Serie Ke-10-Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006
Tuduhan penting lainnya adalah bahwa Vajjiputtaka/Mahāsaṅghika mengubah teks-teks kuno, dengan menolak Parivāra, enam kitab Abhidhamma,[75] Paṭisambhidā, Niddesa, beberapa Jātaka, dan beberapa syair, dan melanjutkan menyusun teks-teks lain.[76] Semua karya ini ditemukan dalam kanon Pali. Tanpa kecuali, para sarjana modern setuju bahwa karya-karya ini kenyataannya belakangan dan tidak dapat dianggap buddhavacana yang asli. Dengan demikian Mahāsaṅghika dapat dengan benar diakui sebagai pelopor pendekatan historis-kritis yang akurat pada teks-teks Buddhis.
Daftar teks yang ditolak sangat teliti: “beberapa Jātaka”, “beberapa syair”.
Seperti yang telah diketahui, beberapa Jātaka membentuk bagian dari kumpulan
kitab suci awal, sedangkan yang lainnya ditambahkan terus-menerus
bertahun-tahun. Sama halnya, banyak syair dari Khuddakanikāya adalah awal,
tetapi lebih banyak terdapat di antara tingkatan penambahan yang terbaru pada
kanon.
Dalam bentuk yang sekarang, semua teks yang ditolak ini berasal dari masa
sesudah Aśoka. Sementara proyek Abhidhamma pasti telah berjalan pada masa Aśoka
– seperti yang dinyatakan oleh hubungan Abhidhamma Moggaliputtatissa dan
ditegaskan oleh kesamaan substansial antara teks-teks Abhidhamma yang ada –
teks-teks seperti yang kita ketahui pasti diselesaikan belakangan. Sama halnya,
Paṭisambhidāmagga berasal dari masa sekitar 100 M.[77] Niddesa merupakan
penerapan metodologi Abhidhamma pada beberapa syair awal, dan pasti berasal
dari masa yang sama. Dengan demikian kita dengan teguh berada pada periode
“kanonik belakangan” dari literatur Mahāvihāra, dan karenanya seharusnya
melihat perselisihan dalam periode ini.
Jika kita ingin mengetahui dengan siapa Mahāvihāravāsin berdebat, komentar
Kathāvatthu, walaupun disusun belakangan, merupakan sumber utama informasi
kita. Sangat berlimpah, ini menyebutkan perselisihan pendapat dengan
Andhaka,[78] suatu kelompok aliran Mahāsaṅghika di wilayah Andhra, termasuk
Amarāvati, Nāgārjunikoṇḍa, dst. Demikianlah kita mengetahui bahwa
Mahāvihāravāsin berdebat Abhidhamma dengan panjang lebar dengan Andhaka, dan
ini pasti mengikuti bahwa Andhaka menolak Abhidhamma Mahāvihāra dan literatur
yang berkaitan. Tetapi ini mungkin tidak begitu penting dengan sendirinya,
karena ini mungkin bahwa kebanyakan aliran India tidak menerima Abhidhamma
Mahāvihāra – dalam kenyataannya, mereka mungkin hampir tidak pernah
mendengarnya. Apa masalahnya tidak begitu banyak bahwa Andhaka menolak teks-teks
ini, tetapi bahwa Mahāvihāravāsin mengetahui mereka menolak teks-teks ini, dan
ini menyakitkan.
Paṭisambhidāmagga dan Niddesa juga penting di sini, walaupun dalam cara yang
berbeda. Keduanya dimasukkan dalam Khuddakanikāya, tetapi masing-masing
memiliki persamaan dengan Abhidhamma. Paṭisambhidā merupakan kumpulan ajaran
minor untuk sutta-sutta awal. Makna utamanya menghubungkan kemampuan pada
penjelasan teks dengan penembusan Dhamma: dhamma (teks); attha (makna); nirutti
(bahasa); paṭibhāṇa (kelancaran berbicara, yaitu kemampuan seseorang yang,
dengan mengetahui teks dan maknanya, dan lancar dalam cara pengungkapan, untuk
secara spontan memberikan suatu ajaran yang akurat dan menginspirasi). Paṭisambhidāmagga
mengambil kelompok tak berkala ini dan, dengan melebarkan penerapannya hampir
melampaui pengenalan, mengembangkan “Buku Sang Jalan” Mahāvihāra pertama yang
berbeda. Seperti halnya semua kanonik Abhidhamma, penekanannya pada definisi
ajaran yang tepat dan jelas. Warder menunjukkan bahwa penekanan pada kategori
ajaran tertentu ini merupakan khas Mahāvihāra.[79]
Niddesa adalah sama tentang penjelasan tekstual. Teks ini merupakan pasangan
komentar bergaya Abhidhamma pada Khaggavisāṇa Sutta, Aṭṭhakavagga, dan
Pārāyanavagga, syair-syair awal yang kemudian disusun dalam Sutta Nipāta. Gaya
teks-teks ini sangat Abhidhammik, yang sangat berlawanan dengan bahasa yang
sederhana dan alami dari teks-teks yang dikomentarinya. Dalam kenyataannya,
teks ini muncul sebagai upaya untuk “menjinakkan” beberapa teks awal yang mengungkapkan
posisi ajaran yang tidak mudah didamaikan dengan pendirian perkembangan
Mahāvihāra.
Mengenai Jataka dan syair-syair yang belakangan, ini kelihatannya seakan-akan
tidak mungkin kontroversial secara ajaran. Teks ini terutama berkaitan dengan ajaran
Bodhisattva yang sedang muncul, yang umum di seluruh aliran Buddhis, dan jika
ada kita mengharapkan aliran Mahāsaṅghika, seperti Andhaka, menjadi pelopor
dalam gerakan ini. Namun demikian, Kathāvatthu memang mencatat beberapa
kontroversi tentang Bodhisattva dan karirnya. Andhaka terbukti menegaskan bahwa
Bodhisattva terlahir sebagai hewan atau di neraka atas kemauannya sendiri
(issariyakāmakārikāhetu),[80] yang bagi mereka merupakan ungkapan sifat
melampaui duniawi (lokuttara), tetapi dilihat Mahāvihāravāsin sebagai suatu
penolakan atas hukum kamma. Tidak pasti apakah Mahāsaṅghika menolak beberapa
Jataka dan syair-syair karena akibat doktrinal seperti ini, atau hanya karena
teks ini ekstra-kanonik.
Mengingat kembali tuduhan Dīpavaṁsa atas tekstualitas yang jelek, saya terkejut
oleh kecerdasan suatu pernyataan oleh Franklin Edgerton. Sebelumnya, Emile
Senart telah mengedit salah satu dari karya yang paling penting dan sulit dalam
literatur Mahāsaṅghika, Mahāvastu, dalam penerangan dari bentuk Sanskrit dan
Pali. Edgerton berkomentar bahwa: “catatan panjang lebar Senart sering
membiarkan pembaca menerima keputusasaan yang terus-menerus mengancam untuk
membingungkannya.”[81] Mengikuti karya Edgerton, saat ini secara umum diakui
bahwa teks Mahāsaṅghika ditulis dalam bahasa “Sanskrit Hibrid” Mahāsaṅghika
yang khas, dan bukan sekedar bahasa Sanskrit yang buruk. Tetapi keputusasaan
Senart akan menggemakan reaksi sarjana Mahāvihāravāsin mana pun, yang
dibesarkan dalam tradisi Pali yang lebih sederhana dan murni, yang menentang
teks Mahāsaṅghika. Oleh sebab itu kita menyatakan bahwa tuduhan Dīpavaṁsa atas
penolakan tekstual dan tata bahasa yang buruk disamakan secara khusus pada
aliran Mahāsaṅghika dari Andhra, dan dengan perluasan Buddhism Sanskrit atau
“yang dimodernisasi” secara umum, seperti Abhayagiri.[82] Dalam gaya mitos yang
biasa, debat-debat yang sezaman dimundurkan untuk memberikannya relevansi
universal.
Terdapat beberapa sumber lain yang sama mengaitkan perpecahan pada perbedaan
bahasa. Sebagai contoh, Vinītadeva memberikan alasan ini, dan menyebutkan
penggunaan bahasa berikut ini: Sarvāstivādin menggunakan bahasa Sanskrit;
Mahāsaṅghika menggunakan bahasa Prākrit; Saṁmitiya menggunakan bahasa Apabhraṁśa;
Sthavira menggunakan bahasa Paiśacī.[83] Kisah Dīpavaṁsa pasti dilihat dalam
penjelasan ini, yaitu, ia menyoroti terutama perselisihan bahasa. Tetapi
perbedaan bahasa hanyalah akibat dari penyebaran geografis. Hampir tidak
mungkin bahwa komunitas-komunitas yang tinggal di lokasi yang sama akan
memperdebatkan apakah bahasa yang digunakan. Bahasa pasti berbeda-beda seraya
aliran-aliran menyebar di seluruh India dan mengikuti nasehat Sang Buddha untuk
mengajarkan Dhamma dalam dialek lokal.[84] Perhatikan bahwa orang Sri Lanka
tidak mengikuti nasehat ini, dan memelihara Dhamma dalam lidah asing, yang
mereka sangat kuat meyakini secara harfiah sebagai bahasa yang diucapkan Sang
Buddha.
Kenyataan bahwa teks-teks ini tidak diterjemahkan ke dalam bahasa Sinhala
menunjukkan bahwa mereka telah mencapai tingkat “kanonisasi” yang tinggi bahkan
sebelum mencapai pulau tersebut. Kecenderungan ini memuncak pada ideologi
esensialis bahasa yang belakangan, di mana Pali dianggap sebagai “bahasa akar
dari semua makhluk”.[85] Ini berarti bahwa seseorang yang telah mencapai paṭisambhidā
melalui pengetahuan mendalamnya sendiri akan memahami bahwa phassā or vedano
adalah bentuk nominatif yang salah dan akan mengetahui bahwa dalam “bahasa
inti” (Pali) ini seharusnya phasso dan vedanā. Bagi aliran Pali, bahasa
Sanskrit Hibrid Mahāsaṅghika bukan semata-mata dialek yang berbeda, tetapi
suatu penyimpangan Dhamma yang fundamental.[86]
Logged
"Holmes once said not to allow your
judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are
antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa
seniya
·
Global
Moderator
·
KalyanaMitta
·
·
Posts:
3.469
·
Reputasi:
169
·
Gender:
·
Om muni
muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and
Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply #12 on: 27
January 2013, 08:15:32 AM »
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda