Selasa, 05 Juli 2022

Serie Ke 12-Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006

 

Konteks Orang Sri Lanka

Ini semua menjadi lebih masuk akal ketika kita mempertimbangkan iklim di mana Dīpavaṁsa dan kronologi-kronologi berikutnya disusun. Kejadian-kejadian yang digambarkan dekat dengan kematian raja Mahāsena sekitar tahun 304 M, yang mengikuti kemenangan Mahāvihāra atas saingan sengitnya vihara Abhayagiri. Persaingan ini telah dimulai sekitar 400 tahun sebelumnya, ketika vihara Abhayagiri, setelah dibangun oleh raja Vaṭṭagāminī, menjadi rumah bagi Bahalamassutissa, pengikut seseorang tertentu yang bernama Mahātissa, yang diusir dari Mahāvihāra karena keakraban yang tidak pantas dengan umat awam. Vihara ini kemudian dianggap sebagai yang bersifat memecah belah dari Theravāda.[87] Abhayagiri menjadi [vihara] yang dihubungkan dengan ajaran-ajaran yang dicurigai diimpor dari daratan [India]. Karena sedikit jika ada dari literatur mereka yang bertahan, tidak jelas persisnya bagaimana posisi doktrinal mereka berkembang.[88]





Kedua vihara menerima dukungan kerajaan sampai masa Vohārika Tissa, kira-kira tahun 230 M, ketika Abhayagirivāsin dituduh mengimpor kitab “Vetulya”. Biasanya diasumsikan bahwa ini sesuatu yang berhubungan dengan Mahāyāna, walaupun terdapat sedikit bukti langsung. Dalam setiap kasus, kitab-kitab ini diganyang. Tidak ada pembahasan tentang ajaran-ajaran yang diajarkan atau mengapa ajaran-ajaran ini sangat berbahaya. Kita bahkan mungkin dimaafkan untuk membayangkan apakah isi sebenarnya dari teks-teks ini sepenuhnya relevan.[89]


Dalam setiap kasus, buku-buku “Vetulya” dibakar dan para bhikkhu dilecehkan. Mengikuti ini, raja-raja Vohārikatissa, Goṭhābhaya, dan Jeṭṭhatissa mendukung Mahāvihāra. Tetapi Abhayagiri terus menyebabkan masalah. 60 orang bhikkhu diusir oleh Goṭhābhaya karena menganut Vetullavāda; ini digambarkan dalam Mahāvaṁsa sebagai “duri dalam ajaran sang penakluk”,[90] persis seperti Dīpavaṁsa menyebut Vajjiputtaka dan para pemecah belah lainnya sebagai “duri dalam pohon banyan”. Belakangan kemudian, Nikāyasaṅgraha dari Dharmakīrti (abad ke-14) mengubah perumpamaan yang murni harfiah ini menjadi sejarah, dengan menyatakan bahwa kira-kira tahun 32 SM, tak lama setelah Abhayagiri dibangun, sekelompok bhikkhu Vajjiputtaka, di bawah kepemimpinan seseorang tertentu bernama Dharmaruci, datang ke Sri Lanka dan, ditolak oleh Mahāvihāra, menemukan dukungan di Abhayagiri. Inilah Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika yang lalai.[91]

Tetapi segera keadaan berubah. Seorang bhikkhu bernama Saṅghamitta datang dari India. Dilukiskan dalam warna yang paling gelap oleh Mahāvihāravāsin, bhikkhu ini membantu Abhayagiri untuk berkumpul kembali. Ia ditolak oleh raja Jeṭṭhatissa dan melarikan diri kembali ke India; tetapi pada saat penobatan Mahāsena ia kembali dan melakukan upacara penobatan untuk raja. Di bawah pengaruh Saṅghamitta, raja Mahāsena menganiaya Mahāvihāra: para bhikkhu diusir dari vihara tersebut selama sembilan tahun, dan Abhayagirivāsin, bersama dengan menteri Soṇa, merampok harta kekayaan Mahāvihāra untuk menghias Abhayagiri. Para pendukung dari Mahāvihāra sangat gempar sehingga seorang menteri bernama Meghavaṇṇabhaya mengundurkan diri ke wilayah Malaya, di mana Mahāvihāravāsin tinggal dalam pengasingan, mengumpulkan laskar perang dan bergerak menuju ibukota. Namun masa itu sifat kepahlawanan masih berlaku. Menteri pemberontak tersebut merenungkan bahwa ia tidak seharusnya makan jauh dari sahabat baiknya sang raja, maka menjelang peperangan itu mereka berbagi sarapan. Raja bertanya mengapa Meghavaṇṇabhaya bermaksud untuk berperang, dan ia menjawab bahwa ia tidak tahan melihat penghancuran Mahāvihāra. Raja dengan bijaksana meminta maaf dan berjanji untuk membangun kembali Mahāvihāra: suatu teladan mengagumkan bagi mereka yang akan melakukan perang suci saat ini. Tetapi salah satu istri raja sangat bersedih sehingga ia memerintahkan Saṅghamitta dan Soṇa dibunuh. Abhayagiri kemudian dilucuti untuk menghiasi Mahāvihāra.

Kejadian-kejadian ini memuncak dengan kematian Mahāsena. Mahāvaṁsa, dalam terjemahan Geiger, berakhir dengan kata-kata ini: “Demikianlah ia mengumpulkan bagi dirinya sendiri banyak jasa kebajikan dan banyak rasa bersalah,” sangat sempurna membungkus dunia moral yang sangat dalam dan ambigu dari kronologis Sri Lanka. Di sepanjangnya kita melihat sebuah pengabdian yang sejati pada cita-cita Dhamma. Sementara terdapat sedikit bukti perembesan ajaran-ajaran dan praktek yang maju melalui budayanya, masih raja-raja membuat usaha terus-menerus untuk menghidupkan cita-cita raja yang baik seperti yang ditunjukkan oleh Aśoka. Tetapi permintaan terhadap pemerintah mutlak tidak berkompromi dengan cita-cita yang mulia ini. Setelah dengan dekat menjalin konsep Buddhisme mereka dengan bangsa Sri Lanka, Sangha menemukan tidak mungkin mempertahankan ketidakbergantungan dari arena politik. Sementara kita tidak dapat menerima semua yang kita temukan dalam halaman-halaman yang berdarah ini, kita harus ingat bahwa sejarah adalah seperti ini, di mana pun, sepanjang waktu. Bagi seluruh Sri Lanka tidak lebih buruk daripada, dan mungkin lebih baik daripada kebanyakannya. Tidak diragukan tradisi-tradisi Buddhis lain telah menghadapi pilihan yang pahit dan perjuangan yang mematikan. Perbedaannya bahwa kita tidak mengetahui apa pun tentang tradisi-tradisi Buddhis lain, karena orang Sinhala satu-satunya umat Buddhis dari India kuno yang melestarikan sebuah literatur sejarah. Literatur tersebut menyatakan bahwa tanpa kadangkala kekerasan yang mendukung, Buddhisme tidak akan bertahan. Sementara kita harus menyesalkan kekerasan itu, kita tidak dapat menolak bahwa tradisi, termasuk teks-teks yang mengatakan kita kisah ini, kenyataannya telah bertahan di mana semua yang lain gagal.

Dīpavaṁsa dan Mahāvaṁsa dibentuk dalam suatu iklim perjuangan yang menyedihkan dan kejam. Bagi para bhikkhu dari Mahāvihāra, perbedaan antara aliran-aliran bukan suatu perselisihan yang sopan mengenai poin-poin Abhidhamma, tetapi suatu perang yang mematikan untuk bertahan hidup. Pembentukan tahap “klasik” dari literatur Mahāvihāravāsin – kronologis dan komentar – merupakan akibat langsung dari perjuangan ini.

Tentu saja gambar ini berat sebelah dan melodramatis. Fa-xian, yang menghabiskan dua tahun di Sri Lanka sedikit setelah kejadian yang telah kita gambarkan, melihat Abhayagiri sebagai vihara utama; Abhayagiri memiliki 5000 orang bhikkhu, sedangkan Mahāvihāra hanya dapat mengumpulkan 3000 orang bhikkhu. Secara karakteristik, Fa-xian tidak mengatakan adanya ketegangan, tetapi memuji keindahan dan ketaatan yang ia saksikan dalam kedua vihara. Semangat pertempuran dari kronologi adalah sebanyak suatu gejala dari kerangka pemikiran karena ia merupakan catatan perselisihan sebenarnya.

Terdapat sesuatu dalam kisah-kisah dari masa lalu ini yang memenuhi kebutuhan yang mendesak bagi Sangha di masa kini. Mahāvihāravāsin, dalam masa-masa yang keras dan sangat terpolitisasi itu, membutuhkan suatu “yang lain”. Ini dapat dilihat sebagai suatu ungkapan dari ideologi vibhajjavāda, suatu kebutuhan untuk memisahkan diri sendiri untuk menciptakan suatu rasa kesucian dan kemurnian. Di seluruh pemikiran religius dan magis, suatu pemisahan fisik yang diritualkan merupakan suatu sumber dan makanan bagi kekuatan suci. Definisi dan identifikasi “yang lain” dibutuhkan untuk mendefinisikan dan mengidentifikasikan “diri sendiri”. Perwujudan ini perlu menyetankan petunjuk “yang lain” pada sisi gelap Mahāvihāravāsin: mereka menolak apa yang mereka takuti dalam dirinya sendiri. Kita telah mencatat ironi yang melekat dalam Dīpavaṁsa: ditulis dengan tidak sopan, ia menuduh “mereka” dengan tekstualitas yang buruk; dan sementara  salah satu tesis utama mereka adalah impor luar yang dicangkokkan dengan buruk, ia menuduh “mereka” memperkenalkan unsur-unsur asing. Kita akan melihat dalam pembahasan kita tentang Śāriputraparipṛcchā bahwa Dīpavaṁsa tidak sendirian dalam memfokuskan pada butiran debu di mata saudaranya.

Sementara ironi ini mungkin aneh, bahkan menggelikan, teks yang sama mengandung ironi yang agak lebih berbahaya. Yang paling jelas adalah bahwa, walaupun desakan tradisi dalam melestarikan Buddhisme yang “asli” tidak berubah, kenyataannya titik berat kronologis adalah untuk mensahkan penyatuan Gereja dan Negera, suatu inovasi revolusioner tanpa contoh sebelumnya di daratan utama [India]. Ini sebabnya banyak penekanan diberikan pada penemuan kembali yang mistik Aśoka sebagai pemenang dari cabang Buddhisme Mahāvihāra. Tetapi melampaui teladan perlindungan Aśoka terhadap Sangha atau bahkan ikut campur dalam urusan Sangha, kronologis mengejar politisasi Buddhisme sampai pada kesimpulan yang tidak terelakkan: pembenaran Buddhis atas perang. Mahāvaṁsa menggambarkan raja Duṭṭhagāmini yang merasa bersalah kembali dari medan perang dan mencari pelipur lara dari Sangha atas pembunuhan ribuan orang dalam perang, sama seperti Aśoka mencari penghiburan dari Moggaliputtatissa atas pembunuhan para bhikkhu Aśokārāma, atau Ajātasattu mencari penghiburan dari Sang Buddha atas pembunuhan terhadap ayahnya raja Bimbisāra. Para Arahat meyakinkan raja bahwa ia tidak perlu merasa begitu bersalah, karena ia sebenarnya hanya membunuh satu setengah orang: satu adalah yang menjalankan lima sila; setengahnya telah mengambil perlindungan dalam Tiga Permata. Sisanya tidak dihitung.

Seperti semua mitos baik, kutipan ini tidak lekang oleh waktu; karena ini menjadi sentral bagi pembenaran Sangha Sri Lanka modern atas perang melawan Tamil. Theravāda, sementara mempertahankan suatu kualitas tradisi tekstual, dalam praktek tidak melestarikan lebih banyak atau lebih kurang Buddhisme sejati daripada aliran lainnya. Tetapi perbedaan yang sangat nyata antara bhikkhu ideal seperti digambarkan dalam sutta-sutta awal dan kenyataan Buddhisme seperti yang ada menciptakan suatu ketegangan dalam tingkatan yang dalam, suatu ketegangan yang tidak dapat diselesaikan, tetapi diproyeksikan pada “yang lain”.

Adalah raja Parakkamabāhu I (1153-1186) yang, di tengah-tengah kampanye militer yang tampaknya tidak habis-habisnya, akhirnya mendamaikan berbagai persaudaraan Sangha. Cūḷavaṁsa dengan tajam menyatakan bahwa: “walaupun banyak upaya yang dilakukan dalam berbagai cara oleh para raja sebelumnya sampai masa sekarang, [para bhikkhu] berubah dalam sikap mereka dari satu ke yang lainnya dan menyukai berbagai perselisihan.”[92] Analogi dengan Konsili Aśoka di sini dibuat eksplisit: “Bahkan seperti Penguasa Manusia Dhammāsoka dengan Moggaliputtatissa, demikian juga ia [Parakkamabāhu] mempercayakan maha sesepuh Mahākassapa....”[93] Mengikuti teladan Aśoka, mereka mengumpulkan semua bhikkhu bersama-sama, menanyai mereka, menyelesaikan masalah satu demi satu, mengusir para bhikkhu yang jahat, dan menciptakan Sangha yang bersatu “seperti yang telah ada di masa Sang Buddha.”[94]

Dari sedikit contoh ini – yang dapat diperluas tidak terbatas – kita dapat melihat bagaimana kronologis Mahāvihāravāsin dibangun pada suatu struktur dari siklus yang berulang-ulang, dari persamaan yang berulang kali. Ini menjadi jelas bagaimana penggambaran Dīpavaṁsa terhadap Mahāsaṅghika sebagai para bhikkhu Vajjiputtaka yang jahat adalah suatu mitos pembacaan kembali dari situasi pada masa Dīpavaṁsa. Dalam mitos waktu adalah siklus yang terus-menerus menggigit ekornya sendiri: adalah seperti ini sekarang, maka pasti telah seperti ini di masa lampau. Nama-nama dan detailnya menunjukkan permukaan yang berkilauan dari penampilan yang selalu berubah, tetapi pola utamanya bermain dengan dirinya sendiri dengan meyakinkan yang tidak terelakkan, seperti perubahan musim atau bintang yang berputar di langit. Kronologi Sinhala dengan berani memadukan sejarah politik dan budaya bangsa mereka sendiri dengan mitos penting Buddhis, kehidupan Sang Buddha. Sama seperti setiap penahbisan adalah pengulangan yang diritualkan dari pelepasan keduniawian Sang Buddha, membuat tindakan jauh itu nyata pada masa kini, demikian pula setiap kejadian dalam stuktur mitos memberitahukan masa sekarang yang abadi, makna yang selalu ada dari sejarah yang hidup sebagai takdir. Demikianlah pengkambinghitaman dan pengusiran Vajjiputtaka menjadi suatu pembersihan yang dibutuhkan kapan pun kemurnian Sangha terancam.

Apakah Buddhaghosa seorang Theravādin?

Gagasan kemurnian silsilah merupakan unsur yang penting dalam strategi membangun suatu aliran Buddhisme. Ini walau kenyataan bahwa gagasan paramparā, suatu silsilah penahbisan tertentu, tidak ada dalam teks-teks awal. Tentu saja, ini tidak masuk akal untuk mengambil kesimpulan dari teks-teks awal bahwa teks-teks ini menganggap suatu nilai tertentu sebagai gagasan dari hubungan langsung penahbisan dari guru ke murid. Tetapi ini tidak mungkin ditafsirkan sebagai sentral.

Dalam cara yang sama Warder bertanya apakah Nāgārjuna adalah seorang Mahāyānis, kadangkala seseorang dapat membayangkan sampai jangkauan apa Buddhaghosa, penyusun abad ke-5 dari tradisi komentar Mahāvihāravāsin yang definitif, adalah seorang Theravādin dalam hal silsilah penahbisannya.

Tidak ada yang eksplisit untuk dilanjutkan. Tradisi yang belakangan menyatakan bahwa ia lahir di Magadha, tetapi ini adalah upaya yang transparan untuk memastikan latar belakangnya yang ortodoks. Menariknya, orang Burma mempertahankan bahwa Buddhaghosa lahir di Burma. Sementara tidak ada orang selain orang Burma yang akan menganggap ini masuk akal, tradisi ini menyatakan bahwa penahbisannya dilacak oleh orang Burma sampai misi Soṇa dan Uttara ke Suvaṇṇabhūmi. Dengan kata lain, ia datang dari salah satu misi yang lain, bukan berasal dari misi yang membangun Mahāvihāra. Dari perspektif orang Burma belakangan ini tentu saja semuanya “Theravāda”, tetapi pada masa Buddhaghosa gagasan suatu bentuk Buddhisme yang bersatu di seluruh Asia tenggara tidak ada, dan kenyataannya terdapat banyak aliran di wilayah tersebut.

Karena Buddhaghosa datang dari India, dan dianggap bahwa kebanyakan mayoritas Buddhis India tidak menggabungkan diri dengan Theravādin dalam pengertian sempit yang dibutuhkan oleh Dīpavaṁsa (= Mahāvihāravāsin), kita mungkin membayangkan apakah penahbisannya benar-benar “Theravādin”. Ia memang menyebutkan telah berdiam di beberapa tempat pada daratan utama, beberapa telah diidentifikasi di India Selatan: “Mayūrasuttapaṭṭana” (Mylapore dekat Chennai); “Kañcipura” (Conjevaram dekat Chennai); dan kata-kata tambahan dalam Visuddhimagga menggambarkan ia sebagai “dari Moraṇḍacetaka” (Andhara?).[95] Namun, Mahāvaṁsa mengatakan ia lahir di dekat Bodhgaya, walaupun ini adalah tradisi yang agak belakangan, yang dianggap berasal dari Dharmakīrti pada abad ke-14. Tentang penahbisannya, Mahāvaṁsa tidak mungkin kurang spesifik: ketika berkelana “di sekitar India”, ia berdiam di “sebuah vihara”, di mana ia bertemu dengan “seorang guru” bernama Revata, di mana ia mendapatkan penahbisan.[96] Revata dikatakan mengajarkan pāḷi dari Abhidhamma, tetapi pāḷi di sini digunakan dalam pengertian umum teks dan tidak harus mengimplikasikan kanon Pali yang kita ketahui. Buddhaghosa tampaknya menyiapkan suatu ulasan yang disebut Ñāṇodaya, yang tidak ada yang diketahui tentangnya, dan Aṭṭhasālinī, suatu komentar terhadap Dhammasaṅgaṇī. Komentar yang ada oleh Buddhaghosa terhadap Dhammasaṅgaṇī memang disebut Aṭṭhasālinī, tetapi tidak diketahui apakah ini memiliki hubungan dengan karya yang lebih awal, jika memang ia pernah ada.

Ketika Buddhaghosa ingin mengerjakan karya yang lebih lanjut tentang komentar paritta, Revata mengatakan padanya:

“Di sini hanya teks [pāḷi] yang telah dipertahankan,
tidak ada komentar di sini,
dan sama halnya tidak ada Ajaran Sang Guru:
yang telah terpecah dan tidak ditemukan.”[97]

Revata kemudian memuji kemurnian tradisi komentar Sri Lanka dan mendorong Buddhaghosa untuk pergi ke sana dan mempelajarinya. Kisah ini adalah suatu gagasan legenda untuk menekankan keunggulan tradisi Sri Lanka; meragukan apakah orang India melihat hal ini dengan cara yang sama. Polemik dikesampingkan, tradisi ini tidak memberikan kita dasar yang dapat dipercaya yang dapat memastikan bahwa Buddhaghosa telah memiliki suatu penahbisan dalam tradisi Mahāvihāra.

« Last Edit: 27 January 2013, 11:51:38 AM by ariyakumara »

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/ip.gif Logged

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

·        Global Moderator

·        KalyanaMitta

·        *****

·        https://dhammacitta.org/forum/avatarsc/avatar_3667_1513473972.png

·        Posts: 3.469

·        Reputasi: 169

·        Gender: Male

·        Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/post/xx.gif

Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

« Reply #13 on: 27 January 2013, 08:21:09 AM »

Saya mengambil contoh Buddhaghosa hanya untuk membuat poin retorika. Tetapi adalah biasa bagi para bhikkhu untuk melakukan perjalanan di sekitar vihara-vihara yang berbeda, berdiam dengan persaudaraan yang berbeda. Ini pasti telah terjadi bahkan lebih banyak dengan vihara Abhayagiri, yang dikatakan oleh Mahāvihāravāsin menerima para bhikkhu India dari tradisi yang berbeda. Tetapi Abhayagirivāsin belakangan bergabung dengan Mahāvihāravāsin, walaupun ketidakmurnian yang diduga benar ini dalam silsilah penahbisan mereka.

Situasi yang sama pasti telah terjadi di seluruh Buddhisme Asia Tenggara, karena kita mengetahui bahwa wilayah Thailand, Burma, dan Kamboja di mana Theravāda sekarang berkembang sebelumnya didominasi Mahāyāna, atau Buddhisme Śrāvakayāna Sanskrit. Kita mencatat menyebarluasnya kejadian kultus Upagupta di seluruh wilayah ini, yang sepenuhnya tidak ada dari Sri Lanka, dan membayangkan apakah ini memberikan suatu petunjuk pada jenis Buddhisme yang ada sebelum Theravāda yang ortodoks. Menurut I-Tsing, di daratan pada perbatasan timur India semua empat aliran utama berkembang, sedangkan di wilayah pulau Mūlasarvāstivāda menonjol.[98]

Ketika wilayah-wilayah ini “diubah keyakinannya” menjadi Theravāda (yang terutama terjadi sekitar abad ke-11 s/d 12), tidak mungkin bahwa semua bhikkhu mengambil penahbisan baru. Tentu saja, sejarah resmi akan menyatakan bahwa ketika agama [Buddha] direformasi sehingga semua bhikkhu menyesuaikan diri dengan sistem baru. Tetapi kepraktisan dari hal ini tidak masuk akal: mengirimkan para bhikkhu administrasi kota yang berjalan sejauh ribuan mil dari intaian macan, penuh penjahat, jejak hutan-hutan yang berhantu mencari tak terhitung desa kecil, berusaha membujuk para bhikkhu senior bahwa penahbisan mereka tidak sah atau tidak tepat dan harus dilakukan lagi, semuanya berdasarkan beberapa kompromi politik di sebuah ibukota yang jauh, di sebuah wilayah yang perbatasan dan kesetiaannya selalu bergeser. Sebagai sejarah ini hanyalah khayalan, dan kenyataannya pasti bahwa reformasi itu secara langsung mempengaruhi vihara-vihara pusat tertentu. Yang lain mungkin menggunakan suatu prosedur informal seperti daḷhikamma (tindakan memperkuat), yang hanya merupakan prosedur ad hoc [dengan maksud khusus] yang ditemukan sebagai pengganti saṅghakamma yang sebenarnya. Tetapi bagi kebanyakan reformasi tidak relevan, bahkan jika mereka pernah mendengarnya. Hanya masuk akal untuk menyimpulkan bahwa silsilah “Theravāda” yang saat ini, seperti semua yang lain, pasti merupakan campuran dari banyak untaian yang berbeda.

Penelitan Bizot di daerah ini menunjukkan bahwa situasi saat ini dalam Theravāda kenyataannya mempertahankan dua gaya penahbisan yang berbeda.[99] Satu melibatkan pembacaan perlindungan selama pabbajjā; yang lain, perlindungan dibacakan dua kali, satu mengakhiri kata-kata dengan anusvāra –ṁ (dilafalkan –ng), dan lagi dengan nasal labial –m. Dua pernyataan pabbajjā memiliki akarnya dalam Buddhisme Mon kuno dari masa Dvāravatī (abad ke-7 s/d 8 ), yang mungkin diperkenalkan ke Asia Tenggara (“Suvaṇṇabhūmi”) dari India Selatan. Bizot meyakini bahwa pabbajjā dua-pernyataan ini berhubungan dengan praktek meditasi esoterik tertentu. Pabbajjā satu-pernyataan dari Mahāvihāra diperkenalkan kemudian, sekitar abad ke-14 s/d 15, oleh para bhikkhu yang berhubungan dengan Sri Lanka. Tetapi ketika silsilah Sri Lanka didirikan kembali dari Thailand, ini dengan pabbajjā dua-pernyataan dari Mon. Sementara itu, pabbajjā satu-pernyataan secara terus-menerus dipaksakan dalam Sangha di Asia Tenggara, khususnya mengikuti reformasi Dhammayuttika yang modernis dari Pangeran Mongkut pada abad ke-19. Dalam salah satu ironi sejarah yang lezat ini, pabbajjā dua-pernyataan Mon sekarang hanya bertahan di Sri Lanka, sedangkan pabbajjā satu-pernyataan tersebar luas di seluruh Asia Tenggara.

Kerumitan situasi ini diakui oleh Somdet Ñāṇasaṁvara, Saṅgharāja Thailand saat ini, dalam suatu karya penting Buddha Sāsana Vaṁsa. Karya ini membahas silsilah penahbisan Thai modern dan reformasi yang diperkenalkan pada abad ke-19 ketika Dhammayuttika Nikāya dibentuk berdasarkan tradisi Burma Mon. diyakini bahwa tradisi ini berasal dari misi Soṇa and Uttara ke Suvaṇṇabhūmi pada masa Aśoka. Berikut adalah beberapa pernyataan Somdet Ñāṇasaṁvara:

“Sejak Mahāparinibbāna Sang Buddha sampai saat ini, lebih dari 2000 tahun telah berlalu, dengan demikian sulit untuk mengetahui apakah silsilah murni yang diturunkan kepada kita masih utuh atau tidak.” (16)

“Jika silsilah ini telah lenyap, ini tidaklah merugikan, seperti halnya pengabdian Pukkusāti[100] dalam kehidupan tanpa rumah tidaklah merugikan.” (18)

“Sasana dalam kedua negeri [Sri Lanka dan Suvaṇṇabhūmi] melebur menjadi satu sehingga silsilah mereka berasal dari sasana yang sama yang telah dikirimkan raja Aśoka dari ibukotanya di Pāṭaliputta.” (30)

[Setelah masa raja Parakkamabāhu dari Sri Lanka] “Para bhikkhu Sri Lanka diberikan [penahbisan] dengan para bhikkhu Rāmañña [Mon] dan ada pendapat bahwa karena para bhikkhu Sri Lanka berasal dari garis [silsilah] Soṇa dan Uttara, mereka berasal dari komuni yang sama.[101] Dengan demikian para sesepuh saling mengundang untuk berpartisipasi dalam saṅghakamma dan bersama-sama memberikan penahbisan yang lebih tinggi.” (31)

[Silsilah tersebut memasuki Thailand] “Berulang kali melalui banyak masa... seraya Buddhisme memasuki negeri ini dalam periode-periode, aliran, dan bentuk yang berbeda-beda, adalah sangat sulit mengetahui bagaimana mereka melebur dan bagaimana mereka mengalami kemunduran.” (76)

[Dhammayuttika Nikāya menghidupkan kembali Buddhisme Thai melalui] “pendirian kembali di Siam suatu silsilah dari Yang Mulia Mahinda, Soṇa, dan Uttara.” (77)

Jadi sementara terdapat beberapa yang kelihatannya hampir seperti kepercayaan mistis terhadap kemurnian silsilah penahbisan, suara-suara waras masih ditemukan. Tidak ada bhikkhu yang hidup sekarang dapat menjamin silsilah penahbisannya sendiri. Dalam situasi ini lebih aman dan lebih masuk akal untuk berfokus pada cara kehidupan suci dijalankan alih-alih pada klaim yang tidak dapat diverifikasi atas masa lalu yang sebagian besar tidak tercatat.

Catatan Kaki Bab 3:

[62] Anāgate vassasate vassāna’ṭṭhārasāni ca,
Uppajjissati so bhikkhu samaṇo paṭirūpako.
Di sini paṭirūpaka jelas tidak bermakna “palsu”.

[63] Cousins, The 'Five Points' and the Origins of the Buddhist Schools, 56

[64] Cousins, On the Vibhajjavādins, 153

[65]
如是諸長老應當隨順學 (CBETA, T22, no. 1425, p. 493, c10)

[66] Misalnya Nattier and Prebish, 200

[67] Dīpavaṁsa biasanya menggunakan istilah yang sinonim Mahāsaṅgīka.

[68] Gambaran cermin mitos dari “Permohonan oleh Brahma” yang mendorong Sang Buddha untuk mengajar.

[69] Lihat Lampiran.

[70] EI, XX, 1929, pg. 22. Lihat Lamotte, History of Indian Buddhism, 299; Cousins, On the Vibhajjavādins, 141.

[71] Dīpavaṁsa 1.14 ff.

[72] Dīpavaṁsa 4.11, 18, 31, 32, 33, 54, 84, 88, 90; 5.28; 6.24, 29, 39, 43, 54.

[73] Dīpavaṁsa 4.22: Pariyāyadesitañcāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaññeva neyyathaṁ dīpiṁsu suttakovidā.

[74] Dīpavaṁsa 4.73: Pariyāya desitaṁ cāpi atho nippariyāya desitaṁ, Nītathaṁ ce'va neyyathaṁ ajānivāna bhikkhavo.

[75] “Enam”, karena kitab ketujuh, Kathāvatthu, tidak disusun sampai Konsili Ketiga, yang belakang menurut kronologi Mahāvihāra.

[76] Dīpavaṁsa 4.76, 82

[77] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, xxxvii ff.

[78] Kira-kira setengah dari perselisihan ini adalah dengan Andhaka atau sub-alirannya.

[79] Ñāṇamoḷi, The Path of Discrimination, pendahuluan

[80] Kathāvatthu 622

[81] Dikutip dalam Prebish, Śaikṣa-Dharmas yang telah direvisi, 191

[82] Cf. Roth, lv

[83] Pachow, 42

[84] Lihat Edgerton, 1-2; Lamotte, History of Indian Buddhism, 552-556

[85] Ñāṇamoḷi, Path of Purification 486-487 (XIV 25)

[86] Collins (81) mengatakan tentang “definisi-sendiri yang berbasis teks” dari Mahāvihāra.

[87] Mahāvaṁsa 33.99

[88] Terdapat suatu catatan dalam Samantapāsādikā 3.582 tentang perselisihan atas suatu poin dari Vinaya, di mana, dalam peringatan yang luar biasa dari pengaruh teladan Aśoka, diselesaikan oleh menteri sang raja. Saya tidak dapat menemukan bacaan ini dalam Sudassanavinayavibhāsā, yang mungkin memiliki suatu hubungan [dengan] Abhayagiri.

[89] Dalam Cūḷavaṁsa (lanjutan yang belakangan dari Mahāvaṁsa) terdapat suatu kisah tentang suatu teks tertentu bernama “Dhammadhātu”, yang dibawa dari India. (Cv 41.37ff.) Raja, yang tidak dapat membedakan apa yang benar dan salah, menyimpannya dalam tempat suci dan memujanya. Ajaran-ajaran yang diajarkan dalam teks ini sepenuhnya dikesampingkan: kita diberitahukan bahwa raja tidak memahami teks ini. Apa yang dipertaruhkan adalah ritual pemujaan naskah fisik.

[90] Mahāvaṁsa 33.111: vetullavādino bhikkhū, abhayagirinivāsino / gāhayitvāsaṭṭhimatte, jinasāsanakaṇṭake.

[91] Lamotte, History of Indian Buddhism, 371. Beberapa penulis modern (lihat Perera, 37) menghubungkan ini dengan Vātsīputrīya (Puggalavādin). Ini mungkin tidak sepenuhnya tidak tepat, karena sejak masa Nikāyasaṅgraha tidak terdapat banyak kejelasan tentang aliran-aliran ini.

[92] Cūḷavaṁsa 73.19 Kejadian ini juga tercatat dalam prasasti Galvihara dari Parakkamabāhu. Lihat Hallisey, 178

[93] Cūḷavaṁsa 78.6

[94] Cūḷavaṁsa 78.27

[95] Buddhaghosa, xvi

[96] Mahāvaṁsa 37.216ff

[97] Mahāvaṁsa 37.227

[98] I-Tsing, 9-10

[99] Terima kasih saya haturkan kepada Rupert Gethin atas informasi ini.

[100] Ini merupakan referensi pada kisah Pukkusāti dalam Dhātuvibhaṅga Sutta, yang meninggalkan keduniawian karena keyakinannya kepada Sang Buddha sebelum secara resmi menerima penahbisan. Ñāṇasaṁvara juga menyebutkan pelepasan keduniawian Mahāpajāpati, bhikkhuni pertama, sebagai suatu teladan yang berharga dalam konteks ini.

[101] Samānasaṁvāsa, suatu istilah teknis Vinaya yang berarti dapat melakukan saṅghakamma bersama.

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/ip.gif Logged

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

·        Global Moderator

·        KalyanaMitta

·        *****

·        https://dhammacitta.org/forum/avatarsc/avatar_3667_1513473972.png

·        Posts: 3.469

·        Reputasi: 169

·        Gender: Male

·        Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/post/xx.gif

Re: Sects and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

« Reply #14 on: 27 January 2013, 12:54:25 PM »

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda