Minggu, 30 Januari 2022

GONG XI FA CAI-SELAMAT TAHUN BARU IMLEK 2573/ 2022. SHIO MACAN AIR-2573/ 2022. MOHON MAAF LAHIR & BATIN, KPD RAKYAT INDO N WARGA DUNIA.

 























HARAPAN KITA DAN IMPIAN SEMUA ORANG DI DUNIA TAHUN BARU INI SHIO MACAN AIR-2573/ 2022:

“ SEMOGA KITA MAKIN JAYA, MAKIN MAKMUR, MAKIN HEPI (BAHAGIA), SELALU SEHAT DAN SEJAHTERA.

DAN SEMOGA KITA DIJAUHKAN DARI SEGALA MARABAHAYA, CELAKA, MUSIBAH DAN BENCANA SERTA SAKIT. SEMOGA SEMUA MAKHLUK HIDUP BAHAGIA SELALU “

SIN-CIA DI SEBUT PERGANTIAN MUSIM DINGIN KE MUSIM SEMI.

Tanggal 1 Febuari 2022 menurut kalender China/ Yin Li mengacu pada peredaran Rembulan terhadap Bumi mulai masuk ke Periode Tahun Baru 2573. Hitungan tahun ini (2573) berdasarkan hitungan kelahiran Filsuf terkenal di dunia yaitu Khong Fu Cu atau Confucius.

Sebagian besar masyarakat China meyakini bahwa hari Perayaan Tahun Baru tersebut bersamaan dengan pergantian Simbol Tahun/ Shio, Shio Macan/ Hariamau. Saat Tahun Baru tiba, otomatis periode Astrologi Shio akan berganti corak dan warna yg memengaruhi kehidupan tiap orang.

Namun, penjabaran yg sdh terlanjur menyebar ini ternyata ‘Salah Kaprah’, krn menurut Astrologi China Purba, pergantian Simbol Shio hrs dihitung berdasarkan konsep berakhirnya musim Dingin ke musim Semi, atau periode Li Chun. Konsep ini lbh dpt dipertanggung jawabkan, sebab Siklus Matahari terhadap Bumi tdk menggunakan Konsep Rembulan.

Jadi, sebenarnya waktu pergantian Shio tiap tahunnya jatuh diantara tanggal 4 atau 5 Februari dari Penanggalan Masehi. Tahun ini Jatuh pada tanggal 4 Februari 2022, pukul 18.40. Maka, kelahiran sebelum waktu tsb tetap msh Shio K
erbau.

Konsep ini menggunakan cara hitungan Li Chun yg dianggap lbh mendekati aslinya, atau lbh tepat analisisnya.


Sumber; Almanak Feng Shui.

 

 

 


Selasa, 18 Januari 2022

Jangan telan mentah" yang satu ini gan!!! Jangan telan mentah2 & quot; yang satu ini gan!!! Kata ehipassiko berasal dari kata ehipassika yang terdiri dari 3 suku kata yaitu ehi, passa dan ika. Secara harafiah ”ehipassika” berarti datang dan lihat. Ehipassikadhamma merupakan sebuah undangan kepada siapa saja untuk datang, melihat serta membuktikan sendiri kebenaran yang ada dalam Dhamma.







Istilah ehipassiko ini tercantum dalam Dhammanussati (Perenungan Terhadap Dhamma) yang berisi tentang sifat-sifat Dhamma. Guru Buddha mengajarkan untuk menerapkan sikap ehipassiko di dalam menerima ajaranNya. Guru Buddha mengajarkan untuk ”datang dan buktikan” ajaranNya, bukan ”datang dan percaya”. Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.


Salah satu sikap dari Guru Buddha yang mengajarkan ehipassiko dan memberikan
kebebasan berpikir dalam menerima suatu ajaran terdapat dalam perbincangan antara Guru Buddha dengan suku Kalama berikut ini:

"Wahai, suku Kalama. Jangan begitu saja mengikuti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kata orang, koleksi kitab suci, penalaran logis, penalaran lewat kesimpulan, perenungan tentang alasan, penerimaan pandangan setelah mempertimbangkannya, pembicara yang kelihatannya meyakinkan, atau karena kalian berpikir, `Petapa itu adalah guru kami. `Tetapi setelah kalian mengetahui sendiri, `Hal-hal ini adalah bermanfaat, hal-hal ini tidak tercela; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika
dilaksanakan dan dipraktekkan, menujukesejahteraan dan kebahagiaan`, maka sudah selayaknya kalian menerimanya.”

(Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 3.65)

Sikap awal untuk tidak percaya begitu saja dengan mempertanyakan apakah suatu ajaran itu adalah bermanfaat atau tidak, tercela atau tidak tecela; dipuji oleh para bijaksana atau tidak, jika dilaksanakan dan dipraktekkan, menuju kesejahteraan dan kebahagiaan atau tidak, adalah suatu sikap yang akan menepis kepercayaan yang membuta terhadap suatu ajaran. Dengan memiliki sikap ini maka nantinya seseorang diharapkan dapat memiliki keyakinan yang berdasarkan pada kebenaran.

Jangan telan mentah" yang satu ini gan!!!

Ajaran ehipassiko yang diajarkan oleh Guru Buddha juga harus diterapkan secar bijaksana. Meskipun ehipassiko berarti ”datang dan buktikan” bukanlah berarti selamanya seseorang menjadikan dirinya objek percobaan. Sebagai contoh, ketika seseorang ingin membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, bukan berarti orang tersebut harus terlebih dulu menggunakan narkoba tersebut. Sikap ini adalah sikap yang salah dalam menerapkan ajaran ehipassiko. Untuk membuktikan bahwa menggunakan narkoba itu merugikan, merusak, seseorang cukup melihat orang lain yang menjadi korban karena menggunakan narkoba.

Melihat dan menyaksikan sendiri orang lain mengalami penderitaan karena penggunaan narkoba, itu pun suatu pengalaman, suatu pembuktian.



Kalama Sutta Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas...

 

Kālāma Sutta atau biasa disebut Kesamutti Sutta adalah sebuah khotbah Sang Buddha yang tercantum di dalam Anguttara Nikaya dari Tipiṭaka,[1] yang merupakan instruksi kepada suku Kalama. Sutta ini sering disebut oleh kalangan tradisi Theravada dan Mahayana sebagai "piagam kebebasan untuk menyelidik" dari Buddha.[2] Sutta ini menunjukkan ajaran yang bebas dari fanatisme, keyakinan membuta, dogmatisme, dan intoleransi.[3] Selain itu, sutta ini berisi tentang penerapan sikap ehipassiko seperti yang diajarkan sang Buddha di dalam menerima ajaran-Nya. Sang Buddha dalam sutta ini mengajarkan untuk "datang dan buktikan" ajaran-Nya, bukan "datang dan percaya". Ajaran mengenai ehipassiko ini adalah salah satu ajaran yang penting dan yang membedakan ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.[4]







Kalama Sutta memberikan prinsip-prinsip yang harus diikuti oleh pencari kebenaran dan berisikan standar yang digunakan untuk menilai segala sesuatu. Kalama Sutta merupakan kerangka dasar Dhamma. Empat penghiburan yang diajarkan dalam sutta ini yaitu menyebutkan batasan yang diizinkan Sang Buddha untuk meragukan penilaian mengenai hal-hal di luar kognisi pada umumnya. Penghiburan itu menunjukkan bahwa alasan bagi kehidupan yang bermoral tidak harus bergantung atas kepercayaan terhadap kelahiran-kembali atau sebab-akibat, melainkan atas kesejahteraan mental yang diperoleh setelah mengatasi keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.[5]

Latar Belakang

Stupa Kesariya diyakini sebagai tempat Buddha menyampaikan khotbah kepada para Kalama

Para Kalama, penduduk kota Kesaputta, telah dikunjungi oleh berbagai guru spiritual dengan beragam pandangan. Setiap dari mereka akan menjunjung ajarannya sendiri dan merendahkan ajaran-ajaran dari para guru spiritual sebelumnya yang telah datang. Hal ini menimbulkan kebingungan bagi para Kalama, dan karenanya, saat sang Buddha, yang digelari sebagai Ia Yang Sadar, tiba di kota mereka, para Kalama mendekatinya dengan harapan bahwa Sang Buddha mungkin dapat menghilangkan kebingungan mereka.

Sang Buddha memulai khotbahnya dengan meyakinkan para Kalama bahwa dalam situasi seperti demikian adalah hal yang wajar bagi mereka untuk bimbang, sebuah ketenangan yang membangkitkan kebebasan menyelidik. Dia selanjutnya membabarkan pesan berikut, menasihati para Kalama untuk meninggalkan hal-hal yang mereka ketahui sendiri adalah buruk dan mengambil hal-hal yang mereka ketahui sendiri adalah baik.


‘‘Etha tumhe, kālāmā, mā anussavena, mā paramparāya, mā itikirāya, mā piṭakasampadānena, mā takkahetu, mā nayahetu, mā ākāraparivitakkena, mā diṭṭhinijjhānakkhantiyā, mā bhabbarūpatāya, mā samaṇo no garūti. Yadā tumhe, kālāmā, attanāva jāneyyātha – ‘ime dhammā akusalā, ime dhammā sāvajjā, ime dhammā viññugarahitā, ime dhammā samattā samādinnā ahitāya dukkhāya saṃvattantī’’’ti, atha tumhe, kālāmā, pajaheyyātha.[6] “Adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi bingung, O penduduk Kālāma, adalah selayaknya bagi kalian untuk menjadi ragu-ragu. Keragu-raguan telah muncul dalam diri kalian sehubungan dengan suatu persoalan yang membingungkan. Marilah, O penduduk Kālāma, jangan menuruti tradisi lisan, ajaran turun-temurun, kabar angin, kumpulan teks, logika, penalaran, pertimbangan, dan penerimaan pandangan setelah merenungkan, pembabar yang tampaknya cukup kompeten, atau karena kalian berpikir: ‘Petapa itu adalah guru kami.’ Tetapi ketika, penduduk Kālāma, kalian mengetahui untuk diri kalian sendiri: ‘Hal-hal ini adalah tidak bermanfaat; hal-hal ini adalah tercela; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; hal-hal ini, jika diterima dan dijalankan, akan mengarah menuju bahaya dan penderitaan,’ maka kalian harus meninggalkannya.[7]

— Kalama Sutta; Anguttara Nikaya 4.65

Instruksi kepada Suku Kalama

Instruksi kepada Suku Kalama sebagaimana tercantum dalam Kalama Sutta secara garis besar dapat dirangkum sebagai berikut (istilah Pali dalam kurung):[8]

  • Jangan begitu saja mengikuti apa yang telah diperoleh karena berulang kali didengar (anussava);
  • atau yang berdasarkan tradisi (paramparā);
  • atau yang berdasarkan desas-desus (itikirā);
  • atau yang ada di kitab suci (piṭaka-sampadāna);
  • atau yang berdasarkan dugaan (takka-hetu);
  • atau yang berdasarkan aksioma (naya-hetu);
  • atau yang berdasarkan penalaran yang tampaknya bagus (ākāra-parivitakka);
  • atau yang berdasarkan kecondongan ke arah dugaan yang telah dipertimbangkan berulang kali (diṭṭhi-nijjhān-akkh-antiyā);
  • atau yang kelihatannya berdasarkan kemampuan seseorang (bhabba-rūpatāya);
  • atau yang berdasarkan pertimbangan, 'Bhikkhu itu adalah guru kita' (samaṇo no garū).
  • Para Kalama, bila kalian sendiri mengetahui: 'Hal-hal ini buruk; hal-hal ini salah; hal-hal ini dicela oleh para bijaksana; bila dilakukan dan dijalankan, hal-hal ini akan menuju pada keburukan dan kerugian', tinggalkanlah hal-hal itu.

Hal-hal yang bila dilakukan akan menuju kepada keburukan dan kerugian adalah keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.

  • Para Kalama, bila kalian sendiri mengetahui: 'Hal-hal ini baik; hal-hal ini tidak dapat disalahkan; hal-hal ini dipuji oleh para bijaksana; bila dilakukan dan dijalankan, hal-hal ini akan menuju pada keuntungan dan kebahagiaan', masuklah dan berdiamlah di dalamnya.

Hal-hal yang bila dilakukan akan menuju kepada keuntungan dan kebahagiaan adalah hapusnya keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin.

  • Empat Kediaman Luhur, yakni kasih sayang, welas asih, kegembiraan dalam berempati, dan keseimbangan batin. Dengan berdiam–setelah dengan pemikiran kasih sayang, welas asih, sukacita dalam berempati, dan keseimbangan batin meliputi satu penjuru; demikian pula penjuru kedua, demikian pula ketiga, demikian pula keempat; demikian pula ke atas, bawah, dan ke sekeliling; dia berdiam, setelah meliputi–karena di dalamnya ada kehidupan semua makhluk hidup–di mana pun, di seluruh dunia, dengan pemikiran ketenangseimbangan yang luhur, agung, tanpa batas, yang terbebas dari kebencian maupun kedengkian.

  • Empat Penghiburan, dengan memiliki pikiran yang bebas dari kebencian seperti itu, pikiran yang bebas dari kedengkian seperti itu, pikiran yang bebas dari kekotoran seperti itu, dan pikiran yang dimurnikan seperti itu, merupakan orang yang olehnya empat penghiburan itu ditemukan, di sini, dan kini.

