Selasa, 05 Juli 2022

Serie Ke-10-Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006

 

Tuduhan penting lainnya adalah bahwa Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika mengubah teks-teks kuno, dengan menolak Parivāra, enam kitab Abhidhamma,[75] Paṭisambhidā, Niddesa, beberapa Jātaka, dan beberapa syair, dan melanjutkan menyusun teks-teks lain.[76] Semua karya ini ditemukan dalam kanon Pali. Tanpa kecuali, para sarjana modern setuju bahwa karya-karya ini kenyataannya belakangan dan tidak dapat dianggap buddhavacana yang asli. Dengan demikian Mahāsaṅghika dapat dengan benar diakui sebagai pelopor pendekatan historis-kritis yang akurat pada teks-teks Buddhis.




Gambaran Dīpavaṁsa tentang teks-teks yang ditolak merupakan proyeksi dari sisi gelap Mahāvihāra. Secara bawah sadar, mereka mengetahui sepenuhnya bahwa teks-teks ini adalah belakangan. Kedahsyatan serangan mereka – yang digemakan di tempat lain – menunjukkan ketakutan mereka menerima hal ini, dan hal yang sama dibutuhkan untuk menyebabkan masalah keluar. Mengapa mereka sangat takut? Mengapa tidak hanya menerima, seperti yang dipunyai semua bukti, bahwa beberapa teks mereka bukan buddhavacana? Menerima ketidakaslian teks mereka sendiri akan menghancurkan gambaran diri mereka sendiri sebagai benteng pertahanan dari Buddhisme yang asli, murni. Ini pada gilirannya akan membuat omong kosong ideologi Sri Lanka sebagai “Dhammadīpa”, dan akan meruntuhkan kredibilitas Mahāvihāra dalam persaingan atas dukungan kerajaan dengan Abhayagiri. Ketakutan ini sangat nyata: kita tidak perlu ragu bahwa pada waktu tertentu Mahāvihāra harus berdiri berhadapan dengan kehancurannya sendiri. Tetapi kenyataan tentang ancaman tidak seharusnya membutakan kita pada ilusi yang menyihir tanggapan terhadap ancaman itu.


Daftar teks yang ditolak sangat teliti: “beberapa Jātaka”, “beberapa syair”. Seperti yang telah diketahui, beberapa Jātaka membentuk bagian dari kumpulan kitab suci awal, sedangkan yang lainnya ditambahkan terus-menerus bertahun-tahun. Sama halnya, banyak syair dari Khuddakanikāya adalah awal, tetapi lebih banyak terdapat di antara tingkatan penambahan yang terbaru pada kanon.

Dalam bentuk yang sekarang, semua teks yang ditolak ini berasal dari masa sesudah Aśoka. Sementara proyek Abhidhamma pasti telah berjalan pada masa Aśoka – seperti yang dinyatakan oleh hubungan Abhidhamma Moggaliputtatissa dan ditegaskan oleh kesamaan substansial antara teks-teks Abhidhamma yang ada – teks-teks seperti yang kita ketahui pasti diselesaikan belakangan. Sama halnya, Paṭisambhidāmagga berasal dari masa sekitar 100 M.[77] Niddesa merupakan penerapan metodologi Abhidhamma pada beberapa syair awal, dan pasti berasal dari masa yang sama. Dengan demikian kita dengan teguh berada pada periode “kanonik belakangan” dari literatur Mahāvihāra, dan karenanya seharusnya melihat perselisihan dalam periode ini.

Jika kita ingin mengetahui dengan siapa Mahāvihāravāsin berdebat, komentar Kathāvatthu, walaupun disusun belakangan, merupakan sumber utama informasi kita. Sangat berlimpah, ini menyebutkan perselisihan pendapat dengan Andhaka,[78] suatu kelompok aliran Mahāsaṅghika di wilayah Andhra, termasuk Amarāvati, Nāgārjunikoṇḍa, dst. Demikianlah kita mengetahui bahwa Mahāvihāravāsin berdebat Abhidhamma dengan panjang lebar dengan Andhaka, dan ini pasti mengikuti bahwa Andhaka menolak Abhidhamma Mahāvihāra dan literatur yang berkaitan. Tetapi ini mungkin tidak begitu penting dengan sendirinya, karena ini mungkin bahwa kebanyakan aliran India tidak menerima Abhidhamma Mahāvihāra – dalam kenyataannya, mereka mungkin hampir tidak pernah mendengarnya. Apa masalahnya tidak begitu banyak bahwa Andhaka menolak teks-teks ini, tetapi bahwa Mahāvihāravāsin mengetahui mereka menolak teks-teks ini, dan ini menyakitkan.

Paṭisambhidāmagga dan Niddesa juga penting di sini, walaupun dalam cara yang berbeda. Keduanya dimasukkan dalam Khuddakanikāya, tetapi masing-masing memiliki persamaan dengan Abhidhamma. Paṭisambhidā merupakan kumpulan ajaran minor untuk sutta-sutta awal. Makna utamanya menghubungkan kemampuan pada penjelasan teks dengan penembusan Dhamma: dhamma (teks); attha (makna); nirutti (bahasa); paṭibhāṇa (kelancaran berbicara, yaitu kemampuan seseorang yang, dengan mengetahui teks dan maknanya, dan lancar dalam cara pengungkapan, untuk secara spontan memberikan suatu ajaran yang akurat dan menginspirasi). Paṭisambhidāmagga mengambil kelompok tak berkala ini dan, dengan melebarkan penerapannya hampir melampaui pengenalan, mengembangkan “Buku Sang Jalan” Mahāvihāra pertama yang berbeda. Seperti halnya semua kanonik Abhidhamma, penekanannya pada definisi ajaran yang tepat dan jelas. Warder menunjukkan bahwa penekanan pada kategori ajaran tertentu ini merupakan khas Mahāvihāra.[79]

Niddesa adalah sama tentang penjelasan tekstual. Teks ini merupakan pasangan komentar bergaya Abhidhamma pada Khaggavisāṇa Sutta, Aṭṭhakavagga, dan Pārāyanavagga, syair-syair awal yang kemudian disusun dalam Sutta Nipāta. Gaya teks-teks ini sangat Abhidhammik, yang sangat berlawanan dengan bahasa yang sederhana dan alami dari teks-teks yang dikomentarinya. Dalam kenyataannya, teks ini muncul sebagai upaya untuk “menjinakkan” beberapa teks awal yang mengungkapkan posisi ajaran yang tidak mudah didamaikan dengan pendirian perkembangan Mahāvihāra.

Mengenai Jataka dan syair-syair yang belakangan, ini kelihatannya seakan-akan tidak mungkin kontroversial secara ajaran. Teks ini terutama berkaitan dengan ajaran Bodhisattva yang sedang muncul, yang umum di seluruh aliran Buddhis, dan jika ada kita mengharapkan aliran Mahāsaṅghika, seperti Andhaka, menjadi pelopor dalam gerakan ini. Namun demikian, Kathāvatthu memang mencatat beberapa kontroversi tentang Bodhisattva dan karirnya. Andhaka terbukti menegaskan bahwa Bodhisattva terlahir sebagai hewan atau di neraka atas kemauannya sendiri (issariyakāmakārikāhetu),[80] yang bagi mereka merupakan ungkapan sifat melampaui duniawi (lokuttara), tetapi dilihat Mahāvihāravāsin sebagai suatu penolakan atas hukum kamma. Tidak pasti apakah Mahāsaṅghika menolak beberapa Jataka dan syair-syair karena akibat doktrinal seperti ini, atau hanya karena teks ini ekstra-kanonik.

Mengingat kembali tuduhan Dīpavaṁsa atas tekstualitas yang jelek, saya terkejut oleh kecerdasan suatu pernyataan oleh Franklin Edgerton. Sebelumnya, Emile Senart telah mengedit salah satu dari karya yang paling penting dan sulit dalam literatur Mahāsaṅghika, Mahāvastu, dalam penerangan dari bentuk Sanskrit dan Pali. Edgerton berkomentar bahwa: “catatan panjang lebar Senart sering membiarkan pembaca menerima keputusasaan yang terus-menerus mengancam untuk membingungkannya.”[81] Mengikuti karya Edgerton, saat ini secara umum diakui bahwa teks Mahāsaṅghika ditulis dalam bahasa “Sanskrit Hibrid” Mahāsaṅghika yang khas, dan bukan sekedar bahasa Sanskrit yang buruk. Tetapi keputusasaan Senart akan menggemakan reaksi sarjana Mahāvihāravāsin mana pun, yang dibesarkan dalam tradisi Pali yang lebih sederhana dan murni, yang menentang teks Mahāsaṅghika. Oleh sebab itu kita menyatakan bahwa tuduhan Dīpavaṁsa atas penolakan tekstual dan tata bahasa yang buruk disamakan secara khusus pada aliran Mahāsaṅghika dari Andhra, dan dengan perluasan Buddhism Sanskrit atau “yang dimodernisasi” secara umum, seperti Abhayagiri.[82] Dalam gaya mitos yang biasa, debat-debat yang sezaman dimundurkan untuk memberikannya relevansi universal.

Terdapat beberapa sumber lain yang sama mengaitkan perpecahan pada perbedaan bahasa. Sebagai contoh, Vinītadeva memberikan alasan ini, dan menyebutkan penggunaan bahasa berikut ini: Sarvāstivādin menggunakan bahasa Sanskrit; Mahāsaṅghika menggunakan bahasa Prākrit; Saṁmitiya menggunakan bahasa Apabhraṁśa; Sthavira menggunakan bahasa Paiśacī.[83] Kisah Dīpavaṁsa pasti dilihat dalam penjelasan ini, yaitu, ia menyoroti terutama perselisihan bahasa. Tetapi perbedaan bahasa hanyalah akibat dari penyebaran geografis. Hampir tidak mungkin bahwa komunitas-komunitas yang tinggal di lokasi yang sama akan memperdebatkan apakah bahasa yang digunakan. Bahasa pasti berbeda-beda seraya aliran-aliran menyebar di seluruh India dan mengikuti nasehat Sang Buddha untuk mengajarkan Dhamma dalam dialek lokal.[84] Perhatikan bahwa orang Sri Lanka tidak mengikuti nasehat ini, dan memelihara Dhamma dalam lidah asing, yang mereka sangat kuat meyakini secara harfiah sebagai bahasa yang diucapkan Sang Buddha.

Kenyataan bahwa teks-teks ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala menunjukkan bahwa mereka telah mencapai tingkat “kanonisasi” yang tinggi bahkan sebelum mencapai pulau tersebut. Kecenderungan ini memuncak pada ideologi esensialis bahasa yang belakangan, di mana Pali dianggap sebagai “bahasa akar dari semua makhluk”.[85] Ini berarti bahwa seseorang yang telah mencapai paṭisambhidā melalui pengetahuan mendalamnya sendiri akan memahami bahwa phassā or vedano adalah bentuk nominatif yang salah dan akan mengetahui bahwa dalam “bahasa inti” (Pali) ini seharusnya phasso dan vedanā. Bagi aliran Pali, bahasa Sanskrit Hibrid Mahāsaṅghika bukan semata-mata dialek yang berbeda, tetapi suatu penyimpangan Dhamma yang fundamental.[86]

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/ip.gif Logged

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

·        Global Moderator

·        KalyanaMitta

·        *****

·        https://dhammacitta.org/forum/avatarsc/avatar_3667_1513473972.png

·        Posts: 3.469

·        Reputasi: 169

·        Gender: Male

·        Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/post/xx.gif

Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

« Reply #12 on: 27 January 2013, 08:15:32 AM »

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda