Serie ke-9- Asal Mula Aliran-Aliran Buddhis- PENULIS: Bhikkhu Sujato 2006
Bab 3.
Dīpavaṁsa
SETELAH MENINJAU BUKTI PRASASTI, saya sekarang ingin beralih pada kisah
tekstual yang belakangan. Kita telah melihat bahwa bagian yang penting dari
tradisi Pali telah ditegaskan oleh penemuan prasasti. Dengan pengecualian yang
mungkin dari bacaan Mahāsaṅghika Vinaya yang dibahas lebih awal, tradisi utara
sepenuhnya tidak ada dukungan arkeologis untuk masa ini. Tetapi ini tidak
berarti bahwa kita harus menerima tradisi Mahāvihāravāsin sepenuhnya. Saya
telah menunjukkan bahwa saya memiliki reservasi yang berat tentang kisah Dīpavaṁsa
atas pembentukan aliran-aliran, dan inilah yang sekarang kita tinjau.
Pertanyaan utama apakah kita dapat menerima identifikasi Dīpavaṁsa atas Mahāsaṅghika
dengan Vajjikaputta yang lalai dari Konsili Kedua.
Kesarjanaan yang baru-baru ini menyambut kematian teori Dīpavaṁsa. Tetapi
beberapa sarjana, setelah menghadiri pemakaman di sore hari yang cerah, kembali
pada larut malam dengan sebuah sekop. Mereka menggali tanah, yang masih lembut,
dan mengganggu jenazahnya dari tidur abadi yang sangat layak baginya. Dengan
sihir dan mantra mereka menanamkan dengan kehidupan yang tidak alami, dan
mengaturnya pada tugas yang mengerikan: menghancurkan anak-anak muda agar
mereka tidak tumbuh sampai kehidupan baru yang penuh. Misi saya jelas: untuk
memutus teori perpecahan Dīpavaṁsa seperti tunggul pohon palem, sehingga ia
tidak lagi muncul pada masa yang akan datang; kemudian memotong-motong kayunya
menjadi serpihan, membakar serpihan itu, dan memencarkan abunya dalam angin.
Jelas saya tidak bermaksud mengkritik Dīpavaṁsa secara umum. Ataupun saya tidak
bermaksud mengkritik apa pun tentang kisah Dīpavaṁsa tentang aliran-aliran:
urutan munculnya aliran-aliran dan antarhubungan mereka satu sama lain, secara
umum dikatakan, tidak kurang masuk akal daripada mana pun yang lainnya; dan
kenyataan bahwa teks menganggap penyebab perpecahan akar adalah suatu
perselisihan dalam penyusunan tekstual memiliki unsur yang masuk akal.
Secara khusus, saya bermaksud untuk menyanggah pernyataan Dīpavaṁsa bahwa
Mahāsaṅghika berasal dari suatu kelompok Vajjikaputta yang terbentuk kembali
yang mengadakan suatu “Konsili Besar” yang terpisah setelah Konsili Kedua. Ini
tidak didukung oleh sumber lain. Ini jelas bertentangan dengan pesan utama dari
Konsili Kedua seperti yang tercatat dalam semua Vinaya: perselisihan telah
berhasil diselesaikan.
Membaca dengan dekat Dīpavaṁsa menunjukkan bahwa bacaan tentang perpecahan
merupakan suatu penambahan ke dalam suatu bacaan yang berbeda yang berhubungan
dengan Konsili Kedua dan Ketiga: Dīpavaṁsa 4.68 dengan jelas menyatakan
kesimpulan Konsili Kedua: Aṭṭhamāsehi niṭṭhāsi dutiyo saṅgaho ayan’ti (“Dalam
delapan bulan Konsili Kedua selesai.”) Di sini kata niṭṭhāsi menyatakan
penyelesaian, dengan mengatakan pada kita bahwa kisah ini seharusnya berakhir
di sini. Petunjuk istilah ini didukung dengan ciri sintaksis: baris itu
berakhir dengan partikel –ti, yang menunjukkan akhir dari suatu bagian. Dengan
demikian Konsili Kedua seperti yang dikisahkan dalam Dīpavaṁsa (atau sumbernya)
awalnya ditutup dengan penyelesaian yang berhasil dari Konsili [Kedua], sesuai
dengan semua kisah Vinaya.
Detail tekstual ini mungkin ambigu, tetapi terdapat yang lain lagi. Mengikuti
penutupan dari Konsili Kedua, Dīpavaṁsa berlanjut memberikan kisah munculnya
Mahāsaṅghika dan perpecahan-perpecahan berikutnya yang mengarah pada
pembentukan delapan belas aliran semuanya. Jelas ini pasti proses yang memakan
waktu bertahun-tahun. Tetapi mengikut semua ini Dīpavaṁsa 5.1 menghubungkannya
kembali dengan Konsili Kedua:
Di masa yang akan datang, dalam seratus delapan belas tahun,
Akan muncul bhikkhu tersebut, seorang pertapa sejati.[62]
“Pertapa sejati” adalah Moggaliputtatissa, dan menurut kronologi Dīpavaṁsa masa
“118 tahun di masa yang akan datang” adalah masa antara Konsili Kedua dan
Ketiga. Dengan kata lain ungkapan ini, walaupun diduga ditetapkan setelah
seluruh proses perpecahan, dinyatakan dari sudut pandang segera setelah Konsili
Kedua. Keseluruhan kisah perpecahan telah ditambahkan di sini, meninggalkan
“118 tahun di masa yang akan datang” tergantung tanpa konteks. Kita tidak dapat
meminta petunjuk yang lebih jelas bahwa seluruh kisah perpecahan dan
pembentukan Mahāsaṅghika adalah di luar kisah konsili-konsili.
Mencatat bahwa kisah perpecahan sepenuhnya tidak ada dalam komentar Vinaya,
Cousins menyimpulkan bahwa: “Ini sangat kuat menyatakan bahwa tidak ada kisah
“delapan belas aliran” dilestarikan dalam tradisi komentar Mahāvihāra.”[63] Ia
lebih jauh berkata: “Erich Frauwalker memberikan bukti bahwa kisah pembentukan
delapan belas aliran dalam Dīpavaṁsa tidak berasal dari tradisi komentar kuno
dari Mahāvihāra dan mungkin kenyataannya berasal dari suatu sumber
Abhayagiri...”.[64] Dalam setiap kasus, bacaan itu berhubungan dekat dengan
Vasumitra, Bhavya I, dan Śāriputraparipṛcchā, dan oleh sebab itu jelas berasal
dari suatu sumber “utara”. Adalah ironis bahwa teks yang sama yang sangat
mengutuk semua aliran lain itu sendiri mengandung penambahan yang merusak.
Mahāvihāra akan lebih baik melekat pada sumber tradisi komentar mereka yang
lebih dipercaya.
Dalam menerima sumber utara ini dan berusaha mencocokkannya dengan sejarah
mereka yang sangat berbeda, Mahāvihāra pasti berakhir dengan kisah yang
membingungkan. Ini sangat jelas bahwa para penulis bacaan Konsili Kedua, baik
dalam Vinaya maupun Dīpavaṁsa, memaksudkan ini dibaca sebagai kisah suatu
trauma yang penting dalam sejarah Buddhis, suatu kisah yang meskipun demikian
mengatasi dengan rukun karena penerapan yang tekun atas prinsip-prinsip Vinaya.
Sangat penting, Mahāsaṅghika mempertahankan tradisi yang persis sama dalam
Vinaya mereka. Mereka memiliki aturan melarang penggunaan uang seperti yang
ditemukan dalam semua aliran lain. Karenanya, mereka mengutuk Vijjaputtaka,
menolak mereka dalam Konsili Kedua, dan menyimpulkan bacaan konsili mereka
dengan mengatakan: “Demikianlah semua sesepuh seharusnya berlatih dengan
rukun”.[65]
Dalam berusaha menyatukan kisah konsili dan perpecahan, Dīpavaṁsa mengaburkan
fakta sederhana bahwa masalah problematik yang dibahas dalam kaitan dengan Vajjikaputtaka
dalam Konsili Kedua sama sekali tidak ada yang umum dengan masalah yang
berkaitan dengan Mahāsaṅghika dari “Konsili Besar”. Konsili Kedua menuduh
Vajjikaputta tentang 10 poin kelalaian dalam Vinaya. Tetapi kisah perpecahan
Mahāsaṅghika dalam Dīpavaṁsa tidak mengatakan tentang Vinaya. Di sana masalah
yang penting adalah pembentukan kembali kitab suci Buddhis. Kita harus jelas
tentang hal ini: walaupun pernyataan yang bertentangan oleh beberapa sarjana
modern,[66] Dīpavaṁsa tidak menganggap perpecahaan disebabkan oleh 10 poin.
Alih-alih, Dīpavaṁsa mengisahkan kisah Konsili Kedua memasukkan 10 poin,
kemudian melanjutkan menggambarkan bagaimana Vajjikaputta yang telah dikalahkan
bereformasi sebagai Mahāsaṅghika[67] dan mengubah teks-teks. Hubungan antara
Mahāsaṅghika dan 10 poin adalah suatu kisah sulap: ini adalah kerjaan Māra.
Kita dikondisikan oleh bacaan sebelumnya untuk membaca 10 poin ke dalam bacaan
yang belakangan; ini adalah maksud naratif dari Dīpavaṁsa. Tetapi sekali kita
menyadari dua kejadian berasal dari awal yang berbeda sepenuhnya, hubungan apa
pun antara Mahāsaṅghika dan 10 poin lenyap. Bagaikan bunga langit, ini adalah
ilusi yang diciptakan oleh pikiran.
Gagasan sebenarnya bahwa Mahāsaṅghika telah menolak teks-teks secara langsung
bertentangan dengan suatu asumsi penting dari seluruh kisah Konsili Kedua,
yaitu, bahwa Sangha telah mencapai kesepahaman tentang 10 masalah Vinaya dengan
menunjukkannya pada aturan disiplin mereka bersama. Semua dengan bebas ikut
serta dalam konsili, dan semua setuju untuk menyelesaikan masalah dengan
menunjuk suatu komite dari delapan orang, yang keputusannya, karena ini dengan
hati-hati dibenarkan poin demi poin terhadap aturan Vinaya yang diterima secara
universal, diterima oleh semua. Jika Vajjiputtaka bermaksud untuk mengubah
teks, mereka pasti akan menentang referensi tekstual yang dikemukakan oleh
komite.
Kesulitan lebih lanjut dengan posisi Dīpavaṁsa adalah bahwa ia mengasumsikan
bahwa Vajjiputtaka dapat dengan gembira pergi dengan mengabaikan Konsili Kedua
dan membuat perpecahan mereka sendiri tanpa tanggapan apa pun dari Sangha
lainnya. Ini jelas tidak masuk akal, karena kejadian yang mencetuskan Konsili
Kedua itu sendiri lebih kurang penting daripada suatu perpecahan besar, tetapi
para bhikkhu berkumpul dari seluruh India Buddhis. Setiap kisah lainnya yang
kita punyai tentang perpecahan awal mengisahkan berkumpulnya para bhikkhu yang
berselisih secara panjang lebar, dan terpecah hanya setelah gagal menemukan
suatu penyelesaian.
Ini penceritaan yang khusus jika dibandingkan dengan kisah Samantapāsādikā
tentang apa yang terjadi setelah Konsili Kedua. Para sesepuh (yang tidak
bernama) mempertimbangkan apakah bencana lainnya akan mempengaruhi sāsana, dan
melihat bahwa dalam 118 tahun pada masa Aśoka, banyak bhikkhu akan memasuki
Sangha untuk mencari keuntungan dan kemasyhuran. Mereka memikirkan bagaimana
untuk mencegah hal ini, dan melihat bahwa satu-satunya yang mampu adalah
seorang Brahma bernama Tissa. Mereka pergi ke alam Brahma, dan meminta Tissa untuk
turun guna menyelamatkan Buddhisme.[68] Ia setuju – bagaimana mungkin tidak? –
setelah itu para sesepuh kembali ke alam manusia dan mengatur sepasang arahat
muda, Siggava dan Caṇḍavajji, untuk mengajar sang Brahma ketika ia terlahir
kembali sebagai Moggaliputtatissa. Ini adalah suatu pengaturan latar yang
mengagumkan dan dramatis untuk Konsili Ketiga. Tetapi jika kita menerima kisah
Dīpavaṁsa, maka ketika para sesepuh sedang membuat persiapan yang rumit
demikian untuk menyelamatkan Buddhisme di masa yang akan datang, tepat di bawah
batang hidung mereka Vajjikaputta sedang menghancurkan kesatuan Sangha
selamanya. (Mungkin mereka sedang pergi ke alam Brahma ketika ini sedang
terjadi.)
Setelah menggambarkan perpecahan awal, Dīpavaṁsa mengatakan pada kita bahwa
berbagai aliran memisahkan diri satu sama lain satu per satu. Ini tidak
menyebutkan alasan apa pun mengapa banyak perpecahan ini terjadi, ataupun
mengapa perpecahan ini harus terjadi sangat cepat. Namun demikian, keseluruhan
proses berakhir dan selesai dengan “delapan belas” aliran semuanya terbentuk
sebelum masa Aśoka. Konsili Kedua terjadi pada tahun 100 AN, dan karena Dīpavaṁsa
adalah suatu teks “kronologi panjang”, ini memungkinkan 118 tahun bagi
aliran-aliran untuk terbentuk.[69] Ini sangat pendek, tetapi jika kita
mengikuti kronologi menengah kita hanya memiliki 40 tahun atau lebih. Proses
pembentukan suatu aliran dalam agama seperti Buddhisme tidaklah mudah. Ia
membutuhkan seorang pemimpin yang kharismatik, seseorang yang dapat
mengemukakan suatu penafsiran yang meyakinkan terhadap ajaran, yang
menginspirasi baik biarawan maupun pengikut awam. Ia membutuhkan suatu
tingkatan pemisahan geografis untuk membangun dukungan umat yang dibutuhkan.
Ini membutuhkan pembangunan suatu dasar institusional, yaitu sedikitnya satu
vihara, termasuk tempat pemujaan, ruang pertemuan, kamar tinggal, dan
sebagainya. Semua ini terjadi, menurut Dīpavaṁsa, dalam satu atau dua generasi,
tanpa meninggalkan jejak fisik satu pun. Ini berbeda dengan kisah lainnya
seperti Śāriputraparipṛcchā, yang memberikan proses itu beberapa abad untuk
terjadi.
Mungkin bahkan lebih tidak masuk akal, kisah ini menyatakan bahwa dalam
abad-abad berikutnya hampir tidak ada aliran baru apa pun. Benar, komentar
tidak menyebutkan sedikit aliran yang muncul berturut-turut, tetapi kita
diharapkan untuk mempercayai bahwa “delapan belas” aliran muncul hampir
seketika, dan dalam seribu tahun setelah itu hanya sejumlah kecil aliran baru
perlahan-lahan muncul.
Akibat penting dari pandangan Dīpavaṁsa adalah bahwa misi Aśoka adalah
“Theravādin” dalam pengertian yang sempit, yang berarti aliran yang sama dengan
Mahāvihāravāsin, alih-alih Sthavira atau Vibhajjavādin secara umum. Dengan
demikian Theravādin sendiri yang bertanggung jawab sesungguhnya mengubah seluruh
India menjadi Buddhisme, suatu keadaan yang terang-terangan bertentangan dengan
semua bukti tekstual dan prasasti yang ada.
Tampaknya tidak baik untuk menghubungkan Theravādin dengan gagasan bahwa mereka
sendiri yang menyebarkan Buddhisme ke seluruh India, suatu perspektif
kesombongan yang menyesakkan. Tetapi bukti prasasti utama untuk aliran dari
daratan utama menegaskan persis seperti itu. Dua prasasti dari vihara
Sinhala di Nāgārjunikoṇḍa, berasal dari masa sekitar tahun 250 M, menunjuk pada
para guru dari “Theriyas, Vibhajjavādas, Mahāvihāravāsin” yang telah membawa
ajaran ke berbagai negeri: Kaśmīr, Gandhāra, Yava[na] (= Yonaloka dari kisah
[pengiriman] misi = Bactria Yunani), Vanavāsi, Cīna-Cilāta, Tosali, Avaraṁta,
Vaṅga, Da[mila], [Pa]lura, dan Tambapṁṇidīpa.[70] Bukti ini lebih tua dari
Dīpavaṁsa dan kisah [pengiriman] misi, tetapi kesamaan penyusunan kata-kata,
seperti yang ditunjukkan oleh Cousins, menunjukkan bahwa mereka pasti berasal
dari suatu sumber yang umum, diperkirakan tradisi Sinhala kuno.
Mahāvihāravāsin ingin menggambarkan diri mereka pada pusat Buddhisme. Jenius
kreatif yang unik dari Dīpavaṁsa adalah untuk mengabadikan pandangan dunia ini
dalam mitos penting Buddhisme. Tepat dari awalnya ia menyatakan bahwa Sang
Buddha, selama tujuh hari setelah pencerahan-Nya, mengamati dunia, melihat Sri
Lanka, dan meramalkan kedatangan Dhamma-Nya di sana setelah Konsili Ketiga.[71]
Sangha yang bersatu ditunjukkan sebagai “Theravāda” sejak masa Konsili
Pertama.[72] Tidak diragukan lagi, seperti yang diberikan dalam bacaan pembuka,
bahwa dengan hal ini Dīpavaṁsa, dengan pengabaian yang sewenang-wenang atas
kronologi, memaksudkan Theravādin dalam pengertian sempit (= Mahāvihāravāsin).
Dalam konteks ini motif menempatkan perpecahan awal sebelum Aśoka sudah jelas.
Jika perpecahan terjadi setelah Aśoka, maka tidak mungkin untuk menyatakan
bahwa Aśoka adalah penyokong khusus Theravāda. Ia akan dilihat sebagai
pendukung Buddhisme secara umum. Jika perpecahan terjadi pada masa Aśoka, ini
akan bertentangan dengan pesan kemenangan dari Konsili Ketiga Moggaliputtatissa
yang berhasil. Satu-satunya solusi adalah menempatkan perpecahan sebelum Aśoka.
Kemudian aliran-aliran lain secara implisit dikeluarkan dari narasi, dan Aśoka
secara alami menjadi penyokong khusus dari Theravāda.
Penyimpangan Tata Bahasa
Jika kita menyetujui bahwa kisah Dīpavaṁsa tentang perpecahan tidak dapat
menunjuk pada masa segera setelah Konsili Kedua, dapatkah kita mengembangkan
kapan dan dalam konteks apa perpecahan bermula? Saya pikir kita bisa. Untuk
melakukan hal ini, kita perlu melihat lebih dekat pada cara perpecahan yang
sebenarnya digambarkan dalam Dīpavaṁsa. Ia menekankan prinsip interpretasi yang
digunakan pada konsili:
Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus
disimpulkan
telah dijelaskan oleh para ahli sutta.[73]
Syair ini secara menghina digemakan dalam kisah “Mahāsaṅgīti” dari
Vajjiputtaka:
Ajaran-ajaran yang bersifat kiasan, dan ajaran-ajaran yang bersifat pasti.
Ajaran-ajaran dengan makna yang telah disimpulkan dan dengan makna yang harus
disimpulkan;
tanpa pemahaman, para bhikkhu tersebut [bingung].[74]
Dīpavaṁsa lebih jauh menjelaskan (4.77) bahwa para Vajjiputtaka (=Mahāsaṅghika)
bingung akan kata benda, gender, dan sebagainya. Pendek kata, mereka menyimpang
dalam tata bahasa, yang kejahatan terutamanya adalah tekstualitas yang buruk.
Akan tidak baik berkepanjangan pada poin ini, tetapi ironisnya bahwa tuduhan
ini dibuat oleh Dīpavaṁsa, mungkin buku yang ditulis paling buruk dalam bahasa
Pali.
Logged
"Holmes once said not to allow your
judgement to be biased by personal qualities, and emotional qualities are
antagonistic to clear reasoning."
~ Shinichi Kudo a.k.a Conan Edogawa
seniya
·
Global
Moderator
·
KalyanaMitta
·
·
Posts:
3.469
·
Reputasi:
169
·
Gender:
·
Om muni
muni mahamuni sakyamuni svaha
Re: Sect and Sectarianism oleh Bhikkhu Sujato
« Reply
#11 on: 27 January 2013, 08:13:45 AM »
0 Komentar:
Posting Komentar
Berlangganan Posting Komentar [Atom]
<< Beranda