    • Penghiburan Pertama: "Andaikan saja ada kehidupan di masa-depan dan ada buah, ada hasil, dari perbuatan-perbuatan baik maupun buruk yang telah dilakukan. Maka mungkin saja setelah hancurnya tubuh setelah kematian, aku terlahir kembali di alam surga, yang mempunyai keadaan kebahagiaan".
    • Penghiburan Kedua: "Andaikan saja tidak ada kehidupan di masa-depan dan tidak ada buah, tidak ada hasil, dari perbuatan-perbuatan baik maupun buruk yang telah dilakukan. Walaupun demikian, di dunia ini, di sini dan kini, karena bebas dari kebencian, bebas dari kedengkian, aku menjaga diriku aman dan sehat, serta bahagia".
    • Penghiburan Ketiga: "Andaikan saja (hasil-hasil) kejahatan jatuh pada pelaku kejahatan. Namun, aku tidak memiliki pemikiran untuk melakukan perbuatan buruk pada siapa pun juga. Maka, bagaimana (hasil-hasil) kejahatan dapat mempengaruhi aku yang tidak melakukan perbuatan buruk apa pun ?"
    • Penghiburan Keempat: "Andaikan saja (hasil-hasil) kejahatan tidak akan jatuh pada pelaku kejahatan. Maka aku melihat diriku dimurnikan dalam semua hal".

Pemahaman dan Pendalaman Sutta

Khotbah dalam Kalama Sutta telah digambarkan sebagai "Piagam/Apresiasi Sang Buddha atas Kebebasan Menyelidik", sebagaimana dinyatakan oleh Soma Thera:

Instruksi pada Suku Kalama (Kalama Sutta) memang pantas terkenal karena memberikan dorongan bagi penyelidikan bebas. Semangat sutta ini memang menunjukkan Ajaran yang bebas dari fanatisme, keyakinan membuta, dogmatisme, dan ketidaktoleranan.[3]

Namun, sebagaimana dinyatakan oleh Bhikkhu Bodhi, ajaran tersebut tidak dimaksudkan sebagai dukungan terhadap skeptisisme secara radikal ataupun kebenaran personal yang tidak masuk akal:

Dengan basis suatu pesan tunggal, dikutip keluar dari konteks, Sang Buddha telah menjadi seorang empiris pragmatis yang menghilangkan seluruh doktrin dan kepercayaan, dan Ajaran Buddha (Dhamma) secara sederhana adalah alat berpikir bebas terhadap kebenaran yang mengundang setiap orang untuk menerima dan menolak apapun yang dikehendakinya.[3]

Daripada mendukung skeptisisme atau kebenaran subjektif, dalam sutta, Buddha terus menyatakan bahwa tiga akar kejahatan, yakni keserakahan, kebencian, dan kebodohan batin, menyebabkan hasil negatif yang berlawanan, yaitu mereka menjadi tidak terampil, tercela, dan lain-lain. Oleh karena itu, perilaku yang didasarkan pada tiga akar kejahatan ini harus ditinggalkan. Penilaian moral dari tindakan, karenanya dapat disimpulkan dengan menganalisis apakah tindakan ini didasarkan pada akar kejahatan atau tidak.

Pesan dalam sutta ini, sebagaimana pesan-pesan lainnya yang diucapkan oleh Sang Buddha, telah dinyatakan dalam suatu keadaan tertentu— dengan pendengar dan keadaan tertentu saat itu—dan karenanya haruslah dipahami sehubungan dengan keadaan tersebut.

Lihat pula

Referensi

  • AN 3.65; PTS: A.i.188; Thai III.66
  • "Kalama Sutta, The Buddha's Charter of Free Inquiry" by Soma Thera
  • Soma, Thera; Bhikkhu, Bodhi; Larry, Rosenberg; Willy, Yandi Wijaya (Februari 2010). Kalama Sutta (PDF). Yogyakarta: Vidyasena Production. hlm. 2.
  • "Ehipassiko – Datang dan Lihatlah". Bhagavant. Diakses tanggal 23 Desember 2018. Prinsip ehipassiko ini menjadi salah satu ajaran yang membedakan antara ajaran Buddha dengan ajaran lainnya.
  • https://pustaka.dhammacitta.org/ebook/theravada/Kalama%20Sutta.pdf
  • https://storage.googleapis.com/sariputta/pdf/tipitaka/593/Tikanipatapali.pdf
  • https://www.sariputta.com/sutta-pitaka/3450-kesaputti-klma/indonesia
  • Pranala luar