Selasa, 05 Juli 2022

Serie ke-9- Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006

 

Bab 3.


Dīpavaṁsa


SETELAH MENINJAU BUKTI PRASASTI, saya sekarang ingin beralih pada kisah tekstual yang belakangan. Kita telah melihat bahwa bagian yang penting dari tradisi Pali telah ditegaskan oleh penemuan prasasti. Dengan pengecualian yang mungkin dari bacaan Mahāsaṅghika Vinaya yang dibahas lebih awal, tradisi utara sepenuhnya tidak ada dukungan arkeologis untuk masa ini. Tetapi ini tidak berarti bahwa kita harus menerima tradisi Mahāvihāravāsin sepenuhnya. Saya telah menunjukkan bahwa saya memiliki reservasi yang berat tentang kisah Dīpavaṁsa atas pembentukan aliran-aliran, dan inilah yang sekarang kita tinjau. Pertanyaan utama apakah kita dapat menerima identifikasi Dīpavaṁsa atas Mahāsaṅghika dengan Vajjikaputta yang lalai dari Konsili Kedua.




Kesarjanaan yang baru-baru ini menyambut kematian teori Dīpavaṁsa. Tetapi beberapa sarjana, setelah menghadiri pemakaman di sore hari yang cerah, kembali pada larut malam dengan sebuah sekop. Mereka menggali tanah, yang masih lembut, dan mengganggu jenazahnya dari tidur abadi yang sangat layak baginya. Dengan sihir dan mantra mereka menanamkan dengan kehidupan yang tidak alami, dan mengaturnya pada tugas yang mengerikan: menghancurkan anak-anak muda agar mereka tidak tumbuh sampai kehidupan baru yang penuh. Misi saya jelas: untuk memutus teori perpecahan Dīpavaṁsa seperti tunggul pohon palem, sehingga ia tidak lagi muncul pada masa yang akan datang; kemudian memotong-motong kayunya menjadi serpihan, membakar serpihan itu, dan memencarkan abunya dalam angin.

Jelas saya tidak bermaksud mengkritik Dīpavaṁsa secara umum. Ataupun saya tidak bermaksud mengkritik apa pun tentang kisah Dīpavaṁsa tentang aliran-aliran: urutan munculnya aliran-aliran dan antarhubungan mereka satu sama lain, secara umum dikatakan, tidak kurang masuk akal daripada mana pun yang lainnya; dan kenyataan bahwa teks menganggap penyebab perpecahan akar adalah suatu perselisihan dalam penyusunan tekstual memiliki unsur yang masuk akal.

Secara khusus, saya bermaksud untuk menyanggah pernyataan Dīpavaṁsa bahwa Mahāsaṅghika berasal dari suatu kelompok Vajjikaputta yang terbentuk kembali yang mengadakan suatu “Konsili Besar” yang terpisah setelah Konsili Kedua. Ini tidak didukung oleh sumber lain. Ini jelas bertentangan dengan pesan utama dari Konsili Kedua seperti yang tercatat dalam semua Vinaya: perselisihan telah berhasil diselesaikan.

Membaca dengan dekat Dīpavaṁsa menunjukkan bahwa bacaan tentang perpecahan merupakan suatu penambahan ke dalam suatu bacaan yang berbeda yang berhubungan dengan Konsili Kedua dan Ketiga: Dīpavaṁsa 4.68 dengan jelas menyatakan kesimpulan Konsili Kedua: Aṭṭhamāsehi niṭṭhāsi dutiyo saṅgaho ayan’ti (“Dalam delapan bulan Konsili Kedua selesai.”) Di sini kata niṭṭhāsi menyatakan penyelesaian, dengan mengatakan pada kita bahwa kisah ini seharusnya berakhir di sini. Petunjuk istilah ini didukung dengan ciri sintaksis: baris itu berakhir dengan partikel –ti, yang menunjukkan akhir dari suatu bagian. Dengan demikian Konsili Kedua seperti yang dikisahkan dalam Dīpavaṁsa (atau sumbernya) awalnya ditutup dengan penyelesaian yang berhasil dari Konsili [Kedua], sesuai dengan semua kisah Vinaya.

Detail tekstual ini mungkin ambigu, tetapi terdapat yang lain lagi. Mengikuti penutupan dari Konsili Kedua, Dīpavaṁsa berlanjut memberikan kisah munculnya Mahāsaṅghika dan perpecahan-perpecahan berikutnya yang mengarah pada pembentukan delapan belas aliran semuanya. Jelas ini pasti proses yang memakan waktu bertahun-tahun. Tetapi mengikut semua ini Dīpavaṁsa 5.1 menghubungkannya kembali dengan Konsili Kedua:

Di masa yang akan datang, dalam seratus delapan belas tahun,
Akan muncul bhikkhu tersebut, seorang pertapa sejati.[62]

“Pertapa sejati” adalah Moggaliputtatissa, dan menurut kronologi Dīpavaṁsa masa “118 tahun di masa yang akan datang” adalah masa antara Konsili Kedua dan Ketiga. Dengan kata lain ungkapan ini, walaupun diduga ditetapkan setelah seluruh proses perpecahan, dinyatakan dari sudut pandang segera setelah Konsili Kedua. Keseluruhan kisah perpecahan telah ditambahkan di sini, meninggalkan “118 tahun di masa yang akan datang” tergantung tanpa konteks. Kita tidak dapat meminta petunjuk yang lebih jelas bahwa seluruh kisah perpecahan dan pembentukan Mahāsaṅghika adalah di luar kisah konsili-konsili.

Mencatat bahwa kisah perpecahan sepenuhnya tidak ada dalam komentar Vinaya, Cousins menyimpulkan bahwa: “Ini sangat kuat menyatakan bahwa tidak ada kisah “delapan belas aliran” dilestarikan dalam tradisi komentar Mahāvihāra.”[63] Ia lebih jauh berkata: “Erich Frauwalker memberikan bukti bahwa kisah pembentukan delapan belas aliran dalam Dīpavaṁsa tidak berasal dari tradisi komentar kuno dari Mahāvihāra dan mungkin kenyataannya berasal dari suatu sumber Abhayagiri...”.[64] Dalam setiap kasus, bacaan itu berhubungan dekat dengan Vasumitra, Bhavya I, dan Śāriputraparipṛcchā, dan oleh sebab itu jelas berasal dari suatu sumber “utara”. Adalah ironis bahwa teks yang sama yang sangat mengutuk semua aliran lain itu sendiri mengandung penambahan yang merusak. Mahāvihāra akan lebih baik melekat pada sumber tradisi komentar mereka yang lebih dipercaya.

Dalam menerima sumber utara ini dan berusaha mencocokkannya dengan sejarah mereka yang sangat berbeda, Mahāvihāra pasti berakhir dengan kisah yang membingungkan. Ini sangat jelas bahwa para penulis bacaan Konsili Kedua, baik dalam Vinaya maupun Dīpavaṁsa, memaksudkan ini dibaca sebagai kisah suatu trauma yang penting dalam sejarah Buddhis, suatu kisah yang meskipun demikian mengatasi dengan rukun karena penerapan yang tekun atas prinsip-prinsip Vinaya. Sangat penting, Mahāsaṅghika mempertahankan tradisi yang persis sama dalam Vinaya mereka. Mereka memiliki aturan melarang penggunaan uang seperti yang ditemukan dalam semua aliran lain. Karenanya, mereka mengutuk Vijjaputtaka, menolak mereka dalam Konsili Kedua, dan menyimpulkan bacaan konsili mereka dengan mengatakan: “Demikianlah semua sesepuh seharusnya berlatih dengan rukun”.[65]

Dalam berusaha menyatukan kisah konsili dan perpecahan, Dīpavaṁsa mengaburkan fakta sederhana bahwa masalah problematik yang dibahas dalam kaitan dengan Vajjikaputtaka dalam Konsili Kedua sama sekali tidak ada yang umum dengan masalah yang berkaitan dengan Mahāsaṅghika dari “Konsili Besar”. Konsili Kedua menuduh Vajjikaputta tentang 10 poin kelalaian dalam Vinaya. Tetapi kisah perpecahan Mahāsaṅghika dalam Dīpavaṁsa tidak mengatakan tentang Vinaya. Di sana masalah yang penting adalah pembentukan kembali kitab suci Buddhis. Kita harus jelas tentang hal ini: walaupun pernyataan yang bertentangan oleh beberapa sarjana modern,[66] Dīpavaṁsa tidak menganggap perpecahaan disebabkan oleh 10 poin. Alih-alih, Dīpavaṁsa mengisahkan kisah Konsili Kedua memasukkan 10 poin, kemudian melanjutkan menggambarkan bagaimana Vajjikaputta yang telah dikalahkan bereformasi sebagai Mahāsaṅghika[67] dan mengubah teks-teks. Hubungan antara Mahāsaṅghika dan 10 poin adalah suatu kisah sulap: ini adalah kerjaan Māra. Kita dikondisikan oleh bacaan sebelumnya untuk membaca 10 poin ke dalam bacaan yang belakangan; ini adalah maksud naratif dari Dīpavaṁsa. Tetapi sekali kita menyadari dua kejadian berasal dari awal yang berbeda sepenuhnya, hubungan apa pun antara Mahāsaṅghika dan 10 poin lenyap. Bagaikan bunga langit, ini adalah ilusi yang diciptakan oleh pikiran.

Gagasan sebenarnya bahwa Mahāsaṅghika telah menolak teks-teks secara langsung bertentangan dengan suatu asumsi penting dari seluruh kisah Konsili Kedua, yaitu, bahwa Sangha telah mencapai kesepahaman tentang 10 masalah Vinaya dengan menunjukkannya pada aturan disiplin mereka bersama. Semua dengan bebas ikut serta dalam konsili, dan semua setuju untuk menyelesaikan masalah dengan menunjuk suatu komite dari delapan orang, yang keputusannya, karena ini dengan hati-hati dibenarkan poin demi poin terhadap aturan Vinaya yang diterima secara universal, diterima oleh semua. Jika Vajjiputtaka bermaksud untuk mengubah teks, mereka pasti akan menentang referensi tekstual yang dikemukakan oleh komite.
Kesulitan lebih lanjut dengan posisi Dīpavaṁsa adalah bahwa ia mengasumsikan bahwa Vajjiputtaka dapat dengan gembira pergi dengan mengabaikan Konsili Kedua dan membuat perpecahan mereka sendiri tanpa tanggapan apa pun dari Sangha lainnya. Ini jelas tidak masuk akal, karena kejadian yang mencetuskan Konsili Kedua itu sendiri lebih kurang penting daripada suatu perpecahan besar, tetapi para bhikkhu berkumpul dari seluruh India Buddhis. Setiap kisah lainnya yang kita punyai tentang perpecahan awal mengisahkan berkumpulnya para bhikkhu yang berselisih secara panjang lebar, dan terpecah hanya setelah gagal menemukan suatu penyelesaian.

Ini penceritaan yang khusus jika dibandingkan dengan kisah Samantapāsādikā tentang apa yang terjadi setelah Konsili Kedua. Para sesepuh (yang tidak bernama) mempertimbangkan apakah bencana lainnya akan mempengaruhi sāsana, dan melihat bahwa dalam 118 tahun pada masa Aśoka, banyak bhikkhu akan memasuki Sangha untuk mencari keuntungan dan kemasyhuran. Mereka memikirkan bagaimana untuk mencegah hal ini, dan melihat bahwa satu-satunya yang mampu adalah seorang Brahma bernama Tissa. Mereka pergi ke alam Brahma, dan meminta Tissa untuk turun guna menyelamatkan Buddhisme.[68] Ia setuju – bagaimana mungkin tidak? – setelah itu para sesepuh kembali ke alam manusia dan mengatur sepasang arahat muda, Siggava dan Caṇḍavajji, untuk mengajar sang Brahma ketika ia terlahir kembali sebagai Moggaliputtatissa. Ini adalah suatu pengaturan latar yang mengagumkan dan dramatis untuk Konsili Ketiga. Tetapi jika kita menerima kisah Dīpavaṁsa, maka ketika para sesepuh sedang membuat persiapan yang rumit demikian untuk menyelamatkan Buddhisme di masa yang akan datang, tepat di bawah batang hidung mereka Vajjikaputta sedang menghancurkan kesatuan Sangha selamanya. (Mungkin mereka sedang pergi ke alam Brahma ketika ini sedang terjadi.)

Setelah menggambarkan perpecahan awal, Dīpavaṁsa mengatakan pada kita bahwa berbagai aliran memisahkan diri satu sama lain satu per satu. Ini tidak menyebutkan alasan apa pun mengapa banyak perpecahan ini terjadi, ataupun mengapa perpecahan ini harus terjadi sangat cepat. Namun demikian, keseluruhan proses berakhir dan selesai dengan “delapan belas” aliran semuanya terbentuk sebelum masa Aśoka. Konsili Kedua terjadi pada tahun 100 AN, dan karena Dīpavaṁsa adalah suatu teks “kronologi panjang”, ini memungkinkan 118 tahun bagi aliran-aliran untuk terbentuk.[69] Ini sangat pendek, tetapi jika kita mengikuti kronologi menengah kita hanya memiliki 40 tahun atau lebih. Proses pembentukan suatu aliran dalam agama seperti Buddhisme tidaklah mudah. Ia membutuhkan seorang pemimpin yang kharismatik, seseorang yang dapat mengemukakan suatu penafsiran yang meyakinkan terhadap ajaran, yang menginspirasi baik biarawan maupun pengikut awam. Ia membutuhkan suatu tingkatan pemisahan geografis untuk membangun dukungan umat yang dibutuhkan. Ini membutuhkan pembangunan suatu dasar institusional, yaitu sedikitnya satu vihara, termasuk tempat pemujaan, ruang pertemuan, kamar tinggal, dan sebagainya. Semua ini terjadi, menurut Dīpavaṁsa, dalam satu atau dua generasi, tanpa meninggalkan jejak fisik satu pun. Ini berbeda dengan kisah lainnya seperti Śāriputraparipṛcchā, yang memberikan proses itu beberapa abad untuk terjadi.

Mungkin bahkan lebih tidak masuk akal, kisah ini menyatakan bahwa dalam abad-abad berikutnya hampir tidak ada aliran baru apa pun. Benar, komentar tidak menyebutkan sedikit aliran yang muncul berturut-turut, tetapi kita diharapkan untuk mempercayai bahwa “delapan belas” aliran muncul hampir seketika, dan dalam seribu tahun setelah itu hanya sejumlah kecil aliran baru perlahan-lahan muncul.

Akibat penting dari pandangan Dīpavaṁsa adalah bahwa misi Aśoka adalah “Theravādin” dalam pengertian yang sempit, yang berarti aliran yang sama dengan Mahāvihāravāsin, alih-alih Sthavira atau Vibhajjavādin secara umum. Dengan demikian Theravādin sendiri yang bertanggung jawab sesungguhnya mengubah seluruh India menjadi Buddhisme, suatu keadaan yang terang-terangan bertentangan dengan semua bukti tekstual dan prasasti yang ada.

Tampaknya tidak baik untuk menghubungkan Theravādin dengan gagasan bahwa mereka sendiri yang menyebarkan Buddhisme ke seluruh India, suatu perspektif kesombongan yang menyesakkan. Tetapi bukti prasasti utama untuk aliran dari daratan utama  menegaskan persis seperti itu. Dua prasasti dari vihara Sinhala di Nāgārjunikoṇḍa, berasal dari masa sekitar tahun 250 M, menunjuk pada para guru dari “Theriyas, Vibhajjavādas, Mahāvihāravāsin” yang telah membawa ajaran ke berbagai negeri: Kaśmīr, Gandhāra, Yava[na] (= Yonaloka dari kisah [pengiriman] misi = Bactria Yunani), Vanavāsi, Cīna-Cilāta, Tosali, Avaraṁta, Vaṅga, Da[mila], [Pa]lura, dan Tambapṁṇidīpa.[70] Bukti ini lebih tua dari Dīpavaṁsa dan kisah [pengiriman] misi, tetapi kesamaan penyusunan kata-kata, seperti yang ditunjukkan oleh Cousins, menunjukkan bahwa mereka pasti berasal dari suatu sumber yang umum, diperkirakan tradisi Sinhala kuno.

Mahāvihāravāsin ingin menggambarkan diri mereka pada pusat Buddhisme. Jenius kreatif yang unik dari Dīpavaṁsa adalah untuk mengabadikan pandangan dunia ini dalam mitos penting Buddhisme. Tepat dari awalnya ia menyatakan bahwa Sang Buddha, selama tujuh hari setelah pencerahan-Nya, mengamati dunia, melihat Sri Lanka, dan meramalkan kedatangan Dhamma-Nya di sana setelah Konsili Ketiga.[71] Sangha yang bersatu ditunjukkan sebagai “Theravāda” sejak masa Konsili Pertama.[72] Tidak diragukan lagi, seperti yang diberikan dalam bacaan pembuka, bahwa dengan hal ini Dīpavaṁsa, dengan pengabaian yang sewenang-wenang atas kronologi, memaksudkan Theravādin dalam pengertian sempit (= Mahāvihāravāsin).

Dalam konteks ini motif menempatkan perpecahan awal sebelum Aśoka sudah jelas. Jika perpecahan terjadi setelah Aśoka, maka tidak mungkin untuk menyatakan bahwa Aśoka adalah penyokong khusus Theravāda. Ia akan dilihat sebagai pendukung Buddhisme secara umum. Jika perpecahan terjadi pada masa Aśoka, ini akan bertentangan dengan pesan kemenangan dari Konsili Ketiga Moggaliputtatissa yang berhasil. Satu-satunya solusi adalah menempatkan perpecahan sebelum Aśoka. Kemudian aliran-aliran lain secara implisit dikeluarkan dari narasi, dan Aśoka secara alami menjadi penyokong khusus dari Theravāda.

Penyimpangan Tata Bahasa

Jika kita menyetujui bahwa kisah Dīpavaṁsa tentang perpecahan tidak dapat menunjuk pada masa segera setelah Konsili Kedua, dapatkah kita mengembangkan kapan dan dalam konteks apa perpecahan bermula? Saya pikir kita bisa. Untuk melakukan hal ini, kita perlu melihat lebih dekat pada cara perpecahan yang sebenarnya digambarkan dalam Dīpavaṁsa. Ia menekankan prinsip interpretasi yang digunakan pada konsili:

Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus disimpulkan
telah dijelaskan oleh para ahli sutta.[73]

Syair ini secara menghina digemakan dalam kisah “Mahāsaṅgīti” dari Vajjiputtaka:

Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus disimpulkan;
tanpa pemahaman, para bhikkhu tersebut [bingung].[74]

Dīpavaṁsa lebih jauh menjelaskan (4.77) bahwa para Vajjiputtaka (=Mahāsaṅghika) bingung akan kata benda, gender, dan sebagainya. Pendek kata, mereka menyimpang dalam tata bahasa, yang kejahatan terutamanya adalah tekstualitas yang buruk. Akan tidak baik berkepanjangan pada poin ini, tetapi ironisnya bahwa tuduhan ini dibuat oleh Dīpavaṁsa, mungkin buku yang ditulis paling buruk dalam bahasa Pali.

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/ip.gif Logged

"Holmes once said not to allow your judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa

Offline seniya

·        Global Moderator

·        KalyanaMitta

·        *****

·        https://dhammacitta.org/forum/avatarsc/avatar_3667_1513473972.png

·        Posts: 3.469

·        Reputasi: 169

·        Gender: Male

·        Om muni muni mahamuni sakyamuni svaha

https://forum.dhammacitta.org/Themes/vVide/images/post/xx.gif

Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato

« Reply #11 on: 27 January 2013, 08:13:45 AM »

 

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda