all.
Penulis : Lukman Hadi Subroto
Editor : Widya Lestari Ningsih

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Tripitaka: Sejarah dan Isinya Kompas.com - 08/02/2022, 09:00 WIB Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Lihat Foto Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka(Wikipedia Commons) Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Penulis Lukman Hadi Subroto | Editor Widya Lestari Ningsih KOMPAS.com - Kitab Tripitaka adalah sebuah naskah kuno yang berisi ajaran bagi pemeluk Agama Buddha. Kata Tripitaka berasal dari bahasa Sanskerta, tri yang berarti tiga, dan pitaka yang artinya keranjang. Sehingga arti Tripitaka adalah tiga keranjang. Istilah "tiga keranjang" pada awalnya diartikan sebagai wadah manuskrip dari daun lontar yang berisi tiga Kanon Buddhis (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Dalam perkembangannya Tripitaka atau Tipitaka adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tiga bagian/wadah/himpunan Kitab Suci Agama Buddha. Masing-masing aliran Buddhis awal kemungkinan memiliki versi Tripitaka sendiri. Kanon Pali, Kanon Buddhis Tiongkok, dan Kanon Buddhis Tibet adalah beberapa Tripitaka terpenting di dalam ajaran Buddha kontemporer. Baca juga: Kitab Weda: Sejarah, Bagian, Isi, dan Sifatnya Isi Tripitaka Isi dari Kitab Tripitaka mengandung tiga kelompok pengajaran, yaitu Vinaya Pitaka, Sutta atau Sutra Pitaka, dan Abhidharma Pitaka. Berikut ini isi dari masing-masing tiga bagian dari Kitab Tripitaka. Vinaya Pitaka adalah bagian pertama Tripitaka yang berisi tentang peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Sutra Pitaka berisi tentang khotbah-khotbah Buddha selama 45 tahun yang membabarkan Dharma sejumlah 84.000 ajaran. Abhidharma Pitaka berisi tentang ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha. Baca juga: Masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara Sejarah Tripitaka Awalnya, Tripitaka diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi yang lainnya. Namun, satu abad setelah Sang Buddha meninggal, terjadi perdebatan terkait Vinaya Pitaka. Dalam perdebatan tersebut disinggung apakah peraturan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka dapat diubah dan disesuaikan. Setelah melalui perdebatan panjang dan tidak menemui titik terang, diadakan sebuah Sidang Agung I pada 542 SM. Sidang Agung ini berlangsung selama dua bulan. Tujuan utamanya adalah menghimpun ajaran Sang Buddha agar tetap murni dan kuat. Satu abad setelah Sidang Agung I, diadakan lagi Sidang Agung II pada 443 SM, yang berlangsung selama empat bulan. Sidang ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha ingin mengubah dan merevisi isi dari Vinaya Pitaka yang dinilai terlalu keras. Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya Kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya Pitaka ini akhirnya menjadi aliran Mahayana. Sedangkan para Bhikku yang memegang teguh kemurnian Vinaya Pitaka dinamakan Sthaviravada yang kelak disebut dengan aliran Theravada. Setelah Sidang Agung II terlaksana, ajaran Buddha kembali berjalan hingga 200 tahun lebih. Kemudian, diadakan lagi Sidang Agung III yang diperkirakan berlangsung pada 313 SM. Sidang Agung III berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu, agama Buddha menyebar ke seluruh penjuru dunia. Selang beberapa abad, Sidang Agung IV diadakan, tepatnya saat pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya dari Srilanka. Dalam Sidang Agung IV ini, untuk pertama kalinya Kitab Suci Tripitaka dituliskan ke dalam bahasa Pali. Pada 1956 atau Buddhis 2498, Kitab Tripitaka diterjemahkan dari bahasa Pali ke beberapa bahasa Barat. Referensi: Septianingrum, Anisa. (2017). Sejarah Peradaban Dunia Kuno Empat Benua. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tripitaka: Sejarah dan Isinya", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/08/090000579/tripitaka--sejarah-dan-isinya?page=all.
Penulis : Lukman Hadi Subroto
Editor : Widya Lestari Ningsih

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6
Tripitaka: Sejarah dan Isinya Kompas.com - 08/02/2022, 09:00 WIB Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Lihat Foto Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka(Wikipedia Commons) Kitab Suci Agama Buddha, Tripitaka Penulis Lukman Hadi Subroto | Editor Widya Lestari Ningsih KOMPAS.com - Kitab Tripitaka adalah sebuah naskah kuno yang berisi ajaran bagi pemeluk Agama Buddha. Kata Tripitaka berasal dari bahasa Sanskerta, tri yang berarti tiga, dan pitaka yang artinya keranjang. Sehingga arti Tripitaka adalah tiga keranjang. Istilah "tiga keranjang" pada awalnya diartikan sebagai wadah manuskrip dari daun lontar yang berisi tiga Kanon Buddhis (Vinaya, Sutta, dan Abhidhamma). Dalam perkembangannya Tripitaka atau Tipitaka adalah istilah yang digunakan untuk menyebut tiga bagian/wadah/himpunan Kitab Suci Agama Buddha. Masing-masing aliran Buddhis awal kemungkinan memiliki versi Tripitaka sendiri. Kanon Pali, Kanon Buddhis Tiongkok, dan Kanon Buddhis Tibet adalah beberapa Tripitaka terpenting di dalam ajaran Buddha kontemporer. Baca juga: Kitab Weda: Sejarah, Bagian, Isi, dan Sifatnya Isi Tripitaka Isi dari Kitab Tripitaka mengandung tiga kelompok pengajaran, yaitu Vinaya Pitaka, Sutta atau Sutra Pitaka, dan Abhidharma Pitaka. Berikut ini isi dari masing-masing tiga bagian dari Kitab Tripitaka. Vinaya Pitaka adalah bagian pertama Tripitaka yang berisi tentang peraturan-peraturan bagi para Bhikkhu dan Bhikkhuni. Sutra Pitaka berisi tentang khotbah-khotbah Buddha selama 45 tahun yang membabarkan Dharma sejumlah 84.000 ajaran. Abhidharma Pitaka berisi tentang ilmu filsafat dan metafisika Agama Buddha. Baca juga: Masuknya Hindu-Buddha ke Nusantara Sejarah Tripitaka Awalnya, Tripitaka diwariskan secara lisan dari generasi ke generasi yang lainnya. Namun, satu abad setelah Sang Buddha meninggal, terjadi perdebatan terkait Vinaya Pitaka. Dalam perdebatan tersebut disinggung apakah peraturan yang terdapat dalam Vinaya Pitaka dapat diubah dan disesuaikan. Setelah melalui perdebatan panjang dan tidak menemui titik terang, diadakan sebuah Sidang Agung I pada 542 SM. Sidang Agung ini berlangsung selama dua bulan. Tujuan utamanya adalah menghimpun ajaran Sang Buddha agar tetap murni dan kuat. Satu abad setelah Sidang Agung I, diadakan lagi Sidang Agung II pada 443 SM, yang berlangsung selama empat bulan. Sidang ini diadakan karena sekelompok Bhikkhu Sangha ingin mengubah dan merevisi isi dari Vinaya Pitaka yang dinilai terlalu keras. Baca juga: I-Tsing, Biksu China yang Memperdalam Agama Buddha di Sriwijaya Kelompok Bhikku yang ingin mengubah Vinaya Pitaka ini akhirnya menjadi aliran Mahayana. Sedangkan para Bhikku yang memegang teguh kemurnian Vinaya Pitaka dinamakan Sthaviravada yang kelak disebut dengan aliran Theravada. Setelah Sidang Agung II terlaksana, ajaran Buddha kembali berjalan hingga 200 tahun lebih. Kemudian, diadakan lagi Sidang Agung III yang diperkirakan berlangsung pada 313 SM. Sidang Agung III berlangsung selama sembilan bulan. Setelah itu, agama Buddha menyebar ke seluruh penjuru dunia. Selang beberapa abad, Sidang Agung IV diadakan, tepatnya saat pemerintahan Raja Vattagamani Abhaya dari Srilanka. Dalam Sidang Agung IV ini, untuk pertama kalinya Kitab Suci Tripitaka dituliskan ke dalam bahasa Pali. Pada 1956 atau Buddhis 2498, Kitab Tripitaka diterjemahkan dari bahasa Pali ke beberapa bahasa Barat. Referensi: Septianingrum, Anisa. (2017). Sejarah Peradaban Dunia Kuno Empat Benua. Yogyakarta: Anak Hebat Indonesia.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Tripitaka: Sejarah dan Isinya", Klik untuk baca: https://www.kompas.com/stori/read/2022/02/08/090000579/tripitaka--sejarah-dan-isinya?page=all.
Penulis : Lukman Hadi Subroto
Editor : Widya Lestari Ningsih

Kompascom+ baca berita tanpa iklan: https://kmp.im/plus6
Download aplikasi: https://kmp.im/app6

Bhikkhu Santacitto Home >> Blog >> Sangha Theravada Indonesia >> Bhikkhu Santacitto

 

 



PENAHBISAN SÃMANERA (PABBAJJÃ)
 
Nama penahbisan: Sentot Santacitto
Tempat penahbisan : Padepokan Dhammadipa Arama, Batu
Tanggal penahbisan : 27 November 2000
Nama penahbis
(Upajjhãya)
: Bhikkhu Sukhemo Mahāthera



PENAHBISAN BHIKKHU (UPASAMPADÃ)

Nama penahbisan : Bhikkhu Santacitto
Tempat penahbisan : Padepokan Dhammadipa Arama, Batu
Tanggal penahbisan : 11 Januari 2015 pukul 08:57:58 WIB
Nama penahbis (Upajjhãya) : Y.M. Sukhemo Mahathera
Domisili : Vihâra Jakarta Dhammacakka Jaya
Jl. Agung Permai XV Blok C No. 12
Sunter Agung Podomoro
Jakarta Utara 14350
Telp : (021) 6414 304, 64716 739
Fax :  (021) 6450 206



 

 

TUDONG BHANTE2 THAILAND TRADISI BUDDHA GOTAMA KETIKA MSH HIDUP. BHANTE2 THAI SAMPAI DI UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG (UNNES)-Hari ke 2, Senin 29 Mei 2023 Perjalanan Biksu Thailand di Kota Semarang, Jawa Tengah. Perjalanan Biksu Thailand di Kota Semarang,Jawa Tengah-Rute Gunungpati SemarangMengenal Thudong, Ritual Jalan Kaki Biksu dari Thailand ke Borobudur-pada 23 Maret 2023 dan selasai di Candi Borobudur. Detik2 Menuju Borobudur Kisah 32 Biksu Menuju Ambarawa-JAWA TENGAH.

 

 

 

32 biksu thudong yang melakukan ritual jalan kaki menuju candi borobudur kini akan meninggalkan kota semarang jawa tengah, mereka 32 biksu thudong dijadwalkan akan sampai di magelang pada selasa 30/05/2022 kini mereka baru sampai di ambarawa jawa tengah, saksikan kisah mereka selama meninggalkan kota semarang dengan perjalanan yang tidak mudah, karena harus naik dan turun bukit menuju sebuah vihara tertua di banyumanik jawa tengah


Sebanyak 32 bhante atau biksu melakukan tradisi Thudong atau perjalanan dari Thailand menuju Candi Borobudur, Kabupaten Magelang. Perjalanan ini untuk menyambut Waisak yang jatuh pada Minggu, 4 Juni 2023 mendatang. Lantas, apa itu tradisi Thudong?

Sekelompok biksu yang berjalan kaki ini terdiri dari 27 biksu asal Thailand, empat biksu dari Malaysia, dan satu biksu dari Indonesia. Tradisi Thudong ini diawali dari Nakhon Si Thammarat, Thailand, pada 23 Maret 2023 dan selasai di Candi Borobudur.

Direktur Jenderal (Dirjen) Bimbingan Masyarakat (Bimas) Buddha Supriyadi menjelaskan bahwa para biksu tersebut melaksanakan ritual thudong. Thudong adalah perjalanan spiritual atau religi yang dilakukan untuk mengikuti jejak Buddha pada zaman kehidupannya karena saat itu belum ada wihara atau transportasi," jelasnya kepada Kompas.com, Minggu (14/5/2023).

Oh, Begitu-31.193 x ditonton  16 Mei 2023  #Thudong #Biksu #OhBegitu

Simak selengkapnya dalam video berikut.









Ashin Kheminda Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Ashin Kheminda


  1.  
    Bhante Kheminda.jpg
    Lahir:
     
    1/12/1967
    Indonesia Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
    PekerjaanBhikkhu
    OrganisasiDhammavihārī Buddhist Studies
                    1/12/1967
    Indonesia Semarang, Jawa Tengah, Indonesia
    PekerjaanBhikkhu
    OrganisasiDhammavihārī Buddhist Studies

    Ashin Kheminda atau Bhante Kheminda adalah seorang bhikkhu kelahiran Indonesia yang dikenal karena aktivitasnya dalam menyebarkan agama Buddha serta pembelajaran Abhidhamma-nya yang berjudul Abhidhamma Made Easy.[1] Ia mengajar Abhidhamma secara terstruktur, sistematis, dan akademis. Gelar Ashin berasal dari bahasa Myanmar yang artinya adalah Bhante.[2]

    Ashin Kheminda adalah pelopor kebangkitan Abhidhamma di Indonesia yang pertama kali memperkenalkan perayaan Hari Abhidhamma di Indonesia, yakni peringatan Buddha Gotama selesai mengajarkan Abhidhamma di Surga Tavatimsa. Kegiatan Hari Abhidhamma ini pertama kali berlangsung pada tahun 2012 di Jakarta.

    Biografi

    Latar belakang

    Ashin Kheminda dilahirkan di Semarang pada tahun 1967. Meskipun awalnya bukan seorang Buddhis, karena sifat “pemberontak”nya serta tidak menyukai keterikatan, ia mulai tertarik dengan berbagai ajaran spiritual sejak masih muda. Jiwa pemberontaknya mulai berkembang sejak ia duduk di bangku SMA Kolese Loyola. Pada saat itu, ia untuk pertama kalinya bersinggungan secara dekat dengan agama lain. Sifat fanatik yang menganggap agama sendiri yang paling baik berangsur-angsur lenyap setelah ia melihat bahwa agama yang lainpun menawarkan banyak kebaikan. Ketertarikan untuk mempelajari agama dan ajaran spiritual yang lain terus berlanjut sampai pada saat ia kuliah di Fakultas Teknik Sipil Universitas Diponegoro, Semarang. Pada masa-masa tersebut ia sudah tidak percaya lagi bahwa ada satu agama yang lebih baik dari agama-agama yang lain.

    Pada satu masa di dalam kehidupannya, ia mulai merasakan bahwa kehidupan ini sangat tidak memuaskan. Hal ini membuatnya mencari jalan keluar yang tidak biasa yaitu mulai menekuni meditasi. Ia aktif menjadi anggota beberapa kelompok spiritual Kejawen. Dari aliran-aliran inilah ia akhirnya sangat akrab dengan berbagai macam laku pertapaan. Selama bertahun-tahun ia menjalani praktik pertapaan di hutan-hutan bahkan juga di makam-makam yang dikenal angker di pulau Jawa.[2]

    Perkenalan dengan Buddhisme

    Pertemuannya dengan ajaran Buddha terjadi pada saat Dia bertapa di Alas (Hutan) Ketonggo, Paron, Ngawi. Disana, secara tidak sengaja, Dia bertemu dengan guru Buddhisnya yang pertama yang kemudian mengajarkannya meditasi dengan menggunakan objek kasina api sampai akhirnya Dia mengalami pengalaman, kebahagiaan dan kedamaian yang tidak pernah dirasakannya sebelumnya.[1] Di Alas Ketonggo, Ashin Kheminda menekuni meditasinya dan di saat senggang Dia membaca semua buku meditasi dari Ajahn Chah hingga timbul niatan untuk berguru langsung kepadanya di Thailand. Namun, ia tidak berjodoh dengan Ajahn Chah karena ia telah wafat saat Ashin Kheminda tiba di Wat PahNanachat, Thailand.[1]

    Pendalaman akademis

    Dia kemudian berkeliling di pusat-pusat meditasi, melanjutkan perjalanannya ke Dharamsala, India, hingga akhirnya seorang kenalannya yang berkebangsaan Prancis memberitahunya bahwa Myanmar merupakan tempat para guru meditasi. Ashin Kheminda selanjutnya segera berangkat ke sana. Setiba di Myanmar, Ashin Kheminda memutuskan untuk menjadi bhikkhu. Ia belajar meditasi selama lebih dari setahun di Mahasi Sasana Yeikhta, Yangon, Myanmar, kemudian ditabhiskan oleh Sayadaw Jatila Mahathera pada tahun 2004. Selama disana Dia juga mendalami meditasi dari tradisi-tradisi yang lain. Ashin Kheminda kemudian mengambil gelar Bachelor di ITBMU (The International Theravãda Buddhist Missionary University) of Yangon dan memperoleh medali emas sebagai lulusan terbaik.[2] Selama mendalami ajaran Buddha di Myanmar, Dia juga mengajar Abhidhamma kepada teman-temannya, para bhikkhu, bhikkhuni dan sayalay.

    Misi Misionaris

    Setelah menyelesaikan pendidikan dasar monastik di Myanmar, Ashin Kheminda berencana pulang ke Indonesia, tetapi sebuah wihara di Singapura mengundangnya untuk tinggal dan mengajar Abhidhamma di sana. Ia mengajar Abhidhamma dan meditasi di Singapura dari Juli 2008 sampai Desember 2010, dan sempat menyelesaikan pendidikan S2 nya di The Graduate School of Buddhist Studies di Singapura.[1]

    Kembali ke Indonesia

    Ashin Kheminda menyadari kurangnya pemahaman and implementasi Tipiṭaka di Indonesia dan oleh karena itulah dia memutuskan untuk kembali ke Indonesia dan mengabdikan diri untuk perkembangan Buddhisme melalui jalur pendidikan Buddhis yang mengacu kepada Tipiṭaka. .[1]

    Pandangan terhadap Kebangkitan Bhikkhuni Theravada

    Pada tanggal 21 Juni 2015, untuk pertama kalinya dilaksanakan Penahbisan Bhikkhuni Theravada di Maribaya, Lembang. Pada acara yang dihadiri Sangha dalam dan luar negeri tersebut, Ashin Kheminda menyampaikan dukungannya atas kebangkitan Sangha Bhikkhuni Theravada dengan argumen Vinaya Pitaka dan Kitab Komentar. Dia juga menekankan pentingnya pariyatti (menguasai Tripitaka dan Kitab Komentar) dan patipatti (melatih sila, samadhi dan panna) sebagai landasan menjadi anggota Sangha yang baik dan demi tegaknya Buddha Sasana[3]

    Kegiatan

    Abhidhamma Made Easy

    “Abhidhamma Made Easy” yang diselenggarakan di berbagai kota besar di Indonesia selalu dipenuhi pendengar. Bahkan jumlah pengunjung yang hadir selama 10 hari semakin bertambah karena Ashin Kheminda memberikan contoh dan perumpamaan dalam penjelasannya sehingga menghidupkan suasana workshop. Ciri khas Ashin Kheminda adalah mampu mengemas penyampaian Dhamma dengan interaktif, penuh humor, dan menyita emosi[4] Penyajian cerita dan poin yang disampaikan juga ringan dan mudah dimengerti karena disampaikan dengan bahasa yang sederhana dan lugas. Sesekali terlontar kalimat yang disambut gelak tawa atau air mata peserta yang hadir. Ia berhasil mengubah citra Abhidhamma menjadi satu ajaran yang mudah dan bisa dinikmati[1]

    Prasadha Jinarakkhita Buddhist Institute

    Pada 18 Januari 2012, Ashin Kheminda mendirikan PJBI (Prasadha Jinarakkhita Buddhist Institute), yaitu pusat pendidikan Buddhist yang terstruktur dan menggunakan kurikulum yang diadopsi dari Taiwan, Srilanka dan Singapura[5]

    PJBI menawarkan berbagai program sebagai berikut:

    1. Institut Abhidhamma Indonesia (IABHI) menawarkan program belajar Abhidhamma yang terstruktur dan akademis. Materi pembelajaran disampaikan oleh Ashin Kheminda dan guru-guru Abhidhamma dari dalam dan luar negri.
    2. Prasadha Jinarakkhita Buddhist Studies (PJBS), adalah kelas belajar Dhamma terstruktur untuk semua anak-anak dari umur 3 tahun ke atas, tanpa dipungut biaya. Kelas-kelas yang ditawarkan adalah kelas anak dan remaja usia 3-18 tahun dan kelas Pariyatti Sasana untuk usia 18 tahun ke atas.
    3. Prasadha Jinarakkhita Buddhist Community (PJBC) adalah komunitas Buddhis yang menyatukan umat dan simpatisan Buddhis dari berbagai ragam usia dan latar belakang sosial budaya untuk secara aktif melakukan kegiatan kemanusiaan yang merupakan pengejawantahan esensi ajaran Buddha. Contoh aktivitas rutin mingguannya adalah Patipatti Sasana: wadah untuk belajar dan berlatih meditasi di bawah bimbingan Ashin Kheminda.

    Dhammavihārī Buddhist Studies

    Pada tanggal 1 Oktober 2015, Ashin Kheminda mendirikan Dhammavihārı̄ Buddhist Studies (DBS) sekaligus sebagai spiritual patrón. DBS berlokasi di Cengkareng, Jakarta Barat, Indonesia di mana tempat ini menjadi sebuah Pusat Pendidikan Buddhis terpadu yang oleh Ashin Kheminda sebut sebagai “a-One-Stop Dhamma-House”. DBS menawarkan program-program pendidikan Buddhis secara terstruktur yang berkonsentrasi pada pengajaran Tipiṭaka dan kitab-kitab komentarnya seperti kelas Abhidhamma, meditasi, Pariyatti Sāsana (kelas Sutta Piṭaka) untuk dewasa dan kelas Dhammānusārī (Sekolah Minggu) untuk anak-anak dan remaja, serta program Pabbajjā yang diadakan setiap tahun.

    Kelas Abhidhamma yang terstruktur, sistematis dan akademis serta berpedoman pada kitab induk dan kitab-kitab komentarnya menjadi ciri khas DBS sekaligus menjadi pelopor perkembangan pembelajaran Abhidhamma di Indonesia. Kelas Pariyatti Sāsana adalah pembelajaran Sutta Piṭaka yang berpedoman padaTipiṭaka dan kitab-kitab komentarnya. Kelas-kelas tersebut dibimbing langsung oleh Ashin Kheminda dan secara rutin ditayangkan di kanal Youtube Dhammavihari Buddhist Studies agar memudahkan akses dan penyebaran Dhamma.

    Sekolah Minggu Dhammānusārī menekankan pada pengembangan perilaku dan spiritual dengan mengajarkan Dhamma sebagai media untuk memupuk kualias batin yang positif seperti cinta-kasih dan kewelas-asihan pada anak-anak dan remaja.

    Disamping program-program belajar di atas, DBS juga menyediakan kelas meditasi setiap hari Sabtu dan secara berkala mengadakan retret meditasi atau pabbajjā di setiap akhir tahunnya sebagai wahana untuk berlatih dan praktik Paṭipāṭi.

    DBS memiliki perpustakaan dengan koleksi buku cukup lengkap, mulai dari Sutta, Abhidhamma, Vinaya, meditasi, buku anak-anak hingga dewasa yang menjadi prasarana pendukung bagi mereka yang ingin belajar Dhamma. DBS pun telah menerbitkan banyak buku-buku karya Ashin Kheminda, buku-buku untuk anak dan remaja serta buku-buku Buddhis terjemahan berkualitas lainnya.

    Dengan adanya kelas-kelas Dhamma yang sesuai dengan kitab suci, program pabbajjā, penerbitkan buku-buku Dhamma, DBS berharap Buddha Sāsanā akan lebih berkembang dan kokoh di Nusantara.

    The 7th Buddhist Global Conference

    Ashin Kheminda juga didapuk sebagai salah satu keynote speaker di 7th Buddhist Global Conference yang diadakan Jakarta pada 10 – 11 Desember 2011. Acara tersebut juga menghadirkan pembicara Buddhist kelas dunia seperti Ajahn Brahmavamso, Ringu Tulku Rinpoche, Ven. Master Guo Jun Fashi, Ven. Hueiguang, dll.[6]

    Buddhist Festival 2013

    Bhikkhu Kheminda menjadi salah satu pembicara dalam acara Buddhist Festival 2013 yang berlangsung di Surabaya. Dhammadesana yang ia bawakan berjudul "Manajemen Karma: Bagaimana Menata Karma Untuk Kehidupan Lebih Baik".[7]

    Nissaya Translation Project

    Demi stabilitas dan kelestarian Sāsana (Ajaran Buddha) di Nusantara, pada Maret 2021 Ashin Kheminda pertama kali secara resmi menyatakan kepada publik mulainya "Nissaya Translation Project" yang ditandai dengan peluncuran buku Gahapativagga, bagian dari Majjhima Nikāya. Proyek ini adalah proyek penerjemahan kitab Pāḷi kanon (Tipiṭaka), Komentar (Aṭṭhakathā) dan Subkomentar (ṭīkā) langsung dari Bahasa Pāḷi ke dalam Bahasa Indonesia yang dipimpin langsung oleh Ashin Kheminda sendiri. Ibarat sebuah pohon Bodhi yang kukuh karena ditopang oleh akar yang kuat, maka Sāsana ini pun harus ditopang oleh kitab-kitab tersebut supaya kuat.[8]

    Abhidhamma Exam

    Setelah sukses mengajarkan Abhidhamma di Indonesia dan menerjemahkan serta menerbitkan buku-buku manual Abhidhamma (Abhidhammatthasaṅgaha) dan komentarnya, Ashin Kheminda terus berpikir untuk membuat pengajaran Abhidhamma ini memiliki standar dan term yang sama di Indonesia. Di Myanmar semua guru yang mengajar Sutta maupun Abhidhamma harus lulus ujian negara dengan kualifikasi tertentu. Di dalam Dhammasaṅgaṇī Aṭṭhakathā tertulis, “Hanya para bhikkhu yang sudah paham Abhidhamma yang sesungguhnya dinamakan pembabar-pembabar Dhamma, dari sisanya walaupun sedang membicarakan pembahasan Dhamma tidak disebut sebagai pembabar-pembabar Dhamma”. Menyadari pentingnya hal tersebut, Ashin Kheminda sangat menginginkan guru-guru Abhidhamma di Indonesia juga memiliki standar kompetensi dan pemahaman serta buku pegangan yang sama yaitu Abhidhammatthasaṅgaha yang ditulis oleh Acariya Anuruddha seorang bhikkhu yang diyakini berasal dari India Selatan yang hidup di abad kelima. Untuk menetapkan standar kompentensi diperlukan adanya ujian kualifikasi guru Abhidhamma. Sehingga, saat para guru mengajar Abhidhamma semua murid terlepas siapa guru yang mengajarkannya selama mereka telah lulus ujian Abhidhamma, pemahaman mereka akan sama. Untuk itu beliau mengusahakan agar ujian Abhidhamma dapat diadakan.

    Usaha tidak kenal lelah pun diusakan agar DBS dapat diizinkan oleh The State Saṃgha Mahā Nayaka Committee — Kementrian Agama & Kebudayaan Myanmar, menjadi penyelenggara ujian Abhidhamma sesuai standard ujian Abhidhamma di Myanmar. Izin ini pun akhirnya diperoleh di tahun 2020, dan karena situasi pandemi ujian di tahun 2020 ditiadakan, baru di tahun 2021 dapat diadakan, Indonesia melalui DBS adalah satu dari sedikit negara dan atau lembaga yang diizinkan untuk menyelenggarakan ujian Abhidhamma berbahasa Inggris di luar Myanmar, dengan supervisi ketat dari Kedutaan Myanmar.

    Pada Jum'at 24 Desember 2021 sebanyak 25 peserta sangat antusias mengikuti ujian Abhidhamma skala internasional perdana yang diadakan di Indonesia. Dari 25 peserta yang mengikuti ujian Abhidhamma 96% lulus, prestasi luar biasa! Ashin Kheminda sangat mengapresiasi kerja keras para peserta. “Perjuangan sejak tahun 2011, yang dimulai dengan kelas Abhidhamma Made Easy, telah menunjukkan hasil yang menggembirakan. Sādhu ... sādhu ... sadhu,” demikian ungkapan kegembiraan Ashin Kheminda saat mengetahui angka kelulusan yang begitu tinggi.

    Selanjutnya Ashin Kheminda pun sedang memperjuangkan untuk dapat mengadakan ujian Abhidhamma berbahasa Indonesia berskala nasional yang diakui oleh Pemerintah Indonesia, bekerja sama dengan Ditjen Bimas Agama Buddha Kementrian Agama Republik Indonesia, sehingga lebih banyak yang dapat mengikuti ujian tanpa terkendala bahasa. Semoga dapat segera terwujud, dan Buddha Sāsana pun semakin kukuh di Bumi Nusantara. Buddhasāsanaṃ Ciraṃ Tiṃthatu! Semoga Ajaran Buddha Bertahan Lama!

    Karya

    Buku[9]

    • Manual Abhidhamma Bab 1: Kesadaran (2016) [3]
    • Manual Abhidhamma Bab 2: Faktor-Faktor Mental (2016) [4]
    • Manual Abhidhamma Bab 3: Serbaneka (2017)[5]
    • Sejarah Abhidhamma (2017)[6]
    • Kamma – Pusaran Kelahiran & Kematian Tanpa Awal (2018)[7]
    • Kompilasi Ceramah tentang Suttanta: Penjelasan Suttanta 1 (2018)[8]
    • Manual Abhidhamma Bab 4: Proses Kognitif (2018) [9]
    • Manual Abhidhamma Bab 5: Terbebas dari Proses (2018)[10]
    • Manual Abhidhamma Bab 6: Materi (2019)[11]
    • Penjelasan Suttanta 2 (2019)[12]
    • Penjelasan Suttanta 3: Mahāsatipaṭṭhāna Sutta (2019)[13]
    • Penjelasan Suttanta 4 (2020)[14]
    • Manual Abhidhamma Bab 7 Vol.1: Kategori-Kategori (2020)[15]
    • Manual Abhidhamma Bab 7 Vol.2: Kategori-Kategori (2020)[16]
    • Manual Abhidhamma Bab 8: Kondisi-Kondisi (2021)[17]
    • Majjhima Nikāya - Gahapativagga: Kelompok Diskursus Berkenaan dengan Para Penghuni Rumah (2021) [18]
    • Majjhima Nikāya - Bhikkhuvagga: Kelompok Diskursus untuk Para Rahib Laki-Laki (2021)[19]
    • Majjhima Nikāya - Paribbājakavagga: Kelompok Diskursus untuk Para Pengembara Fakir (2022) [20]
    • Majjhima Nikāya - Mūlapariyāyasutta: Kelompok Diskursus tentang Akar (2022)

    Referensi


  2. Bodhi Buddhist Centre Indonesia. 24 Mei 2012. Abhidhamma Made Easy Bersama Ashin Kheminda Diarsipkan 2015-04-08 di Wayback Machine..

  3. Harpin. Penyebar Dharma - Ashin Kheminda - Mengenal Ajaran Buddha di Hutan Diarsipkan 2012-06-28 di Wayback Machine.. Sumber: Majalah Mamit 8, Tahun 2012.

  4. Blog Habis Gelap Terbitlah Terang [1].

  5. http://dharmawatychang.blogspot.com/2012/02/dhammatalk-rilis-ym-ashin-kheminda.html

  6. Official Website of Prasadha Jinarakkhita Buddhist Institute [2] Diarsipkan 2015-09-26 di Wayback Machine..

  7. Buddhist Channel. http://www.buddhistchannel.tv/index.php?id=58,10464,0,0,1,0#.UsklBPQW01I

  8. Buddhist Festival 2013. Dhamma Talkshow Diarsipkan 2013-10-31 di Wayback Machine..

  9. "Nissaya Translation Project". Website Dhammavihari Buddhist Studies.

  10. "eBook Ashin Kheminda". Google Play Books.
  11.  
  12.  
  13.