Serie Ke-5- Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006
Konsili
Ketiga
Kisah utama menceritakan “Konsili Ketiga” di Pataliputta, yang diadakan karena
banyak para penganut ajaran non-Buddhis[17] yang tidak murni, mencari
keuntungan dan penghormatan, banyak dari mereka yang memasuki Sangha secara
meniru dengan menahbiskan diri mereka sendiri, dengan demikian membuat
berfungsinya Sangha tidak mungkin:
Para penganut ajaran lain, yang keuntungan dan penghormatannya telah berkurang
sampai batas di mana mereka gagal mendapatkan makanan dan pakaian,[18] pergi
meninggalkan keduniawian dalam sāsana mencari keuntungan dan penghormatan,
masing-masing menyatakan pandangan mereka yang berbelit-belit: “Inilah Dhamma,
inilah Vinaya”. Mereka yang tidak dapat pergi meninggalkan keduniawian, setelah
mencukur [rambut] mereka sendiri dan mengenakan jubah kuning, berkeliaran di
dalam vihara, mengganggu uposatha, pavāraṇā, dan saṅghakamma. Para bhikkhu
tidak mengadakan uposatha bersama dengan mereka.[19]
Uraian bahwa para bhikkhu ini menyalah-tafsirkan Dhamma dan Vinaya, dan bahwa
mereka mengganggu “uposatha, pavāraṇā, dan saṅghakamma” tidak meninggalkan
keraguan bahwa penulis bacaan ini memiliki contoh Vinaya tentang Saṅghabhedakkhandhaka
dalam pikiran, seperti halnya Aśoka dalam maklumatnya.[20] Teks itu sangat
konsisten dalam poin ini: para bhikkhu yang baik tidak mengadakan uposatha
dengan para pengikut ajaran lain; kenyataannya, uposatha di vihara sentral
terganggu selama tujuh tahun.[21] Ini jelas berarti bahwa tidak ada perpecahan
dalam pengertian legal (kammabheda), karena ini membutuhkan uposatha-uposatha
yang terpisah yang diadakan dalam sīmā yang sama.
Oleh sebab itu, dalam Dīpavaṁsa kisah pertama tentang masalah ini[22] tidak menyebutkan perpecahan (bheda). Tetapi, dalam suatu kontradiksi yang tampak, versi kedua dari kejadian yang sama[23] menyebutkan bheda,[24] dengan mengatakan bahwa 236 tahun setelah Sang Buddha [wafat]: “bheda lainnya muncul dalam Theravāda yang tertinggi.” Ini masih tidak menyatakan bahwa terdapat uposatha-uposatha yang terpisah atau yang lainnya yang dapat mencirikan suatu perpecahan yang resmi. Tentu saja Dīpavaṁsa merupakan syair mitos alih-alih suatu teks legal, dan kita tidak perlu membaca penggunaan bheda di sini untuk menegaskan bahwa suatu perpecahan telah nyata terjadi. Sebenarnya, perpecahan adalah suatu kata yang terlalu kuat untuk [menerjemahkan] bheda, karena bheda digunakan sangat umum untuk memaksudkan “pemisahan, pembagian, analisis”, dst, dalam semua konteks, sedangkan perpecahan dalam bahasa Inggris hanya berhubungan dengan gagasan yang lebih formal dari saṅghabheda sebagai pembagian yang disengaja dari suatu komunitas monastik.
Adalah dalam Samantapāsādikā kita berharap menemukan penyebutan yang lebih formal atas perpecahan. Tetapi teks ini tidak menyebutkan bheda sama sekali. Setelah masalah muncul di Pāṭaliputra, Moggaliputtatissa merenungkan bahwa suatu “masalah” (adhikaraṇa) telah muncul di dalam Sangha.[25] Dalam cara yang mirip, perselisihan ditunjukkan dengan diselenggarakannya suatu saṅghakamma. Jika suatu “masalah” masih tertunda penyelesaiannya, tidak mungkin ada suatu perpecahan pada titik ini, karena seseorang tidak mengadakan saṅghakamma dengan orang-orang yang membuat perpecahan. Dari sudut pandang Vinaya, tidak terdapat perpecahan.
Apakah Ajaran Menyimpang Itu?
Para penipu dari ajaran lain digambarkan mengemukakan banyak ajaran, seperti eternalisme, eternalisme sebagian, pandangan berbelit-belit, dan sebagainya, suatu daftar yang familiar bagi banyak Buddhis terpelajar sebagai 62 pandangan yang disanggah dalam Brahmajāla Sutta.[26] Penyebuatan 62 pandangan adalah konvensional, dan tidak mewakili pandangan sebenarnya dari para penganut ajaran lain.
Kita mungkin membayangkan mengapa para penganut ajaran lain digambarkan dalam cara ini: apakah implikasi atau konotasi dari pandangan-pandangan ini, seperti para umat Buddha pada waktu itu akan melihatnya? Dalam kanon Pali, 62 pandangan semuanya dilihat sebagai berasal dari akar pandangan salah atas kepercayaan terhadap suatu “diri”. Penafsiran ini secara eksplisit dinyatakan dalam Saṁyutta Nikāya Pali:
“62 pandangan berbelit-belit ini yang diajarkan dalam Brahmajāla; pandangan-pandangan ini, perumah tangga, ada ketika pandangan identitas ada, ketika pandangan identitas tidak ada pandangan-pandangan ini tidak ada.”[27]
Tetapi versi Sarvāstivādin dari sutta yang sama, sementara sama dalam hal lain, tidak menyebutkan 62 pandangan dari Brahmajāla. Alih-alih, teks tersebut hanya menyebutkan “pandangan-pandangan diri, pandangan-pandangan suatu makhluk, pandangan-pandangan suatu roh (jīva), pandangan-pandangan tentang yang menguntungkan dan tidak menguntungkan”.[28]
Ini membuat kita berpikir apakah penekanan pada 62 pandangan dari Brahmajāla mungkin suatu prasangka sektarian dari Mahāvihāra. Tentu saja sutta itu sendiri ditemukan dalam versi Dharmaguptaka, Sarvāstivādin, dan yang lainnya dan harus dianggap sebagai bagian dari warisan bersama. Tetapi terdapat suatu alasan untuk berpikir bahwa Mahāvihāravāsin memperlakukan kotbah tertentu ini dengan penghormatan yang khusus.
Dalam kisah Konsili Pertama mereka, Mahāvihāravāsin membuat Brahmajāla sebagai yang pertama dari semua sutta, tidak seperti aliran lain yang kita ketahui dengan pengecualian Dharmaguptaka. Bhikkhu Bodhi menyatakan bahwa penempatan ini “... bukan masalah kebetulan atau karena penyusunan yang sembarangan, tetapi karena rancangan yang disengaja pada pihak para Sesepuh yang menyusun kanon dan mengaturnya dalam bentuk yang sekarang.”[29] Ia melanjutkan menggambarkan relevansi Dhamma dari posisi ini: “... seperti halnya sutta kita, dalam hal posisinya, berdiri pada pintu masuk menuju keseluruhan kumpulan kotbah yang diucapkan Sang Buddha, demikian juga pesan utamanya memberikan pengantar pada seluruh Ajaran itu sendiri.” Sesungguhnya, seseorang dapat menyatakan bahwa sutta ini mewakili faktor pertama dari jalan mulia berunsur delapan, pandangan benar, sedangkan sutta-sutta berikutnya dari Dīgha Nikaya berfokus pada unsur etis dan meditatif dari sang jalan.
Tetapi sementara posisi sutta ini memenuhi suatu peranan Dhamma, kita tidak seharusnya mengabaikan dimensi politis dari pemilihan ini. Dalam menyatakan bahwa prioritas pertama dari para Sesepuh yang mengorganisasikan Dhamma pada Konsili Pertama adalah untuk menyalahkan 62 jenis pandangan salah, Mahāvihāravāsin mengembangkan suatu contoh mitos untuk tindakan Aśoka dan Moggaliputtatissa dalam membersihkan Sangha dari 62 jenis pandangan salah pada Konsili Ketiga.
Kita mulai mencurigai bahwa kisah kanonik Mahāvihāravāsin (dan Dharmaguptaka?) tentang Konsili Pertama telah disesuaikan untuk memberi contoh bagi Konsili Ketiga.[30] Kecurigaan ini ditegaskan ketika kita melihat pada hanya satu-satunya sutta lain yang disebutkan dalam Konsili Pertama Mahāvihāravāsin, Sāmaññaphala Sutta. Ini berkenaan dengan kisah Ajātasattu, seorang raja Magadha yang berkuasa, yang pada awal pemerintahannya telah melakukan perbuatan kekerasan yang mengerikan, tetapi, merasakan penyesalan yang mendalam, [ia] membuat pengakuan publik yang dramatis atas kesalahannya, mengambil perlindungan dalam Buddha Dhamma, dan, menurut sumber Mahāvihāravāsin, kemudian mensponsori Konsili Pertama. Aśoka juga seorang raja Magadha yang berkuasa, yang pada awal pemerintahannya telah melakukan perbuatan kekerasan yang mengerikan, tetapi, mengalami penyesalan yang mendalam, [ia] membuat pengakuan publik yang dramatis atas kesalahannya, mengambil perlindungan dalam Buddha Dhamma, dan menurut sumber Mahāvihāravāsin, kemudian mensponsori Konsili Ketiga. Dapatkah kita dimaafkan untuk melihat hubungan lain yang mungkin di sini?
Dorongan untuk menekankan Sāmaññaphala kelihatannya cukup transparan. Setelah penobatan Aśoka, penyerangan berdarahnya, khususnya di Kalinga, pasti menimbulkan antipati yang luas, terutama dari para umat Buddha yang mencintai kedamaian. Politik pada masa tersebut yang sama persis sinisnya dengan politik saat ini, ini akan membuat upaya yang sulit untuk meyakinkan orang-orang bahwa perubahan dan penyesalan Aśoka adalah murni. Kisah Ajātasattu dapat dijadikan suatu paradigma mitos untuk ketulusan dan kredibilitas Aśoka sebagai seorang simpatisan Buddhis. Ini akan menjadi penting khususnya untuk membenarkan langkah Aśoka yang belum pernah terjadi sebelumnya dengan benar-benar ikut campur dalam urusan internal Sangha dan memutuskan siapa yang menyimpang dan yang tidak.
Setelah menyelidiki para bhikkhu yang buruk dan mendengarkan semua pandangan salah mereka, Aśoka bertanya kepada para bhikkhu yang baik apakah yang diajarkan Sang Buddha (kiṁvādī bhante sammāsambuddhoti?) dan mereka mengatakan Sang Buddha adalah seorang vibhajjavādin (vibhajjavādī mahārājāti).[31] Ini ditegaskan oleh pahlawan dalam kisah ini, Moggaliputtatissa, yang dalam kisah Mahāvihāravāsin adalah penasehat dan guru pribadi raja yang dekat, dan dianggap oleh aliran tersebut sebagai guru awal mula. Belakangan kita akan melihat lebih dekat apa yang dimaksud vibhajjavāda dalam konteks ini, tetapi untuk sekarang kita akan berkonsentrasi pada uraian yang dapat dikonfirmasikan dalam maklumat.
Menurut Samantapāsādikā, Aśoka telah mempelajari Buddhisme di bawah Moggaliputtatissa sebelum Konsili [Ketiga] dan dengan demikian dapat mengenali pengakuan keliru dari para penganut ajaran lain. Ia merenungkan:
“Ini bukanlah para bhikkhu, mereka adalah para pertapa dari ajaran lain.” Mengetahui ini, ia memberi mereka pakaian putih dan mengusir mereka.[32]
Dalam kasus ini, kata-kata persis yang digunakan Samantapāsādikā dan maklumat berbeda, tetapi maknanya sama.[33] Setelah para bhikkhu yang buruk diusir, Aśoka menyatakan kepada Moggaliputtatissa:
“Sekarang, bhante, sāsana sudah murni, semoga Sangha mengadakan uposatha.” Setelah memberikan perlindungannya, ia memasuki kota. Sangha dalam persatuan berkumpul dan mengadakan uposatha.[34]
Tampaknya bagi saya, sejauh uraian utama berlanjut, Samantapāsādikā dan maklumat sangat bersesuaian:[35] Sangha telah dibuat bersatu; pemecah belah Sangha seharusnya dibuat memakai pakaian awam putih dan diusir; pengusiran ini berhubungan dengan kekuasaan sementara dari Aśoka alih-alih suatu tindakan Sangha; dan kejadian ini dihubungkan dengan uposatha.[36]
Versi kejadian ini juga memungkinkan kita untuk memahami mengapa Aśoka harus ikut campur. Adalah ia yang secara berlebihan menyokong Sangha, yang secara tak sengaja menciptakan masalah. Sementara ia mungkin atau tidak mungkin merasa bertanggung jawab atas masalah ini, ia pastinya tidak senang terus-menerus memberi para penipu itu dengan kebutuhan materi.
Keseluruhan kisah ini sangat masuk akal, dan familiar dalam banyak negeri di mana Buddhisme berkembang saat ini. Segera setelah Sangha menarik sokongan yang berlebihan dari para penyokong yang kaya dan baik hati, terdapat arus para bhikkhu palsu yang hanya tertarik dalam mendapatkan sebanyak-banyaknya uang yang dapat mereka peroleh. Ini adalah gangguan yang terus-menerus terjadi dan sulit atau tidak mungkin bagi Sangha sendiri untuk menanganinya. Mereka berkembang tidak dapat dicegah jika pemerintah tidak memiliki kekuatan kehendak untuk secara paksa melepas jubah mereka dan mencegah mereka dari mengganggu dan menipu para donatur Buddhis.
Kenyataan bahwa Aśoka mengusir para bhikkhu palsu dan membuat mereka kembali ke pakaian awam adalah detail yang penting. Musuh pada Konsili [Ketiga] ini bukan para bhikkhu Buddhis yang berbeda dalam penafsiran atas beberapa poin ajaran, mereka adalah non-Buddhis, tidak layak menjadi bhikkhu sama sekali. Walaupun Mahāvihāravāsin mengaku sebagai satu-satunya aliran yang tidak bersifat pecahan, bahkan mereka tidak berlanjut sampai menganggap anggota aliran lain harus dilepas jubahnya. Bahkan jika kita menerima posisi Mahāvihāravāsin bahwa semua aliran lain adalah bersifat pecahan dalam pengertian harfiah yang didefisinikan dalam Vinaya, ini hanya akan berarti komunitas tersebut tidak melakukan pembacaan uposatha bersama yang sama. Ini tidak berarti para musuh itu bukan para bhikkhu: dalam kenyataannya, hanya para bhikkhu yang dapat menyebabkan perpecahan, sehingga jika para musuh pada Konsili Ketiga adalah benar-benar orang awam, tidak ada cara mereka dapat menyebabkan perpecahan. Satu-satunya jalan lain adalah mengenali status tipuan mereka dan mengusir mereka. Maka kisah Konsili Ketiga bukan kisah suatu perpecahan dari sudut pandang Aśoka atau Mahāvihāravāsin. Kenyataannya, komentar Vinaya Mahāvihāravāsin arus utama, baik dalam versi Pali maupun Mandarin, tidak menyebutkan perpecahan sama sekali.
Tampaknya bagi saya bahwa implikasi dari “maklumat perpecahan” ini telah diremehkan oleh para sarjana disebabkan oleh kecenderungan mereka, yang berdasarkan terutama pada kisah tekstual dari Dīpavaṁsa dan Vasumitra, untuk melihat perpecahan terjadi sebelum masa Aśoka. Demikianlah Cousins mengatakan: “Jika terdapat perkumpulan Buddhis yang berbeda pada waktu ini, dan setidaknya perbedaan antara tradisi Vinaya dari Mahāsaṅghika dan Theravāda/Theriya mungkin lebih awal dari masa ini, maka raja tidak akan mempermasalahkan hal itu.”[37] Lamotte, dengan sedikit usaha pembenaran yang sama, mengatakan: “Keinginan raja adalah untuk memaksa orang-orang yang tidak sepaham untuk kembali ke status awam.... Namun demkian, perintahnya tidak diikuti.”[38] Warder mengatakan: “Tidak diketahui apakah yang seharusnya dilakukan Aśoka jika kenyataannya bahwa umat Buddhis telah terbagi menjadi sedikitnya lima aliran.”[39] Tidak ada dari penafsiran ini berupaya untuk bergulat dengan serius dengan fakta yang tidak dapat disangkal bahwa tidak ada kata-kata Aśoka memberikan petunjuk apa pun bahwa aliran Buddhis yang berbeda ada pada masanya.
Aśoka dalam Mahāsaṅghika Vinaya?
Sasaki menunjukkan bahwa suatu bacaan unik dalam Mahāsaṅghika Vinaya dapat menunjuk pada terlibatnya Aśoka dalam mengembalikan para bhikkhu yang memecah belah pada status awam. Bacaan yang relevan muncul dalam Mahāsaṅghika Vinaya Skandhaka, yang menurut Sasaki, hanya berada pada titik di mana teks ini berpisah dari pola dari Sthavira Skandhaka lainnya. Oleh sebab itu, ia menyatakan bahwa kejadian ini, berdasarkan kejadian nyata pada masa Aśoka, merupakan pengaruh penting dalam merangsang pembentukan kembali Mahāsaṅghika Vinaya. Di sini adalah terjemahan bacaan yang bersesuaian:
Jika para bhikkhu telah melihat bahwa seorang bhikkhu tertentu akan melakukan saṅghabheda mereka harus berkata kepadanya: “Yang Mulia, janganlah melakukan saṅghabheda. Saṅghabheda adalah kesalahan yang berat. Anda akan jatuh ke dalam keadaan kelahiran yang buruk atau masuk neraka. Aku akan memberikanmu pakaian dan mangkuk dana. Aku akan mengajarkanmu sūtra-sūtra dan membacakan sūtra-sūtra untukmu. Jika anda memiliki beberapa pertanyaan, aku akan mengajarkan anda.”
Jika ia tidak menghentikannya, mereka harus berkata pada seorang upāsaka yang berkuasa: “Si anu akan melakukan saṅghabheda. Pergilah dan halangi ia agar tidak melakukannya.” Sang upāsaka harus berkata pada [sang bhikkhu]: “Yang Mulia, janganlah melakukan saṅghabheda. Saṅghabheda adalah kesalahan yang berat. Anda akan jatuh ke dalam keadaan kelahiran yang buruk atau masuk neraka. Aku akan memberikanmu pakaian, mangkuk dana, dan obat-obatan untuk menyembuhkan sakit. Jika anda merasa bosan dalam kehidupan seorang bhikkhu kembalilah ke kehidupan awam. Aku akan menemukan seorang istri untuk anda dan memberikan anda kebutuhan hidup.”
Jika ia masih tidak menghentikannya, para bhikkhu harus mengusirnya dengan melepaskan śalāka (tongkat pemungutan suara) yang menunjukkan keanggotannya [dalam Sangha]. Setelah mengusirnya, Sangha mengumumkan sebagai berikut: “Semua orang! Ada seseorang yang merencanakan saṅghabheda. Jika ia mendekati kalian, berhati-hatilah!”
Jika, walaupun peringatan ini, ia telah melakukan saṅghabheda ini disebut “saṅghabheda”... [40]
Sasaki mempercayai bahwa ungkapan unik “upāsaka yang berkuasa” menunjuk tak lain pada Aśoka sendiri. Tindakannya dalam membujuk para bhikkhu yang buruk untuk kembali ke kehidupan awam di sini muncul lebih seperti jaringan pengaman sosial daripada pengusiran yang memalukan. Ini akan lebih masuk akal jika kita melihat para bhikkhu yang buruk sebagai pembonceng dan pencari kesempatan, alih-alih para pengikut ajaran lain yang berusaha menghancurkan Buddhisme, atau Buddhis sebenarnya yang berusaha mendirikan ajaran atau praktek baru. Jika mereka telah bergabung dalam Sangha untuk mencuri penghidupan, dapat menjadi metode yang efektif dengan pemecahan masalah yang non-konfrontatif dengan menawarkan untuk mendukung kebutuhan mereka setelah pelepasan jubah, dengan demikian mencegah kemungkinan masalah muncul kembali.
Seperti sumber kita lainnya, teks ini termasuk teks yang mengembangkan asumsi bahwa perpecahan terjadi selama pemerintahan Aśoka. Pertama-tama kita harus ingat bahwa menghubungkannya dengan Aśoka tentu saja spekulatif, dan bacaan ini dapat juga menunjuk pada sesuatu yang sangat berbeda. Teks ini hanya membahas kejadian teoritis, dan tidak menyatakan bahwa suatu perpecahan telah terjadi. Dan tahap memanggil seorang “upāsaka yang berkuasa” hanya tahap kedua dari tiga tahap pendahuluan sebelum suatu perpecahan dapat terjadi. Bahkan jika, karena saya pikir sangat mungkin, bacaan ini nyatanya tidak menunjuk pada kejadian aktual yang sama seperti Maklumat Persatuan dan Konsili Ketiga, tidak perlu untuk menganggap bahwa ketiga tahap ini semuanya telah lengkap. Kenyataannya, satu-satu sumber kita tentang kejadian ini sebagai keseluruhan, kisah narasi Konsili Ketiga, menyatakan bahwa intervensi “upāsaka yang berkuasa” adalah efektif dan perpecahan dapat dihindari.
Juga penting untuk memperhatikan bahwa jika ini memang menunjuk pada perpecahan sesungguhnya, ini pasti adalah perpecahan awal mula antara Mahāsaṅghika dan Sthavira. Tetapi ini sangat problematik. Sumber kita adalah Mahāsaṅghika Vinaya, tetapi Mahāsaṅghika Śāriputraparipṛcchā menempatkan perpecahan awal mula lama kemudian, yang akan menyebabkan ketidaksesuaian yang besar atas masalah ini di dalam Mahāsaṅghika. Bahkan lebih buruk, tiga sumber kita – dari sudut pandang Sthavira, Mahāsaṅghika, dan Aśoka – semuanya mengambil sisi yang sama, menentang para bhikkhu pemecah belah yang dikembalikan ke kehidupan awam. Tidak mungkin bahwa ini dapat mewakili sisi yang berlawanan dalam perdebatan. Penafsiran yang paling sederhana adalah untuk menyetujui bahwa tidak ada perpecahan pada masa ini.
Logged
"Holmes once said not to allow your
judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are
antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa
seniya
·
Global Moderator
·
KalyanaMitta
·
·
Posts:
3.469
·
Reputasi:
169
·
Gender:
·
Om muni
muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply
#7 on: 26 January 2013, 07:42:39 PM
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda