Konteks
Orang Sri Lanka
Ini semua menjadi lebih masuk akal ketika kita mempertimbangkan iklim di mana
Dīpavaṁsa dan kronologi-kronologi berikutnya disusun. Kejadian-kejadian yang
digambarkan dekat dengan kematian raja Mahāsena sekitar tahun 304 M, yang
mengikuti kemenangan Mahāvihāra atas saingan sengitnya vihara Abhayagiri.
Persaingan ini telah dimulai sekitar 400 tahun sebelumnya, ketika vihara
Abhayagiri, setelah dibangun oleh raja Vaṭṭagāminī, menjadi rumah bagi
Bahalamassutissa, pengikut seseorang tertentu yang bernama Mahātissa, yang
diusir dari Mahāvihāra karena keakraban yang tidak pantas dengan umat awam.
Vihara ini kemudian dianggap sebagai yang bersifat memecah belah dari
Theravāda.[87] Abhayagiri menjadi [vihara] yang dihubungkan dengan
ajaran-ajaran yang dicurigai diimpor dari daratan [India]. Karena sedikit jika
ada dari literatur mereka yang bertahan, tidak jelas persisnya bagaimana posisi
doktrinal mereka berkembang.[88]
Kedua vihara menerima dukungan kerajaan sampai masa Vohārika Tissa, kira-kira
tahun 230 M, ketika Abhayagirivāsin dituduh mengimpor kitab “Vetulya”. Biasanya
diasumsikan bahwa ini sesuatu yang berhubungan dengan Mahāyāna, walaupun
terdapat sedikit bukti langsung. Dalam setiap kasus, kitab-kitab ini diganyang.
Tidak ada pembahasan tentang ajaran-ajaran yang diajarkan atau mengapa
ajaran-ajaran ini sangat berbahaya. Kita bahkan mungkin dimaafkan untuk
membayangkan apakah isi sebenarnya dari teks-teks ini sepenuhnya relevan.[89]
Dalam setiap kasus, buku-buku “Vetulya” dibakar dan para bhikkhu dilecehkan.
Mengikuti ini, raja-raja Vohārikatissa, Goṭhābhaya, dan Jeṭṭhatissa mendukung
Mahāvihāra. Tetapi Abhayagiri terus menyebabkan masalah. 60 orang bhikkhu
diusir oleh Goṭhābhaya karena menganut Vetullavāda; ini digambarkan dalam
Mahāvaṁsa sebagai “duri dalam ajaran sang penakluk”,[90] persis seperti Dīpavaṁsa
menyebut Vajjiputtaka dan para pemecah belah lainnya sebagai “duri dalam pohon
banyan”. Belakangan kemudian, Nikāyasaṅgraha dari Dharmakīrti (abad ke-14)
mengubah perumpamaan yang murni harfiah ini menjadi sejarah, dengan menyatakan
bahwa kira-kira tahun 32 SM, tak lama setelah Abhayagiri dibangun, sekelompok
bhikkhu Vajjiputtaka, di bawah kepemimpinan seseorang tertentu bernama
Dharmaruci, datang ke Sri Lanka dan, ditolak oleh Mahāvihāra, menemukan
dukungan di Abhayagiri. Inilah Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika yang lalai.[91]
Tetapi segera keadaan berubah. Seorang bhikkhu bernama Saṅghamitta datang dari
India. Dilukiskan dalam warna yang paling gelap oleh Mahāvihāravāsin, bhikkhu
ini membantu Abhayagiri untuk berkumpul kembali. Ia ditolak oleh raja Jeṭṭhatissa
dan melarikan diri kembali ke India; tetapi pada saat penobatan Mahāsena ia
kembali dan melakukan upacara penobatan untuk raja. Di bawah pengaruh Saṅghamitta,
raja Mahāsena menganiaya Mahāvihāra: para bhikkhu diusir dari vihara tersebut
selama sembilan tahun, dan Abhayagirivāsin, bersama dengan menteri Soṇa,
merampok harta kekayaan Mahāvihāra untuk menghias Abhayagiri. Para pendukung
dari Mahāvihāra sangat gempar sehingga seorang menteri bernama Meghavaṇṇabhaya
mengundurkan diri ke wilayah Malaya, di mana Mahāvihāravāsin tinggal dalam
pengasingan, mengumpulkan laskar perang dan bergerak menuju ibukota. Namun masa
itu sifat kepahlawanan masih berlaku. Menteri pemberontak tersebut merenungkan
bahwa ia tidak seharusnya makan jauh dari sahabat baiknya sang raja, maka
menjelang peperangan itu mereka berbagi sarapan. Raja bertanya mengapa Meghavaṇṇabhaya
bermaksud untuk berperang, dan ia menjawab bahwa ia tidak tahan melihat
penghancuran Mahāvihāra. Raja dengan bijaksana meminta maaf dan berjanji untuk
membangun kembali Mahāvihāra: suatu teladan mengagumkan bagi mereka yang akan
melakukan perang suci saat ini. Tetapi salah satu istri raja sangat bersedih
sehingga ia memerintahkan Saṅghamitta dan Soṇa dibunuh. Abhayagiri kemudian
dilucuti untuk menghiasi Mahāvihāra.
Kejadian-kejadian ini memuncak dengan kematian Mahāsena. Mahāvaṁsa, dalam
terjemahan Geiger, berakhir dengan kata-kata ini: “Demikianlah ia mengumpulkan
bagi dirinya sendiri banyak jasa kebajikan dan banyak rasa bersalah,” sangat
sempurna membungkus dunia moral yang sangat dalam dan ambigu dari kronologis
Sri Lanka. Di sepanjangnya kita melihat sebuah pengabdian yang sejati pada
cita-cita Dhamma. Sementara terdapat sedikit bukti perembesan ajaran-ajaran dan
praktek yang maju melalui budayanya, masih raja-raja membuat usaha
terus-menerus untuk menghidupkan cita-cita raja yang baik seperti yang
ditunjukkan oleh Aśoka. Tetapi permintaan terhadap pemerintah mutlak tidak
berkompromi dengan cita-cita yang mulia ini. Setelah dengan dekat menjalin
konsep Buddhisme mereka dengan bangsa Sri Lanka, Sangha menemukan tidak mungkin
mempertahankan ketidakbergantungan dari arena politik. Sementara kita tidak
dapat menerima semua yang kita temukan dalam halaman-halaman yang berdarah ini,
kita harus ingat bahwa sejarah adalah seperti ini, di mana pun, sepanjang
waktu. Bagi seluruh Sri Lanka tidak lebih buruk daripada, dan mungkin lebih
baik daripada kebanyakannya. Tidak diragukan tradisi-tradisi Buddhis lain telah
menghadapi pilihan yang pahit dan perjuangan yang mematikan. Perbedaannya bahwa
kita tidak mengetahui apa pun tentang tradisi-tradisi Buddhis lain, karena
orang Sinhala satu-satunya umat Buddhis dari India kuno yang melestarikan
sebuah literatur sejarah. Literatur tersebut menyatakan bahwa tanpa kadangkala
kekerasan yang mendukung, Buddhisme tidak akan bertahan. Sementara kita harus
menyesalkan kekerasan itu, kita tidak dapat menolak bahwa tradisi, termasuk
teks-teks yang mengatakan kita kisah ini, kenyataannya telah bertahan di mana
semua yang lain gagal.
Dīpavaṁsa dan Mahāvaṁsa dibentuk dalam suatu iklim perjuangan yang menyedihkan
dan kejam. Bagi para bhikkhu dari Mahāvihāra, perbedaan antara aliran-aliran
bukan suatu perselisihan yang sopan mengenai poin-poin Abhidhamma, tetapi suatu
perang yang mematikan untuk bertahan hidup. Pembentukan tahap “klasik” dari
literatur Mahāvihāravāsin – kronologis dan komentar – merupakan akibat langsung
dari perjuangan ini.
Tentu saja gambar ini berat sebelah dan melodramatis. Fa-xian, yang
menghabiskan dua tahun di Sri Lanka sedikit setelah kejadian yang telah kita
gambarkan, melihat Abhayagiri sebagai vihara utama; Abhayagiri memiliki 5000
orang bhikkhu, sedangkan Mahāvihāra hanya dapat mengumpulkan 3000 orang
bhikkhu. Secara karakteristik, Fa-xian tidak mengatakan adanya ketegangan,
tetapi memuji keindahan dan ketaatan yang ia saksikan dalam kedua vihara.
Semangat pertempuran dari kronologi adalah sebanyak suatu gejala dari kerangka
pemikiran karena ia merupakan catatan perselisihan sebenarnya.
Terdapat sesuatu dalam kisah-kisah dari masa lalu ini yang memenuhi kebutuhan
yang mendesak bagi Sangha di masa kini. Mahāvihāravāsin, dalam masa-masa yang
keras dan sangat terpolitisasi itu, membutuhkan suatu “yang lain”. Ini dapat
dilihat sebagai suatu ungkapan dari ideologi vibhajjavāda, suatu kebutuhan
untuk memisahkan diri sendiri untuk menciptakan suatu rasa kesucian dan
kemurnian. Di seluruh pemikiran religius dan magis, suatu pemisahan fisik yang
diritualkan merupakan suatu sumber dan makanan bagi kekuatan suci. Definisi dan
identifikasi “yang lain” dibutuhkan untuk mendefinisikan dan
mengidentifikasikan “diri sendiri”. Perwujudan ini perlu menyetankan petunjuk
“yang lain” pada sisi gelap Mahāvihāravāsin: mereka menolak apa yang mereka
takuti dalam dirinya sendiri. Kita telah mencatat ironi yang melekat dalam
Dīpavaṁsa: ditulis dengan tidak sopan, ia menuduh “mereka” dengan tekstualitas
yang buruk; dan sementara salah satu tesis utama mereka adalah impor luar
yang dicangkokkan dengan buruk, ia menuduh “mereka” memperkenalkan unsur-unsur
asing. Kita akan melihat dalam pembahasan kita tentang Śāriputraparipṛcchā
bahwa Dīpavaṁsa tidak sendirian dalam memfokuskan pada butiran debu di mata
saudaranya.
Sementara ironi ini mungkin aneh, bahkan menggelikan, teks yang sama mengandung
ironi yang agak lebih berbahaya. Yang paling jelas adalah bahwa, walaupun
desakan tradisi dalam melestarikan Buddhisme yang “asli” tidak berubah,
kenyataannya titik berat kronologis adalah untuk mensahkan penyatuan Gereja dan
Negera, suatu inovasi revolusioner tanpa contoh sebelumnya di daratan utama
[India]. Ini sebabnya banyak penekanan diberikan pada penemuan kembali yang
mistik Aśoka sebagai pemenang dari cabang Buddhisme Mahāvihāra. Tetapi
melampaui teladan perlindungan Aśoka terhadap Sangha atau bahkan ikut campur
dalam urusan Sangha, kronologis mengejar politisasi Buddhisme sampai pada
kesimpulan yang tidak terelakkan: pembenaran Buddhis atas perang. Mahāvaṁsa
menggambarkan raja Duṭṭhagāmini yang merasa bersalah kembali dari medan perang
dan mencari pelipur lara dari Sangha atas pembunuhan ribuan orang dalam perang,
sama seperti Aśoka mencari penghiburan dari Moggaliputtatissa atas pembunuhan
para bhikkhu Aśokārāma, atau Ajātasattu mencari penghiburan dari Sang Buddha
atas pembunuhan terhadap ayahnya raja Bimbisāra. Para Arahat meyakinkan raja
bahwa ia tidak perlu merasa begitu bersalah, karena ia sebenarnya hanya
membunuh satu setengah orang: satu adalah yang menjalankan lima sila;
setengahnya telah mengambil perlindungan dalam Tiga Permata. Sisanya tidak
dihitung.
Seperti semua mitos baik, kutipan ini tidak lekang oleh waktu; karena ini
menjadi sentral bagi pembenaran Sangha Sri Lanka modern atas perang melawan
Tamil. Theravāda, sementara mempertahankan suatu kualitas tradisi tekstual,
dalam praktek tidak melestarikan lebih banyak atau lebih kurang Buddhisme
sejati daripada aliran lainnya. Tetapi perbedaan yang sangat nyata antara
bhikkhu ideal seperti digambarkan dalam sutta-sutta awal dan kenyataan
Buddhisme seperti yang ada menciptakan suatu ketegangan dalam tingkatan yang
dalam, suatu ketegangan yang tidak dapat diselesaikan, tetapi diproyeksikan
pada “yang lain”.
Adalah raja Parakkamabāhu I (1153-1186) yang, di tengah-tengah kampanye militer
yang tampaknya tidak habis-habisnya, akhirnya mendamaikan berbagai persaudaraan
Sangha. Cūḷavaṁsa dengan tajam menyatakan bahwa: “walaupun banyak upaya yang
dilakukan dalam berbagai cara oleh para raja sebelumnya sampai masa sekarang,
[para bhikkhu] berubah dalam sikap mereka dari satu ke yang lainnya dan menyukai
berbagai perselisihan.”[92] Analogi dengan Konsili Aśoka di sini dibuat
eksplisit: “Bahkan seperti Penguasa Manusia Dhammāsoka dengan
Moggaliputtatissa, demikian juga ia [Parakkamabāhu] mempercayakan maha sesepuh
Mahākassapa....”[93] Mengikuti teladan Aśoka, mereka mengumpulkan semua bhikkhu
bersama-sama, menanyai mereka, menyelesaikan masalah satu demi satu, mengusir
para bhikkhu yang jahat, dan menciptakan Sangha yang bersatu “seperti yang
telah ada di masa Sang Buddha.”[94]
Dari sedikit contoh ini – yang dapat diperluas tidak terbatas – kita dapat
melihat bagaimana kronologis Mahāvihāravāsin dibangun pada suatu struktur dari
siklus yang berulang-ulang, dari persamaan yang berulang kali. Ini menjadi
jelas bagaimana penggambaran Dīpavaṁsa terhadap Mahāsaṅghika sebagai para
bhikkhu Vajjiputtaka yang jahat adalah suatu mitos pembacaan kembali dari
situasi pada masa Dīpavaṁsa. Dalam mitos waktu adalah siklus yang terus-menerus
menggigit ekornya sendiri: adalah seperti ini sekarang, maka pasti telah
seperti ini di masa lampau. Nama-nama dan detailnya menunjukkan permukaan yang
berkilauan dari penampilan yang selalu berubah, tetapi pola utamanya bermain
dengan dirinya sendiri dengan meyakinkan yang tidak terelakkan, seperti
perubahan musim atau bintang yang berputar di langit. Kronologi Sinhala dengan
berani memadukan sejarah politik dan budaya bangsa mereka sendiri dengan mitos
penting Buddhis, kehidupan Sang Buddha. Sama seperti setiap penahbisan adalah
pengulangan yang diritualkan dari pelepasan keduniawian Sang Buddha, membuat
tindakan jauh itu nyata pada masa kini, demikian pula setiap kejadian dalam
stuktur mitos memberitahukan masa sekarang yang abadi, makna yang selalu ada
dari sejarah yang hidup sebagai takdir. Demikianlah pengkambinghitaman dan
pengusiran Vajjiputtaka menjadi suatu pembersihan yang dibutuhkan kapan pun
kemurnian Sangha terancam.
Apakah
Buddhaghosa seorang Theravādin?
Gagasan kemurnian silsilah merupakan unsur yang penting dalam strategi
membangun suatu aliran Buddhisme. Ini walau kenyataan bahwa gagasan paramparā,
suatu silsilah penahbisan tertentu, tidak ada dalam teks-teks awal. Tentu saja,
ini tidak masuk akal untuk mengambil kesimpulan dari teks-teks awal bahwa
teks-teks ini menganggap suatu nilai tertentu sebagai gagasan dari hubungan
langsung penahbisan dari guru ke murid. Tetapi ini tidak mungkin ditafsirkan
sebagai sentral.
Dalam cara yang sama Warder bertanya apakah Nāgārjuna adalah seorang Mahāyānis,
kadangkala seseorang dapat membayangkan sampai jangkauan apa Buddhaghosa, penyusun
abad ke-5 dari tradisi komentar Mahāvihāravāsin yang definitif, adalah seorang
Theravādin dalam hal silsilah penahbisannya.
Tidak ada yang eksplisit untuk dilanjutkan. Tradisi yang belakangan menyatakan
bahwa ia lahir di Magadha, tetapi ini adalah upaya yang transparan untuk
memastikan latar belakangnya yang ortodoks. Menariknya, orang Burma
mempertahankan bahwa Buddhaghosa lahir di Burma. Sementara tidak ada orang
selain orang Burma yang akan menganggap ini masuk akal, tradisi ini menyatakan
bahwa penahbisannya dilacak oleh orang Burma sampai misi Soṇa dan Uttara ke
Suvaṇṇabhūmi. Dengan kata lain, ia datang dari salah satu misi yang lain, bukan
berasal dari misi yang membangun Mahāvihāra. Dari perspektif orang Burma
belakangan ini tentu saja semuanya “Theravāda”, tetapi pada masa Buddhaghosa
gagasan suatu bentuk Buddhisme yang bersatu di seluruh Asia tenggara tidak ada,
dan kenyataannya terdapat banyak aliran di wilayah tersebut.
Karena Buddhaghosa datang dari India, dan dianggap bahwa kebanyakan mayoritas
Buddhis India tidak menggabungkan diri dengan Theravādin dalam pengertian
sempit yang dibutuhkan oleh Dīpavaṁsa (= Mahāvihāravāsin), kita mungkin
membayangkan apakah penahbisannya benar-benar “Theravādin”. Ia memang
menyebutkan telah berdiam di beberapa tempat pada daratan utama, beberapa telah
diidentifikasi di India Selatan: “Mayūrasuttapaṭṭana” (Mylapore dekat Chennai);
“Kañcipura” (Conjevaram dekat Chennai); dan kata-kata tambahan dalam
Visuddhimagga menggambarkan ia sebagai “dari Moraṇḍacetaka” (Andhara?).[95]
Namun, Mahāvaṁsa mengatakan ia lahir di dekat Bodhgaya, walaupun ini adalah
tradisi yang agak belakangan, yang dianggap berasal dari Dharmakīrti pada abad
ke-14. Tentang penahbisannya, Mahāvaṁsa tidak mungkin kurang spesifik: ketika
berkelana “di sekitar India”, ia berdiam di “sebuah vihara”, di mana ia bertemu
dengan “seorang guru” bernama Revata, di mana ia mendapatkan penahbisan.[96]
Revata dikatakan mengajarkan pāḷi dari Abhidhamma, tetapi pāḷi di sini
digunakan dalam pengertian umum teks dan tidak harus mengimplikasikan kanon
Pali yang kita ketahui. Buddhaghosa tampaknya menyiapkan suatu ulasan yang
disebut Ñāṇodaya, yang tidak ada yang diketahui tentangnya, dan Aṭṭhasālinī,
suatu komentar terhadap Dhammasaṅgaṇī. Komentar yang ada oleh Buddhaghosa
terhadap Dhammasaṅgaṇī memang disebut Aṭṭhasālinī, tetapi tidak diketahui
apakah ini memiliki hubungan dengan karya yang lebih awal, jika memang ia
pernah ada.
Ketika Buddhaghosa ingin mengerjakan karya yang lebih lanjut tentang komentar
paritta, Revata mengatakan padanya:
“Di sini hanya teks [pāḷi] yang telah dipertahankan,
tidak ada komentar di sini,
dan sama halnya tidak ada Ajaran Sang Guru:
yang telah terpecah dan tidak ditemukan.”[97]
Revata kemudian memuji kemurnian tradisi komentar Sri Lanka dan mendorong
Buddhaghosa untuk pergi ke sana dan mempelajarinya. Kisah ini adalah suatu
gagasan legenda untuk menekankan keunggulan tradisi Sri Lanka; meragukan apakah
orang India melihat hal ini dengan cara yang sama. Polemik dikesampingkan, tradisi
ini tidak memberikan kita dasar yang dapat dipercaya yang dapat memastikan
bahwa Buddhaghosa telah memiliki suatu penahbisan dalam tradisi Mahāvihāra.
« Last Edit: 27 January 2013, 11:51:38
AM by ariyakumara »
Logged
"Holmes once said not to allow your
judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are
antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa
·
Global
Moderator
·
KalyanaMitta
·
·
·
Posts:
3.469
·
Reputasi:
169
·
Gender:
·
Om muni
muni mahamuni sakyamuni svaha
« Reply #13 on: 27
January 2013, 08:21:09 AM »
Saya mengambil contoh Buddhaghosa hanya untuk
membuat poin retorika. Tetapi adalah biasa bagi para bhikkhu untuk melakukan
perjalanan di sekitar vihara-vihara yang berbeda, berdiam dengan persaudaraan
yang berbeda. Ini pasti telah terjadi bahkan lebih banyak dengan vihara
Abhayagiri, yang dikatakan oleh Mahāvihāravāsin menerima para bhikkhu India
dari tradisi yang berbeda. Tetapi Abhayagirivāsin belakangan bergabung dengan
Mahāvihāravāsin, walaupun ketidakmurnian yang diduga benar ini dalam silsilah
penahbisan mereka.
Situasi yang sama pasti telah terjadi di seluruh Buddhisme Asia Tenggara,
karena kita mengetahui bahwa wilayah Thailand, Burma, dan Kamboja di mana
Theravāda sekarang berkembang sebelumnya didominasi Mahāyāna, atau Buddhisme
Śrāvakayāna Sanskrit. Kita mencatat menyebarluasnya kejadian kultus Upagupta di
seluruh wilayah ini, yang sepenuhnya tidak ada dari Sri Lanka, dan membayangkan
apakah ini memberikan suatu petunjuk pada jenis Buddhisme yang ada sebelum
Theravāda yang ortodoks. Menurut I-Tsing, di daratan pada perbatasan timur
India semua empat aliran utama berkembang, sedangkan di wilayah pulau
Mūlasarvāstivāda menonjol.[98]
Ketika wilayah-wilayah ini “diubah keyakinannya” menjadi Theravāda (yang
terutama terjadi sekitar abad ke-11 s/d 12), tidak mungkin bahwa semua bhikkhu
mengambil penahbisan baru. Tentu saja, sejarah resmi akan menyatakan bahwa
ketika agama [Buddha] direformasi sehingga semua bhikkhu menyesuaikan diri
dengan sistem baru. Tetapi kepraktisan dari hal ini tidak masuk akal: mengirimkan
para bhikkhu administrasi kota yang berjalan sejauh ribuan mil dari intaian
macan, penuh penjahat, jejak hutan-hutan yang berhantu mencari tak terhitung
desa kecil, berusaha membujuk para bhikkhu senior bahwa penahbisan mereka tidak
sah atau tidak tepat dan harus dilakukan lagi, semuanya berdasarkan beberapa
kompromi politik di sebuah ibukota yang jauh, di sebuah wilayah yang perbatasan
dan kesetiaannya selalu bergeser. Sebagai sejarah ini hanyalah khayalan, dan
kenyataannya pasti bahwa reformasi itu secara langsung mempengaruhi
vihara-vihara pusat tertentu. Yang lain mungkin menggunakan suatu prosedur
informal seperti daḷhikamma (tindakan memperkuat), yang hanya merupakan
prosedur ad hoc [dengan maksud khusus] yang ditemukan sebagai pengganti saṅghakamma
yang sebenarnya. Tetapi bagi kebanyakan reformasi tidak relevan, bahkan jika
mereka pernah mendengarnya. Hanya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa silsilah
“Theravāda” yang saat ini, seperti semua yang lain, pasti merupakan campuran
dari banyak untaian yang berbeda.
Penelitan Bizot di daerah ini menunjukkan bahwa situasi saat ini dalam
Theravāda kenyataannya mempertahankan dua gaya penahbisan yang berbeda.[99]
Satu melibatkan pembacaan perlindungan selama pabbajjā; yang lain, perlindungan
dibacakan dua kali, satu mengakhiri kata-kata dengan anusvāra –ṁ (dilafalkan
–ng), dan lagi dengan nasal labial –m. Dua pernyataan pabbajjā memiliki akarnya
dalam Buddhisme Mon kuno dari masa Dvāravatī (abad ke-7 s/d 8 ), yang mungkin
diperkenalkan ke Asia Tenggara (“Suvaṇṇabhūmi”) dari India Selatan. Bizot
meyakini bahwa pabbajjā dua-pernyataan ini berhubungan dengan praktek meditasi
esoterik tertentu. Pabbajjā satu-pernyataan dari Mahāvihāra diperkenalkan
kemudian, sekitar abad ke-14 s/d 15, oleh para bhikkhu yang berhubungan dengan
Sri Lanka. Tetapi ketika silsilah Sri Lanka didirikan kembali dari Thailand,
ini dengan pabbajjā dua-pernyataan dari Mon. Sementara itu, pabbajjā
satu-pernyataan secara terus-menerus dipaksakan dalam Sangha di Asia Tenggara,
khususnya mengikuti reformasi Dhammayuttika yang modernis dari Pangeran Mongkut
pada abad ke-19. Dalam salah satu ironi sejarah yang lezat ini, pabbajjā
dua-pernyataan Mon sekarang hanya bertahan di Sri Lanka, sedangkan pabbajjā
satu-pernyataan tersebar luas di seluruh Asia Tenggara.
Kerumitan situasi ini diakui oleh Somdet Ñāṇasaṁvara, Saṅgharāja Thailand saat
ini, dalam suatu karya penting Buddha Sāsana Vaṁsa. Karya ini membahas silsilah
penahbisan Thai modern dan reformasi yang diperkenalkan pada abad ke-19 ketika
Dhammayuttika Nikāya dibentuk berdasarkan tradisi Burma Mon. diyakini bahwa
tradisi ini berasal dari misi Soṇa and Uttara ke Suvaṇṇabhūmi pada masa Aśoka.
Berikut adalah beberapa pernyataan Somdet Ñāṇasaṁvara:
“Sejak Mahāparinibbāna Sang Buddha sampai saat ini, lebih dari 2000 tahun telah
berlalu, dengan demikian sulit untuk mengetahui apakah silsilah murni yang
diturunkan kepada kita masih utuh atau tidak.” (16)
“Jika silsilah ini telah lenyap, ini tidaklah merugikan, seperti halnya
pengabdian Pukkusāti[100] dalam kehidupan tanpa rumah tidaklah merugikan.” (18)
“Sasana dalam kedua negeri [Sri Lanka dan Suvaṇṇabhūmi] melebur menjadi satu
sehingga silsilah mereka berasal dari sasana yang sama yang telah dikirimkan
raja Aśoka dari ibukotanya di Pāṭaliputta.” (30)
[Setelah masa raja Parakkamabāhu dari Sri Lanka] “Para bhikkhu Sri Lanka
diberikan [penahbisan] dengan para bhikkhu Rāmañña [Mon] dan ada pendapat bahwa
karena para bhikkhu Sri Lanka berasal dari garis [silsilah] Soṇa dan Uttara,
mereka berasal dari komuni yang sama.[101] Dengan demikian para sesepuh saling
mengundang untuk berpartisipasi dalam saṅghakamma dan bersama-sama memberikan
penahbisan yang lebih tinggi.” (31)
[Silsilah tersebut memasuki Thailand] “Berulang kali melalui banyak masa... seraya
Buddhisme memasuki negeri ini dalam periode-periode, aliran, dan bentuk yang
berbeda-beda, adalah sangat sulit mengetahui bagaimana mereka melebur dan
bagaimana mereka mengalami kemunduran.” (76)
[Dhammayuttika Nikāya menghidupkan kembali Buddhisme Thai melalui] “pendirian
kembali di Siam suatu silsilah dari Yang Mulia Mahinda, Soṇa, dan Uttara.” (77)
Jadi sementara terdapat beberapa yang kelihatannya hampir seperti kepercayaan
mistis terhadap kemurnian silsilah penahbisan, suara-suara waras masih ditemukan.
Tidak ada bhikkhu yang hidup sekarang dapat menjamin silsilah penahbisannya
sendiri. Dalam situasi ini lebih aman dan lebih masuk akal untuk berfokus pada
cara kehidupan suci dijalankan alih-alih pada klaim yang tidak dapat
diverifikasi atas masa lalu yang sebagian besar tidak tercatat.
Catatan
Kaki Bab 3:
[62] Anāgate vassasate vassāna’ṭṭhārasāni ca,
Uppajjissati so bhikkhu samaṇo paṭirūpako.
Di sini paṭirūpaka jelas tidak bermakna “palsu”.
[63] Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools, 56
[64] Cousins, On the Vibhajjavādins, 153
[65] 如是諸長老應當隨順學 (CBETA, T22, no. 1425, p. 493, c10)
[66] Misalnya Nattier and Prebish, 200
[67] Dīpavaṁsa biasanya menggunakan istilah yang sinonim Mahāsaṅgīka.
[68] Gambaran cermin mitos dari “Permohonan oleh Brahma” yang mendorong Sang
Buddha untuk mengajar.
[69] Lihat Lampiran.
[70] EI, XX, 1929, pg. 22. Lihat Lamotte, History of Indian Buddhism, 299;
Cousins, On the Vibhajjavādins, 141.
[71] Dīpavaṁsa 1.14 ff.
[72] Dīpavaṁsa 4.11, 18, 31, 32, 33, 54, 84, 88, 90; 5.28; 6.24, 29, 39, 43, 54.
[73] Dīpavaṁsa 4.22: Pariyāyadesitañcāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaññeva
neyyathaṁ dīpiṁsu suttakovidā.
[74] Dīpavaṁsa 4.73: Pariyāya desitaṁ cāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaṁ
ce'va neyyathaṁ ajānivāna bhikkhavo.
[75] “Enam”, karena kitab ketujuh, Kathāvatthu, tidak disusun sampai Konsili
Ketiga, yang belakang menurut kronologi Mahāvihāra.
[76] Dīpavaṁsa 4.76, 82
[77] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, xxxvii ff.
[78] Kira-kira setengah dari perselisihan ini adalah dengan Andhaka atau
sub-alirannya.
[79] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, pendahuluan
[80] Kathāvatthu 622
[81] Dikutip dalam Prebish, Śaikṣa-Dharmas yang telah direvisi, 191
[82] Cf. Roth, lv
[83] Pachow, 42
[84] Lihat Edgerton, 1-2; Lamotte, History of Indian Buddhism, 552-556
[85] Ñāṇamoḷi, Path of Purification 486-487 (XIV 25)
[86] Collins (81) mengatakan tentang “definisi-sendiri yang berbasis teks” dari
Mahāvihāra.
[87] Mahāvaṁsa 33.99
[88] Terdapat suatu catatan dalam Samantapāsādikā 3.582 tentang perselisihan
atas suatu poin dari Vinaya, di mana, dalam peringatan yang luar biasa dari
pengaruh teladan Aśoka, diselesaikan oleh menteri sang raja. Saya tidak dapat
menemukan bacaan ini dalam Sudassanavinayavibhāsā, yang mungkin memiliki suatu
hubungan [dengan] Abhayagiri.
[89] Dalam Cūḷavaṁsa (lanjutan yang belakangan dari Mahāvaṁsa) terdapat suatu
kisah tentang suatu teks tertentu bernama “Dhammadhātu”, yang dibawa dari
India. (Cv 41.37ff.) Raja, yang tidak dapat membedakan apa yang benar dan
salah, menyimpannya dalam tempat suci dan memujanya. Ajaran-ajaran yang
diajarkan dalam teks ini sepenuhnya dikesampingkan: kita diberitahukan bahwa
raja tidak memahami teks ini. Apa yang dipertaruhkan adalah ritual pemujaan
naskah fisik.
[90] Mahāvaṁsa 33.111: vetullavādino bhikkhū, abhayagirinivāsino / gāhayitvāsaṭṭhimatte,
jinasāsanakaṇṭake.
[91] Lamotte, History of Indian Buddhism, 371. Beberapa penulis modern (lihat
Perera, 37) menghubungkan ini dengan Vātsīputrīya (Puggalavādin). Ini mungkin
tidak sepenuhnya tidak tepat, karena sejak masa Nikāyasaṅgraha tidak terdapat
banyak kejelasan tentang aliran-aliran ini.
[92] Cūḷavaṁsa 73.19 Kejadian ini juga tercatat dalam prasasti Galvihara dari
Parakkamabāhu. Lihat Hallisey, 178
[93] Cūḷavaṁsa 78.6
[94] Cūḷavaṁsa 78.27
[95] Buddhaghosa, xvi
[96] Mahāvaṁsa 37.216ff
[97] Mahāvaṁsa 37.227
[98] I-Tsing, 9-10
[99] Terima kasih saya haturkan kepada Rupert Gethin atas informasi ini.
[100] Ini merupakan referensi pada kisah Pukkusāti dalam Dhātuvibhaṅga Sutta,
yang meninggalkan keduniawian karena keyakinannya kepada Sang Buddha sebelum
secara resmi menerima penahbisan. Ñāṇasaṁvara juga menyebutkan pelepasan
keduniawian Mahāpajāpati, bhikkhuni pertama, sebagai suatu teladan yang
berharga dalam konteks ini.
[101] Samānasaṁvāsa, suatu istilah teknis Vinaya yang berarti dapat melakukan
saṅghakamma bersama.
Logged
"Holmes once said not to allow your
judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are
antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa
·
Global
Moderator
·
KalyanaMitta
·
·
·
Posts:
3.469
·
Reputasi:
169
·
Gender:
·
Om muni
muni mahamuni sakyamuni svaha
« Reply #14 on: 27
January 2013, 12:54:25 PM »